I.
LATAR BELAKANG
Gerlombang
liberalisme di Indonesia masuk berbagai pintu. Salah satu pintu yang boleh
dikatakan sukses adalah pintu isu kesetaraan gender. Isu ini bahkan telah
berhasil menembus kebijakan negara. Alhasil, gender mainstreaming menjadi
salah satu program penting dalam semua lini program yang dicanangkan
pemerintah. Selain itu, pemerintah juga meratifikasi MDGs (Milenium Development
Goals) yang salah satu indikatornya adalah pengarus-utamaan gender. Targetnya sangat
telanjang: menyamakan peran laki-laki dan perempuan. Artikel ini tidak akan
membicangkan masalah ini. Yang akan menjadi fokus adalah asal-muasal dari mana
gerakan ini muncul di negeri ini? Apakah tepat konteks sosial Indonesia?
Gerakan
perempuan di Indonesia mulai menyeruak ke permukaan setelah terbit buku
kompilasi surat-menyurat Kartini dengan teman-teman Belandanya (Ny. Abendanon,
Stella, Ny. Ovink-Soer, dll) bertajuk Door Duisternis Tot Licht
(1911). Buku ini menjadi populer ketika Armin Pane, pujangga angkatan Balai
Pustaka, menerjemahkannya dan memberinya judul Habis Gelap Terbitlah Terang.
Buku ini dianggap memberi inspirasi bagi kaum wanita di Indonesia untuk
memperjuangkan harkat dan martabatnya agar sejajar dengan laki-laki. Alhasil
kata “emansipasi wanita” menjadi kata-kata yang sangat familiar di negeri ini;
dan Kartini pun didaulat sebagai salah seorang pahlawan wanita kebangga bangsa
ini.
Dalam
surat-suratnya, Kartini bercerita tentang kegetiran dan nestapa yang dialaminya
sebagai anak-wanita seorang priyayi Jawa (Bupati). Ia selalu ditempatkan
sebagai makhluk kelas dua setelah saudara laki-lakinya. Perannya dianggap lebih
rendah dibandingkan laki-laki. Ayahnya menikah secara poligami yang membuatnya
sangat tidak senang, sekalipun akhirnya ia harus menerima kenyataan menjadi
istri keempat Bupati Rembang.
Atas pengalaman yang dialaminya itu, Kartini sampai pada kesimpulan bahwa
wanita Indonesia harus bergerak dan bangkit melawan penindasan ini. Untuk
bangkit itu, “Kartini bercita-cita memberi bekal pendidikan kepada anak-anak
perempuan, terutama budi pekerti, agar mereka menjadi ibu yang berbudi luhur,
yang dapat berdiri sendiri mencari nafkah sehingga mereka tidak perlu kawin
kalau mereka tidak mau.” (Sulastin Sutrisno, Surat-Surat Kartini,
Djambatan, 1985: xvii).
Sampai
pada titik ini, pemikiran-pemikiran feminis Kartini terlihat terang-benderang,
walaupun akhirnya ia memilih untuk meninggalkan pemikiran-pemikirannya ini.
Kartini rupanya lebih senang menjadi wanita Jawa apa adanya. Ia memilih untuk
menikah, punya anak, dan tidak bekerja mencari nafkah sendiri seperti yang ia
angankan sebelumnya. Bahkan pernikahan poligami yang sebelumnya sangat dimusuhi
dan dianggapnya sangat “diskriminatif” terhadap wanita, akhirnya ia jalani.
Keputusannya ini sangat disayangkan oleh teman-teman Balandanya, terutama
Stella. Stella kecewa atas perubahan pikiran dalam diri Kartini. Sebagai
seorang penganut feminisme yang sudah mendarah-daging, Stella betul-betul tidak
dapat mengerti keputusan Kartini.
Kartini sendiri tidak terlihat sama sekali merasa tertindas atas pernikahan
poligaminya itu. Bahkan beberapa saat setelah pernikahannya Kartini menulis
surat kepada J.H. Abendanon dan istrinya yang menunjukkan bahwa pernikahannya,
sekalipun pernikahan keempat bagi suaminya,samasekalibaik-baiksaja.
“Kawan-kawan yang baik dan budiman. Saya tahu betul-betul, bagaimana surat ini
diharap-harapkan, surat saya yang pertama dari rumah saya yang baru.
Alhamdulillah, di rumah itu dalam segala hal keadaan saya baik dan
menyenangkan; di situ yang seorang dengan dan karena yang lain
bahagia…” (Surat-Surat Kartini, hal. 348).
Mencermati perjalanan hidup Kartini seperti itu, patut dipertanyakan dari mana
Kartini punya pikiran feminis pada awal-awal suratnya? Padahal, sejatinya Kartini
adalah wanita Jawa yang ternyata lebih menghayati kehidupan budayanya.
Kesenangannya justru lahir dalam harmoni mengikuti ritme budaya tempat sekian
lama ia hidup dan sudah mendarah daging sejak lahir. Ia tidak pernah senang
menjadi wanita pemberontak seperti yang diajarkan para feminis.
Pertanyaan
ini tidak akan pernah terjawab kalau kita tidak mencermati di mana Kartini
bersekolah dan dengan siapa ia berkirim surat. Kartini bersekolah di sekolah
Belanda karena ia seorang anak bupati yang bisa menikmati sekolah bersama
dengan anak-anak Belanda. Menjelang abad ke-20 saat Kartini bersekolah adalah
saat ide-ide politik etis yang dipengaruhi kelompok liberal di Belanda tengah
menjadi arus wacana utama di Hindia Belanda (baca: Indonesia).
Selain
karena arus wacana politik etis, karena bersekolah di sekolah Belanda sudah
tentu Kartini akan menyerap berbagai paham yang tengah berkembang di Barat.
Salah satu yang tidak bisa dihindari adalah liberalisme. Pandangannya tentang
kedudukan laki-laki dan perempuan pun hampir bisa dipastikan banyak terpengaruh
pandangan-pandangan liberal yang diajarkan guru-guru belandanya di sekolah.
Dari sekolah Belanda ini pula Kartini bertemu dengan buku-buku dan surat kabar
yang berhaluan liberal.
Pengaruh
feminis yang paling meyakinkan dalam surat-suratnya adalah teman-teman
korespondensinya sendiri. Stella Zeehandelar adalah salah seorang yang paling
feminis dibanding teman-temannya yang lain. Usianya lebih tua 5 tahun dari
Kartini, anak dari orang tua Yahudi-Belanda. Ia penganut sosialis yang sangat
kuat dan aktivis feminis sejak masih di Belanda sampai bekerja di Indonesia.
Kartini berkenalan dengan Stella pada tahun 1899 melalui redaksi De
Hollandse Leile, majalah wanita yang saat itu sangat populer.
Teman-temannya yang lain pun rata-rata berpaham liberal seperti pada umumnya
orang-orang yangd atang dari Belanda pada abad ke-19 dan 20.
Paham
feminis yang muncul dalam surat-surat Kartini hampir bisa dipastikan berasal
dari dua sumber di atas: sekolah Belanda dan teman-teman Belandanya. Beruntung
bahwa Kartini sesungguhnya tidak benar-benar menjadi feminis yang ekstrim:
memusuhi laki-laki. Feminisme bagi Kartini hanya sebatas wacana yang bergolak
dalam pikirannya. Selebihnya ia sampaikan itu dalam surat-suratnya. Kartini sendiri
tidak pernah berniat sama sekali mempublikasikan pikiran-pikirannya itu, bahkan
sampai ia meninggal tahun 1904 dalam usia 25 tahun beberapa hari setelah
melahirkan anak pertamanya.
Justru
yang mempromosikan pemikiran-pemikiran feminis ini adalah Mr. J.H. Abendanon,
Menteri Agama, Pengajaran, dan Kerajinan Hindia Belanda. Ia mengumpulkan semua
surat-surat Kartini, menyusunnya, kemudian menerbitkannya tujuh tahun setelah
Kartini wafat. Abendanon sendiri, secara politis, adalah penganut aliran etis
(baca: liberal) di Belanda. Sangat wajar kalau ia kemudian mempromosikan
ide-ide liberal seperti yang tercermin dalam surat-surat Kartini. Secara tidak
langsung Abendanon ingin mengajarkan feminisme-liberal kepada masyarakat
Indonesia, namun meminjam tangan anak bangsa Indonesia sendiri, Kartini. Inilah
sesungguhnya awal mula benih feminisme-liberal ditaburkan di bumi Indonesia
yang sesungguhnya tidak menyimpan masalah besar dalam hubungan laki-laki
perempuan, sejak Islam datang ke negeri ini.
Melalui makalah ini, penulis akan mencoba
menganalisis kembali gerakan feminis yang dilakukan oleh Kartini apakah benar
merupakan gerakan feminism liberal atau tidak. Dan melalui makalah ini juga
akan di paparkan isi surat-surat kartini yang nantinya menjadi bahan analisis
untuk penentuan jenis gerakan feminism Kartini.
II.
TINJAUAN PUSTAKA
A.
Riwayat Singkat R.A.
Kartini
Raden Adjeng Kartini atau sebenarnya
lebih tepat disebut Raden Ayu Kartini, (lahir di Jepara, Jawa Tengah, 21 April
1879 – wafat di Rembang, Jawa Tengah, 17 September 1904 pada umur 25 tahun).
Raden Adjeng Kartini adalah seseorang dari kalangan priyayi atau kelas
bangsawan Jawa, putri Raden Mas Sosroningrat, bupati Jepara. Beliau putri R.M.
Sosroningrat dari istri pertama, tetapi bukan istri utama. Kala itu poligami
adalah suatu hal yang biasa.
Kartini lahir dari keluarga ningrat
Jawa. Ayahnya, R.M.A.A Sosroningrat, pada mulanya adalah seorang wedana di
Mayong. Ibunya bernama M.A. Ngasirah, putri dari Nyai Haji Siti Aminah dan Kyai
Haji Madirono, seorang guru agama di Telukawur, Jepara. Peraturan Kolonial
waktu itu mengharuskan seorang bupati beristerikan seorang bangsawan. Karena
M.A. Ngasirah bukanlah bangsawan tinggi, maka ayahnya menikah lagi dengan Raden
Ajeng Woerjan (Moerjam), keturunan langsung Raja Madura. Setelah perkawinan
itu, maka ayah Kartini diangkat menjadi bupati di Jepara menggantikan kedudukan
ayah kandung R.A. Woerjan, R.A.A. Tjitrowikromo.
Kartini adalah anak ke-5 dari 11
bersaudara kandung dan tiri. Dari kesemua saudara sekandung, Kartini adalah
anak perempuan tertua. Beliau adalah keturunan keluarga yang cerdas. Kakeknya,
Pangeran Ario Tjondronegoro IV, diangkat bupati dalam usia 25 tahun. Kakak
Kartini, Sosrokartono, adalah seorang yang pintar dalam bidang bahasa.
Sampai usia 12 tahun, Kartini
diperbolehkan bersekolah di ELS (Europese Lagere School). Di sini antara lain
Kartini belajar bahasa Belanda. Tetapi setelah usia 12 tahun, ia harus tinggal
di rumah karena sudah bisa dipingit.
Karena Kartini bisa berbahasa Belanda,
maka di rumah ia mulai belajar sendiri dan menulis surat kepada teman-teman
korespondensi yang berasal dari Belanda. Salah satunya adalah Rosa Abendanon
yang banyak mendukungnya. Dari buku-buku, koran, dan majalah Eropa, Kartini
tertarik pada kemajuan berpikir perempuan Eropa. Timbul keinginannya untuk
memajukan perempuan pribumi, dimana kondisi sosial saat itu perempuan pribumi
berada pada status sosial yang rendah.
Kartini banyak membaca surat kabar
Semarang De Locomotief yang diasuh Pieter Brooshooft, ia juga menerima
leestrommel (paket majalah yang diedarkan toko buku kepada langganan). Di
antaranya terdapat majalah kebudayaan dan ilmu pengetahuan yang cukup berat,
juga ada majalah wanita Belanda De Hollandsche Lelie. Kartini pun kemudian beberapa
kali mengirimkan tulisannya dan dimuat di De Hollandsche Lelie. Dari
surat-suratnya tampak Kartini membaca apa saja dengan penuh perhatian, sambil
membuat catatan-catatan. Kadang-kadang Kartini menyebut salah satu karangan
atau mengutip beberapa kalimat. Perhatiannya tidak hanya semata-mata soal
emansipasi wanita, tapi juga masalah sosial umum. Kartini melihat perjuangan
wanita agar memperoleh kebebasan, otonomi dan persamaan hukum sebagai bagian
dari gerakan yang lebih luas. Di antara buku yang dibaca Kartini sebelum
berumur 20, terdapat judul Max Havelaar dan Surat-Surat Cinta karya Multatuli,
yang pada November 1901 sudah dibacanya dua kali. Lalu De Stille Kraacht
(Kekuatan Gaib) karya Louis Coperus. Kemudian karya Van Eeden yang bermutu
tinggi, karya Augusta de Witt yang sedang-sedang saja, roman-feminis karya
Nyonya Goekoop de-Jong Van Beek dan sebuah roman anti-perang karangan Berta Von
Suttner, Die Waffen Nieder (Letakkan Senjata). Semuanya berbahasa Belanda.
Oleh orangtuanya, Kartini disuruh menikah
dengan bupati Rembang, K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat, yang
sudah pernah memiliki tiga istri. Kartini menikah pada tanggal 12 November
1903. Suaminya mengerti keinginan Kartini dan Kartini diberi kebebasan dan
didukung mendirikan sekolah wanita di sebelah timur pintu gerbang kompleks
kantor kabupaten Rembang, atau di sebuah bangunan yang kini digunakan sebagai
Gedung Pramuka.
Anak pertama dan sekaligus
terakhirnya, RM Soesalit, lahir pada tanggal 13 September 1904. Beberapa hari kemudian,
17 September 1904, Kartini meninggal pada usia 25 tahun. Kartini dimakamkan di
Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Rembang.
Berkat kegigihannya Kartini, kemudian
didirikan Sekolah Wanita oleh Yayasan Kartini di Semarang pada 1912, dan
kemudian di Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon dan daerah lainnya.
Nama sekolah tersebut adalah “Sekolah Kartini”. Yayasan Kartini ini didirikan
oleh keluarga Van Deventer, seorang tokoh Politik Etis.
B.
Isi dan
Kumpulan Surat-Surat Kartini
Dalam
kumpulan suratnya : "Door Duisternis Tot Licht", yang terlanjur
diartikan sebagai "Habis Gelap Terbitlah Terang" tetapi menurut Prof. Haryati Soebadio (cucu
tiri Ibu Kartini) – mengartikan kalimat "Door Duisternis Tot Licht"
sebagai "Dari Gelap Menuju Cahaya", tersirat siapa Kartini sebenarnya.
Menurut
Kartini, setiap manusia sederajat dan mereka berhak untuk mendapat perlakuan
sama. Kartini paham benar bahwa saat itu, terutama di Jawa, keningratan sesorang diukur dengan
darah. Semakin biru darah seseorang maka akan semakin ningrat kedudukannya.
