Kamis, 24 Maret 2011

TOTEMISME

Totemisme atau Animalforship adalah faham yang meya kini bahwa manusia memiliki hubungan keluarga dengan bina tang. Kemudian keyakinan ini mengarahkan pengikutnya un- tuk meyakini bahwa ada beberapa binatang yang memiliki kekuatan gaib, lalu mereka mengkeramatkan binatang-bina-tang tersebut, bahkan sampai memujanya.
Pada beberapa aliran kepercayaan tradisional pemaha-man totemisme ini bukan merupakan hal baru. Hampir selu- ruh aliran kepercayaan menganut faham ini. Seperti agama Mesir Kuno yang memuja sapi ( lembu ), ular, buaya, kucing dan sebagainya. Mereka meyakini bahwa di antara para dewa ada yang seringkali turun ke bumi dengan menjelma ke dalam bentuk-bentuk bintang, seperti Dewa Horus yang sering menjel ma menjadi burung Rajawali, Dewa Ptah ( Cahaya ) yang se-ring menjelma dalam bentuk lembu dan lain-lainnya. Yang pa-ling terkenal dari binatang yang dipuja oleh orang-orang Mesir Kuno yaitu lembu APIS yang mereka puja di tempat pemujaan mereka. Bila Apis tersebut mati, maka diadakan upacara besar besaran, untuk kemudian diadakan penggantian Apis baru.
Dalam agama Hindu pun keyakinan serupa bisa pula ki-ta jumpai. Beberapa dewa mereka ada juga yang digambarkan berujud setengah binatang. Bahkan penganut Hindu memuja dan mengkeramatkan sapi ( lembu ). Ada pula sebagian penga-nut Hindu di India yang mengkeramatkan ular.
Dalam agama Budha, binatang secara keseluruhan di-anggap memiliki hubungan dengan manusia, karena dalam aja ran Budha dikenal adanya reinkarnasi yaitu adanya penitisan kembali ruh setelah kematiannya ke tubuh manusia atau bina-tang. Sehingga mereka memantang makan daging, dengan ala-san mungkin saja hewan yang dimakan olehnya adalah titisan dari nenek moyang atau keluarganya.
Demikian pula agama-agama msyarakat tradisonal yang pasti menganut ajaran totemisme. Ada yang beralasan karena manu sia dengan binatang yang dikeramatkan itu berasal dari nenek moyang yang sama, atau karena nenek moyang mereka berse-kutu dengan binatang tersebut, atau karena keyakinan adanya reinkarnasi, dan sejumlah alasan lainnya.
Di Keraton Solo ada seekor kerbau yang dianggap kera-mat yang dinamai dengan Kyai Slamet. Pada hari-hari terten-tu Kyai Slamet dibiarkan berjalan-jalan di pasar memakani sa-yuran milik para pedagang di pasar. Anehnya, para pedagang itu tidak marah atau merasa rugi karena sayuran dagangan mereka dimakani oleh Kyai Slamet. Bahkan mereka merasa se nang bila sayuran mereka disantap oleh Kyai Slamet, karena mereka yakin bila sayurannya disantap oleh Kyai Slamet mere ka bakal beroleh kemujuran. Ini merupakan bentuk amalan to- temisme atau animalforship yang masih ada hingga hari ini.
Di masyarakat Jawa muncul pula keyakinan bahwa me-melihara burung perkutut akan mendatangkan rejeki dan ke-mujuran. Sehingga banyak di antara mereka yang memelihara burung perkutut dengan harapan bisa mudah mendapat rejeki.
Pernah pula ramai orang-orang China memelihara ikan Louhan yang diyakini mampu mendatangkan hoki. Perbuatan ini diikuti pula oleh sebagian kaum muslimin di negeri ini da-lam berlomba-lomba memelihara louhan dengan tujuan agar bi sa mendapatkan hoki atau keberuntungan.
Sebelumnya, orang-orang kaya pada memelihara ikan Arwana yang dianggap mampu mendatangkan kewibawaan se-lain juga sebagai simbol status sosial pemiliknya.
Ada pula keyakinan bahwa seseorang yang kejatuhan ce cak bakal apes atau celaka. Sebagai penebusannya mereka ha-rus menangkap cecak tersebut dan membunuhnya dengan cara mengkoyak tubuh cecak tersebut. Sebagian mereka beralasan bahwa cecak adalah hewan yang pernah memberitahukan tem-pat persembunyian Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersama Abu Bakar Ash-Shiddiq rodhiyallohu ’anhu di gua Tsur, pada-hal sanad kisah tersebut derajatnya dho’if ( lemah ). Sedang-kan riwayat yang shohih dari Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam adalah anjuran membunuh tokek yang disebut oleh Ro-sululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam sebagai ”setan kecil ”. Namun ada yang menjadikan bunyi tokek itu sebagai sarana untuk mengambil suatu keputusan agar terhindar dari kesial an.
Masih ada pula keyakinan masyarakat kita bahwa siapa saja yang menabrak kucing di jalan maka ia bakal mendapat-kan kesialan. Penebusnya adalah mengadakan selamatan di ja lan yang ia menabrak kucing itu di sana. Mereka beralasan bahwa kucing adalah hewan kesayangan Rosululloh shollallo- hu ‘alaihi wa sallam, padahal tidak ada satu pun riwayat yang menyebutkan akan hal tersebut.
Ada juga yang meyakini bahwa kucing adalah nenek mo-yang dari harimau, sehingga bila mereka ingin masuk ke da-lam hutan dengan selamat tanpa takut dari gangguan harimau maka mereka mesti membawa serta kucing.
Sebagian nelayan ada yang mengkeramatkan ikan lum- ba-lumba dan ikan wadas lintang. Bahkan ada yang meyakini adanya ikatan keluarga antara manusia dengan lumba-lumba.
Sebagian masyarakat Jawa masih ada yang meyakini bahwa untuk terhindar dari terkaman harimau bila bersua de-ngan harimau, ia mesti memanggil harimau itu dengan sebu-tan ”mbah ”. Begitu pula bila hendak menghilangkan ganggu-an tikus, ia mesti memanggil tikus dengan sebutan ”den bagus” dan lain sebagainya.
Ada pula yang meyakini bahwa bila ada burung hantu atau beberapa jenis burung lainnya hinggap di rumah sese- orang berarti akan ada penghuni rumah itu yang bakal mati.
Bahkan sebagian manusia meyakini adanya hewan-he-wan fiktif yang memiliki kesaktian, seperti : ular naga, kili su-ci, makara, kuda unicorn, kuda sembrani dan lain-lainnya.
Semua amalan di atas dan yang sejenisnya adalah amal-an totemisme atau animalforship yang merupakan salah satu bentuk dari kebodohan ( jahiliyyah ) dan kesyirikan. Sesung-guhnya kedudukan binatang tidak lebih mulia daripada manu-sia, sehingga meyakini bahwa suatu binatang mampu menda- tangkan keberuntungan ( hoki ) atau kemalangan ( apes ) ada- lah tindakan menyekutukan Alloh ta’ala dengan binatang. Ka- rena hanya Alloh saja yang mampu mendatangkan semua ke- baikan dan keburukan, tidak ada sekutu bagi Alloh ta’ala.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar