Mungkin
jika di Tanya sekarang secara personal “apakah itu bhineka tunggal ika?” pasti bias
di pastikan kita mengetahuinya dan dengan cepat akan menjawab “itu kan
semboyang Negara kita, berbeda-beda tetapi tetap satu”. Sekilas istilah itu
hanya menunjukan adanya suatu tujuan Negara
menjadikan masyarkat yang menyatu, tetapi telah terinterpretasi suatu sikap
politik yang sangat tegas untuk mencapai persatuan yang tidak bias di
tawar-tawar.
Sikap
yang tidak bisa digugat ini pun sangat berdampak terhadap keberadaan kebudayaan
yang ada diindonesia yang kita ketahui begitu beragam, keberagaman budaya itu
tidak mendaptakan kedudukan yang layak lagi dan tidak mendapatkan jatah
berekspresi yang berujung dengan lahirnya sikap-sikap pembangkangan terhadap Negara
seperti parasitisme,konflik social, konflik antar suku dan juga terror.
Kesalahan
pengelolaan keberagaman budaya dengan indicator bhineka tunggal ika telah
menetaskan dampak-dampak buruk. Beragamannya kebudayaan, suku bangsa, agama dll
yang ada di Indonesia merupakan suatu bukti kongkrit bahwa Indonesia Negara yang
plural. Gerakan pemersatu perbedaan ini kedalam satu wadah kebersamaan telah
menjadi suatu bentuk penghambat pengekspresian budaya dalam berbagai bentuk. Contoh
yang paling jelas adalah lepasnya timor leste dari Indonesia merupakan suatu
bentuk gagalnya cita-cita pemersatuan ini, belum lagi aceh, dan papua yang
sampai saat ini masih terus berjuang
menggapai kemerdekaan nya dan kita lihat kembali Ambon daerah konflik
merupakan contoh yang sangat jelas bagaimana kebudyaan yang salah urus ini.
Keberagaman
etnis yang jumlahnya cukup besar da tersebar di wilayah geografis Indonesia menjadi
gambaran tentang kompleksitas kebudayaan yang ada di Indonesia dan yang
mengakibatkan sulitnya terjalin komunikasi. Perbedaan itu menunjukan cara
pandang yang berbeda dan perlakuan system nilai yang berbeda adanya juga
perbedaan tingkah laku social, ekomoni dan politik satu dengan yang lain. Akibat
adanya semboyang pemersatu ini lah semua perbedaan itu dikesampingkan karena
dinilai menjadi factor penghambat integrasi dan juga menghambat pembangunan
yang menjadi satu-satunya ideology yang sahih pada waktu zaman orde baru.
Penataan
keberagaman etnis ini juga terdapat kecenderungan yang sangat vatal yaitu pada
konsep mayoritas dan minoritas. Etnis-etnis mayoritas mendapat pengakuan dan
kedudukan yang layak dalam berbagia bentuk, sementara etnis minoritas yang
tidak memiliki eksistensi mengalami marginalisasi. Orang jawa telah mendapatkan
privelense pemerintahan dalam program trasmigrasi demikian juga orang Madura mendapat
privelense di Kalimantan. Sedangkan suku-suku minoritas di daerah di anggap
terbelakang dan harus di indonesiakan (suparlan). Suku-suku yang tersebar di
berbagai tempat yang dianggap masih terasing (kubu,badui dll) telah menjadi
berbeda dan mendapat perubahan gaya hidup dna hilangnya sifat dan karakter
dasar dari etnis tersebut akibat adanya proses pemersatuan dan pengembangan
suku-suku itu.
Pemakasaan
penggunaan bahasa persatuan (bahasa melayu) merupakan bukti jelas juga yang
mengakibatkan lebih dari 512 bahasa local mengalami nasib yang sangat
memprihatinkan dan mengalami kemunduran karena dianggap adanya perbedaan logika
berfikir akibat bahasa local itu. Pada hal jika di tinjau secara antropologis
bahasa bukan lah hanya sebagai alat komunikasi belaka, tetapi baahsa menyimpan
makna yang dan tata kelakuan yang beragam dan berbeda. Bahasa yang kaya dengan
eksperi budaya akhirnya mengalami kemunduran daalam jumlah penuturnya karena
pengaruh bahasa persatuan yang begitu kuat mendominasi sehingga mempersempit
ruang penggunaan bahasa local. Kebijakan penggunaan bahasa persatuan ini
menafikan adanya keberdaan bahasa local yang masih fungisional dan bias menjadi
alat komunikasi dalam pembangunan.
Penataan
keberagaman budaya juga terlihat jelas dari segi religious di Indonesia,
kesalahan terbesar pemerintah adalah pengakuan terhadap 6 agama yang diakui di Indonesia yang berdampak telah
membunuh agama-agama local dan agama asli etnis inodesia dan berakibat punahnya
agama-agama local itu satu demi satu. Contoh dekat adalah agama parmalim,
pelbegu,kaharingan dll yang tidak bias berekspresi akibat adanya proses dan
pemaksaan pluralitas.
Proses
penyatuan dan penyeragaman kebudayaan di Indonesia kemudia berimplikasi pada
lahirnya pola hubungan social dan nilai-nilai baru dalam masyarakat yang
menjadi dasar dari lahirnya berbagai persoalan social. Kebhinekatunggalikaan telah
melahirkan suatu politik budaya yang represif yang melahirkan berbagai bentuk
resistensi dan konflik yang laten. Persoalan itu muncul akibat penataan ruang
politik dan pengolaan budaya yang salah dan bersifat majemuk.
Proses
nasionalisme menyebabkan terjadinya
pengabaian terhadap keberagaman budaya di indosia yang tersebar di berbagia
tempat yang begitu kaya dan banyak mengandung kearifan local. Terjadinya konflik
diberbagia tempat sebenarnya merupakan bukti nyata kegagalan pemerintah dalam
menemukan kebudayan nasional, jika pemahaman tentang keberagaman ini tidka bias
dipahami secara baik maka bias di pastikan system pemerintahan akan selalu
gagal.
Pengingkaran
status kebudayaan yang baragam yang dilakukan oleh pemerintah melahirkan
berbagai persoalan yang malah semakin menjauhkan masyrakat dari
kebhinekatunggalikaan itu sendiri. Kebudayaan yang tidka mendapat
pengakuan akibat adanya ideologi pembangunan
yang mementingkan kehomogenitasan dianggap baik dan mendorong berjalannya
pembangunan secara teratur, tetapi itu tidk lah terjadi, bahkan sebaliknya itu menjadi beban bagi pembangunan karena
mengakibatkan terganggunya stabiitas politik karena berbagai konflik yang
terjadi.
Dari
pemaparan diatas proses penciptaan masyarakat dan system social yang “Bhineka
Tunggal Ika” itu megalami banyak halangan karena konsep “satu” atau kesatuan
dalam bhineka tunggal ika yang merujuk pada salah satu konsep yang tidak
terdefenisikan secara jelas karena istilah itu lebih mendefeniskan politk yang
berasa tunggal : bahasa yang satu dan orientasi nilai yang satu dan tentu saja
tunduk pada satu pusat. Proses politik ini telah mengalami kegagalam karena
pendefinisian secara substansial tentang makna kesatuan itu mendapat basis
ekspresinya dan tidak terkomunikasi dengan baik.