Seperti dituliskannya kepada sahabat penanya,”Sesungguhnya
adat sopan-santun kami orang Jawa amatlah rumit. Adikku harus merangkak bila hendak lalu di
hadapanku. Kalau adikku duduk di kursi, saat aku lalu, haruslah segera ia turun duduk di tanah, dengan menundukkan kepala,
sampai aku tidak kelihatan lagi. Adik-adikku tidak boleh berkamu dan berengkau kepadaku. Mereka hanya boleh
menegur aku dalam bahasa kromo inggil (bahasa Jawa tingkat tinggi). Tiap kalimat yang diucapkan haruslah diakhiri
dengan sembah. Berdiri bulu kuduk bila kita berada dalam lingkungan keluarga bumiputera yang ningrat. Bercakap-cakap
dengan orang yang lebih tinggi derajatnya, harus perlahan-lahan, sehingga orang yang di dekatnya sajalah yang dapat
mendengar. Seorang gadis harus perlahan-lahan jalannya, langkahnya pendek-
pendek, gerakannya lambat seperti siput, bila berjalan agak cepat, dicaci orang, disebut
"kuda liar". [Surat Kartini kepada Stella, 18 Agustus 1899]
"Peduli
apa aku dengan segala tata cara itu ... Segala peraturan, semua itu bikinan
manusia, dan menyiksa diriku saja.
Kau tidak dapat membayangkan bagaimana
rumitnya etiket di dunia keningratan Jawa itu ... Tapi sekarang mulai dengan aku, antara kami (Kartini, Roekmini,
dan Kardinah) tidak ada tata cara lagi. Perasaan kami sendiri yang akan menentukan sampai batas- batas mana cara
liberal itu boleh dijalankan. [Surat Kartini kepada Stella, 18 Agustus 1899]
Bagi saya hanya ada dua macam keningratan,
keningratan fikiran (fikroh) dan keningratan budi (akhlak). Tidak ada manusia
yang lebih gila dan bodoh menurut persepsi saya dari pada melihat orang
membanggakan asal keturunannya. Apakah berarti sudah beramal sholih orang yang
bergelar macam Graaf atau Baron?... Tidaklah dapat dimengerti oleh pikiranku
yang picik ini,
(Surat
Kartini kepada Stella, 18 Agustus 1899 )
Kita dapat menjadi manusia sepenuhnya, tanpa
berhenti menjadi wanita sepenuhnya (Surat kartini kepada Nyonya Abendon, Agustus
1900 )
Bolehlah,
negeri Belanda merasa berbahagia, memiliki tenaga- tenaga ahli, yang amat
bersungguh mencurahkan seluruh akal dan pikiran dalam bidang pendidikan dan pengajaran
remaja-remaja Belanda. Dalam hal ini anak-anak Belanda lebih beruntung dari pada anak-anak
Jawa, yang telah memilki buku selain buku pelajaran sekolah.” [Surat Kartini kepada Ny. Van Kol, 20 Agustus 1902]
"Pergilah.
Laksanakan cita-citamu. Kerjalah untuk hari depan. Kerjalah untuk kebahagiaan
beribu-ribu orang yang tertindas di bawah hukum yang tidak adil dan paham-paham yang palsu
tentang mana yang baik dan mana yang buruk. Pergi. Pergilah. Berjuanglah dan
menderitalah, tetapi bekerjalah untuk kepentingan yang abadi" [Surat
Kartini kepadaNy. Van Kol, 21 Juli 1902]
"Kami
di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak perempuan, bukan
sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam
perjuangan hidupnya. Tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum
wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam sendiri ke dalam
tangannya: menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama. [Surat Kartini kepada Prof. Anton dan Nyonya, 4 Oktober
1902]
C.
Pemikirian Kartini
Pada surat-surat Kartini tertulis
pemikiran-pemikirannya tentang kondisi sosial saat itu, terutama tentang
kondisi perempuan pribumi. Sebagian besar surat-suratnya berisi keluhan dan
gugatan khususnya menyangkut budaya di Jawa yang dipandang sebagai penghambat
kemajuan perempuan. Dia ingin wanita memiliki kebebasan menuntut ilmu dan
belajar. Kartini menulis ide dan cita-citanya, seperti tertulis: Zelf-ontwikkeling
dan Zelf-onderricht, Zelf- vertrouwen dan Zelf-werkzaamheid
dan juga Solidariteit. Semua itu atas dasar Religieusiteit, Wijsheid
en Schoonheid (yaitu Ketuhanan, Kebijaksanaan dan Keindahan), ditambah
dengan Humanitarianisme (peri kemanusiaan) dan Nasionalisme
(cinta tanah air).
Surat-surat Kartini juga berisi
harapannya untuk memperoleh pertolongan dari luar. Pada perkenalan dengan
Estelle "Stella" Zeehandelaar, Kartini mengungkap keinginan untuk
menjadi seperti kaum muda Eropa. Ia menggambarkan penderitaan perempuan Jawa
akibat kungkungan adat, yaitu tidak bisa bebas duduk di bangku sekolah, harus
dipingit, dinikahkan dengan laki-laki yang tak dikenal, dan harus bersedia
dimadu.
Pandangan-pandangan kritis lain yang
diungkapkan Kartini dalam surat-suratnya adalah kritik terhadap agamanya. Ia
mempertanyakan mengapa kitab suci harus dilafalkan dan dihafalkan tanpa
diwajibkan untuk dipahami. Ia mengungkapkan tentang pandangan bahwa dunia akan
lebih damai jika tidak ada agama yang sering menjadi alasan manusia untuk
berselisih, terpisah, dan saling menyakiti. "...Agama harus menjaga
kita daripada berbuat dosa, tetapi berapa banyaknya dosa diperbuat orang atas
nama agama itu..." Kartini mempertanyakan tentang agama yang dijadikan
pembenaran bagi kaum laki-laki untuk berpoligami. Bagi Kartini, lengkap sudah
penderitaan perempuan Jawa yang dunianya hanya sebatas tembok rumah.
Surat-surat Kartini banyak mengungkap
tentang kendala-kendala yang harus dihadapi ketika bercita-cita menjadi
perempuan Jawa yang lebih maju. Meski memiliki seorang ayah yang tergolong maju
karena telah menyekolahkan anak-anak perempuannya meski hanya sampai umur 12
tahun, tetap saja pintu untuk ke sana tertutup. Kartini sangat mencintai sang
ayah, namun ternyata cinta kasih terhadap sang ayah tersebut juga pada akhirnya
menjadi kendala besar dalam mewujudkan cita-cita. Sang ayah dalam surat juga
diungkapkan begitu mengasihi Kartini. Ia disebutkan akhirnya mengizinkan
Kartini untuk belajar menjadi guru di Betawi, meski sebelumnya tak mengizinkan
Kartini untuk melanjutkan studi ke Belanda ataupun untuk masuk sekolah
kedokteran di Betawi.
Keinginan Kartini untuk melanjutkan
studi, terutama ke Eropa, memang terungkap dalam surat-suratnya. Beberapa
sahabat penanya mendukung dan berupaya mewujudkan keinginan Kartini tersebut.
Ketika akhirnya Kartini membatalkan keinginan yang hampir terwujud tersebut,
terungkap adanya kekecewaan dari sahabat-sahabat penanya. Niat dan rencana
untuk belajar ke Belanda tersebut akhirnya beralih ke Betawi saja setelah
dinasihati oleh Nyonya Abendanon bahwa itulah yang terbaik bagi Kartini dan
adiknya Rukmini.
Pada pertengahan tahun 1903 saat
berusia sekitar 24 tahun, niat untuk melanjutkan studi menjadi guru di Betawi
pun pupus. Dalam sebuah surat kepada Nyonya Abendanon, Kartini mengungkap tidak
berniat lagi karena ia sudah akan menikah. "...Singkat dan pendek saja,
bahwa saya tiada hendak mempergunakan kesempatan itu lagi, karena saya sudah
akan kawin..." Padahal saat itu pihak departemen pengajaran Belanda
sudah membuka pintu kesempatan bagi Kartini dan Rukmini untuk belajar di
Betawi.
Saat menjelang pernikahannya, terdapat
perubahan penilaian Kartini soal adat Jawa. Ia menjadi lebih toleran. Ia
menganggap pernikahan akan membawa keuntungan tersendiri dalam mewujudkan
keinginan mendirikan sekolah bagi para perempuan bumiputra kala itu. Dalam
surat-suratnya, Kartini menyebutkan bahwa sang suami tidak hanya mendukung
keinginannya untuk mengembangkan ukiran Jepara dan sekolah bagi perempuan bumiputra saja,
tetapi juga disebutkan agar Kartini dapat menulis sebuah buku.
Perubahan pemikiran Kartini ini
menyiratkan bahwa dia sudah lebih menanggalkan egonya dan menjadi manusia yang
mengutamakan transendensi, bahwa ketika Kartini hampir mendapatkan impiannya
untuk bersekolah di Betawi, dia lebih memilih berkorban untuk mengikuti prinsip
patriarki yang selama ini ditentangnya, yakni menikah dengan Adipati Rembang.
D.
Jenis-Jenis
Teori Feminis
1.
FEMINISME
LIBERAL
feminis yang mengusulkan
bahwasannya perempuan mempunyai hak yang sama dengan laki-laki, ciri dari
gerakan ini tidak mengusulkan perubahan struktur secara fundamental, melainkan
memasukan wanita kedalam struktur yang ada berdasarka prinsip kesetaraan dengan
laki-laki.
Feminisme
Liberal Mengatakan bahwa subordinasi perempuan karena adanya setting budaya dan hokum yang membatasi
akses dan aktualisasi perempuan di sector publik, karena itu segala hukum dan
budaya yang berasaskan patriarki harus diganti dengan yang berkesetaraan gender.
Inti ajaran feminis liberal
·
Memfokuskan kepada perlakuan yang
sama terhadap wanita diluar dari pada didalam keluarga.
·
Memperluas kesempetan pendidikan
merupakan langkah efektif untuk melakukan perubahan sosial.
·
Pekerjaan rumah tangga seperti
merawat anak, melayani bapak, menyusui,memandikan, memasak,meancuci dipandang
sebuah pekerjaan tidak terampil yang merupakan pengandalan tubuh, bukan pikiran
rasional.
·
Perjuangan harus meanyentuh
kesetaraan politik antra wanita dan laki-laki,melalui perwakilan wanita
diruang-ruang publik
·
Feminis saat ini cenderung lebih
sejalandengan liberalisme kesejahteraan atau egalitarian yang mendukung
kesejahteraan Negara (welfare state)
Kritik Terhadap
Feminisme Liberal
1. Ada beberapa
kesalahan dalam feminisme liberal dimana mereka salah mengemukakan tentang hak
individual yang terlalu ideal dan terlalu komit karena selama ini tidka ada
masyarakat yang benar-benar bebaas.Asumsi yang diugkapkan feminisme liberal
adalah perempuan bisa menjadi seperti laki-laki asalkan mereka menset
pikirannya, dan mereka mengatakan bahwa banyak perempuan yang ingin menjadi
seperti laki-lali dan juga semua perempuan harus mempunyai keinginan menjadi
sepertilaki-laki terutama dalam menganut nilai kelaki-lakiannya.
2. Kritik
lainnya adalah perempuan tidak hidupa hanya dengan rasio dan otonomi semata,
hal ini terjadi karena perempuan ingin sekali mengadopsi nilai-nilai laki-laki
terrutama mengenai konsep diri laki-laki.
3. Feminisme
liberal terlalu rasis karean hanya mewakili kulit putih, berkelas artinya hanya
mencakup perempuan dari kelas menengah dan heteroseksual
4.
Akan
menjadikan perempuan menjadi maskulin dan akan bias mengorbankan perempuan lain
Tokoh Feminisme Liberal
·
Alison Jaggar (Feminist Politics and
Human Nature)Mary Wollstonecraft (A Vindication of the Rights of Woman)
·
John Stuart Mill and Hariet Taylor
(Early Essays on Marriage and Divorce)
·
John Stuart Mill ( The Subjection of
Waomen)
·
Hariet Taylor (Enfranchisement of
Women)
·
Angela Davis (Women, Race and Class)
Organisasi Feminisme Liberal
·
National Organization for
WomenNational Women’s Political Caucus
·
Women’s Equity Action League
·
Women’s International Terrorist
Conspiracy for Hell
·
National Women’s Party
·
National Federation of Business and
Professional Women’s Clubs
2.
FEMINISME RADIKAL
Feminis radaikal lebih
menekankan kebalikan dari feminis liberal, jika sebelumnya kaum feminis
mengusulkan kesetaraan kaum hawa dengan kaum adam maka radidkal tidak demikian,
hal ini dapat dilihat dari usulan bahwasangnya hak antara laki-laki dan hak
perempuan harus dibedakan. Misallnya wanita dan laki-laki mengkonseptualkan kekuasaan
secara berbeda, bila laki-laki lebih pada mendominasi dan mengontrol orang lain
maka perempuan lebih tertuju dalam berbagi dan merawat keakuasaannya..
Feminis ini menyatakan
bahwasanya adanya keteransingan yang dialami kaum perempuan karena diciptakan
oleh unsur politik maka transformasi personal lebih kepada aksi-aksi radikal.
Inti ajaran feminis radikal
·
memprotres ekploitasi terhadap
wanita (termasuk peran ibu, pasanagan sex, dan istri) feminis radikal
menganggap perkawinan sebagai bentik formalitas yang mendeskriminasikan
perempuan.
·
masyarakat harus diubah secara
menyeluruh,termasuk lembaga-lembaga sosial fundamental harus dirubah secara
fundamenbtal pula
Kritik Terhadap Feminism
Radikal
1.
Hal yang paling penting
adalah dalam feminisme radikal ditekankan sekali tentang laki-laki menindas dan
perempuan yang tidak bersalah,
2.
mereka terjebak pada esensi dari realitas yang
akhirnya mengakibatkan analisa mereka mengalami kebuntutan dan secara politik
mereka berbahaya.
3.
Mereka juga terlalu
menganggap tidak positif terhadap hubungan sex yang heteroseksual karena
perempuan lebih banyak dieksploitasi, padahal hubungan ini seharusnya
dipelihara dan kedua pihak sesungguhnya hanya ingin mencari kesenangan.
Tokoh Feminisme Radikal
·
Allison Jaggar
·
Paula Rothenberg
·
Joreen J
·
Gayle rubin, Kate Millett (Sexual
Politics)
·
Shulamith Firestone ( Dialectic of
Sex)
·
Marilyn French (Beyon Power)
·
Mary Daly (Beyond God the Father :
Toward a Philosophy of Women’s Leberation)
·
Marge Piercy (Woman on the Edge of
Time)
Organisasi
·
Redstockings,New York Radical
Feminist
·
Radical-Libertarian Feminists
3.FEMINISME MARXIS DAN SOSIAL
Konsep dasar dari feminisme marxis dan sosialis
didasarkan pada teori Marx, yang memandang bahwa manusia baru bermakna apabila
mereka melakukan kegiatan berproduksi, sehingga dapat dikatakan bahwa manusia
lewat berproduksi mnciptakan masyarakat yang kemudian menciptakan atau
membentuk mereka.Dari sudut pandang teori ekonomi dipandang bahwa sistem
kapitalisme hanya mendasarkan hubungan pertukaran hubngan dan pertukaran
kekuasaan yang nantinya mengharapkan surplus value dari hubungan employer dan
employee. Sehingga manusia tidak memiliki kebebasan untuk memilih sebab mereka
sebagai pekerja yang tertindas.
Dari sudut pandang sosial
memnunculkan kesadaran kelas yang dikarenakan terjadinya
alienasi baik terhadap produk, terhadap dirinya, terhadap masyarakat dan alam
sekitarnya. Dari sudut
pandang politik dilihat adanya perjuangan kelas dan kesatuan para pekerja.
Inti ajaran feminis sosialis.
·
Wanita tidak dimasukan kedalam
analisis kelas. Dengan alasan karna wanita tidak mempunayai hubunagan khusus
dengan alat-alat produksi.
·
Mengajukan solusi bahwasannya
wanita harus dibayar untuk upah kerjanya dalam rumah tangga
·
Kapitalisme memperkuat sexism,
karena memisahkan antara pekerjaan rumah tangga dan bergaji.dan maendesak agar
wanita melakukan pekerjaan diwilayah domestic.
Kritik Terhadap Feminisme Marxis
dan Sosial
·
Mereka dalam melihat keluarga
adalah laki-laki disektor publik dan perempuan disektor privat dan ini
pembagian yang terjadi didalam sistem kapitalis, padahal dalam keluarga tidak
sesederhana itu karena didalam keluarga masih merupakan satu-satunya tempat
dimana manusia dapat menemukan cinta, keamanan, dan kenyamanan,
·
keluarga bukanlah hanya melulu
merupakan alat produksi dan hanya melulu membicarakan keuangan semata tetapi
juga mereka masih membahas tentang hal-hal penting lainnya yang menyangkut
keluarga.
·
Feminisme sosialis adalah cara mereka memandang bahwa feminisme ini
terlalu sedikit membicarakan penindasan laki-laki terhadap perempuan, hal ini
dikemukakan oleh feminisme marxis.
·
Feminisme soslialis lebih
memperhatikan penindasan utama adalah pada perempuan sebagai pekerja dan juga
perempuan sebagai perempuan.
Tokoh Feminisme Marxis dan Sosialis
·
Karl Marx, F. Engels
·
Habermas
·
Althusser
·
Clara Zelthin
·
Juliet Mitchell
·
Iris Young
·
Alison Jagger
4.
FEMINISME
EKOLOGI ( EKOFEMINISME )
Ekofeminisme salah satu cabang feminis
gelombang ketiga yang mencoba menjelaskanketerkaitan alam dan perempuan
terutama yang menjadi titik fokusnya adalah kerusakan alam yang mempunyai
keterkaitan langsung dengan penindasan perempuan. Dalam Ekofeminisme perempuan
ditempatkan sebagai “sosok yang lain” sejajar dengan sosok yang lainnya yang
diabaikan dalam patriarkhi seperti kelompok ras berwarna,anak-anak, kelompok
miskin dan alam. Budaya Patriarkhi menyebabkan adanya dominasi terhadap
perempuan, kelompok ras berwarna, anak-anak, kelompok miskin dan alam, dan
menempatkan mereka sebagai subordinate dibawah laki-laki yang mempunyai sifat
yang unggul, netral, pengelola “sah” bumi dan seisinya.
Pergerakan ekofeminis yang pertama dimulai sekitar tahun
1974 oleh sekelompok perempuan di utara India, mereka menamakan dirinya ”chipko
Movement”. Mereka memprotes penebangan hutan yang dilakukan oleh kolonial
Inggris. Gerakan Chipko merupakan manivestasi dari filsafat Gandhian
Satyagrahas yang mencoba menyelamatkan dan melestarikan hutan tradisional atau
”forest culture”. Hutan tradisional menjadi begitu penting bagi masyarakat
india karena dari dalamnya mengandung tanah, air dan oksigen yang sangat
diperlukan bagi keberlangsungan hidup seluruh makhluk hidup terutama sangat
berkaitan erat dengan keberlangsungan hidup perempuan, mengapa? Alasan yang
pertama karena sebagian besar perempuan timur dalam kehidupannya sangat
bergantung pada pohon-pohonan dan hasil hutan. Tingkat ketergantungan mereka
terhadap alam sangat tinggi yaitu tercatat 60 % di 32 negara di Afrika, 80% di
18 negara di Asia dan 40% di Amerika Latin dan kepulauan Karibia. Ketika para
laki-laki menghabiskan waktunya di ladang atau berburu, para perempuan tinggal
bersama anak-anaknya di hutan, mereka mengandalkan pohon-pohonan serta hasil
hutan untuk keberlangsungan hidup mereka. Pohon-pohonan dan hasil hutan tidak
hanya berguna untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka tetapi dapat memenuhi
hampir semua kebutuhan di ranah domestik. Yang kedua, Ada sejumlah kebiasaan,
hal yang tabu dan sah dan waktu yang menghambat yang dihadapi perempuan sedang
kan laki-laki tidak menghadapinya. Hal tersebut seperti perempuan dan laki-laki
memiliki akses yang berbeda atas sebidang tanah. Di Tanzania, perempuan tidak
memiliki hak sama sekali untuk mendiami sebidang tanah, mereka harus meminta
izin kepada suami mereka atau laki-laki lain untuk mengolah sebidang tanah.
Perempuan di sebagian besar negara berkembang tidak memiliki dukungan hukum
untuk berpartisipasi dan ikut mengelola lingkungan lokal mereka.
Inti Ajaran
Ekofeminisme adalah
1. Semua mahluk hidup termasuk
manusai adalah saling berhubungan dan saling berketergantungan satu sama lain (
Pendekatan Struktural-Fungsional )
2. Semua manusia hidup dalam
kesatuan dan keharomonisan, hidup bersama-sama dengan perbedaan tanpa harus
dilawan-lawankan
3. Perempuan dapat mengubah tatanan
yang lebih seimbang melalui peran ibu pengasuh dalam keluarga dan lingkungan
alam
4. Pembebasan perempuan sejalan
dengan pembebasan alam
5.
Kualitas
feminine perempuan tetap terjaga agar bias berkuasa menjadikan tatanan social
yang lebih damai mengimbangi dominasi laki-laki yang cenderung kasar.
6.
mengeksplorasi pengetahuan
perempuan tentang tubuh mereka. Hasil eksplorasi, baik berupa pengetahuan,
akses, maupun kontrol, dilanjutkan dengan bagaimana gender berelasi dalam ranah
sosial dan kekuasaan.
Hal itu tentu sangat memengaruhi proses reproduksi perempuan, akses, dan
kontrol serta kelembagaan perempuan dalam pengurusan kekayaan alam dan sumber
daya kehidupan.
7.
perempuan sebagai individu yang
bergerak aktif, baik dalam peran, fungsi, maupun posisi. Lebih jelasnya,
ekofeminisme meneropong beberapa area khusus, seperti pembangunan, penggunaan
sumber daya alam, rekonstruksi agraria, dan transformasi perkotaan.
Tokoh Ekofeminisme
·
Francoise
·
Vandana
Siva
III.
PENUTUP
A. Analisis
Menganalisis dari surat-surat Kartini terhadap sahabatnya. Awal
pemikiran kartini merupakan suatu bentuk feminism Liberal, dimana feminism
liberal menganggap bahwa suborinasi perempuan terjadi karena adanya Setting hukum dan budaya yang patriarki
sehingga harus adanya rekontruksi hukum dan budaya. Feminism liberal juga
mengingkan keseteraan antara laki-laki dan perempuan dalam keluarga baik secara
perlakuan maupun sopan-santun.
Terlihat dari isi surat kartini yang tertuang dibawah ini menandakan
bahwa awalnya kartini merupakan feminism liberal.
Seorang gadis harus perlahan-lahan jalannya,
langkahnya pendek- pendek, gerakannya lambat seperti siput, bila berjalan agak cepat, dicaci orang, disebut
"kuda liar". [Surat Kartini kepada Stella, 18 Agustus 1899]
"Peduli
apa aku dengan segala tata cara itu ... Segala peraturan, semua itu bikinan
manusia, dan menyiksa diriku saja. Kau tidak dapat membayangkan bagaimana rumitnya etiket di dunia
keningratan Jawa itu ... Tapi sekarang mulai dengan aku, antara kami (Kartini, Roekmini,
dan Kardinah) tidak ada tata cara lagi. Perasaan kami sendiri yang akan menentukan sampai batas- batas mana cara
liberal itu boleh dijalankan. [Surat Kartini kepada Stella, 18 Agustus 1899]
"Pergilah.
Laksanakan cita-citamu. Kerjalah untuk hari depan. Kerjalah untuk kebahagiaan
beribu-ribu orang yang tertindas di bawah hukum yang tidak adil dan paham-paham yang palsu
tentang mana yang baik dan mana yang buruk. Pergi. Pergilah. Berjuanglah dan
menderitalah, tetapi bekerjalah untuk kepentingan yang abadi" [Surat
Kartini kepadaNy. Van Kol, 21 Juli 1902]
Analisis surat 1 :
Kartini mengatakan bahwa dalam budaya jawab seorang perempuan harus
lemah lembut dan berjalan agak cepat kalau tidak maka dia akan dicap sebagai
“Kuda liar”, budaya ini tidak tertuju kepada kaum laki-laki, laki-laki bebas
berjalan cepat bahkan maskulin. Disini terlihat bahwa budaya telah mengatur
tubuh bahkan sikap juga tatacara perempuan secara berlebihan dan budaya ini
mengandung unsure patriarki, yang hanya mengorbankan perempuan.
Analisis Surat 2 :
Sebuah gerakan kecil yang dilakukan oleh Kartini yaitu, dengan
merekotruksi budaya itu melalui sikap dan perilakunya bersama adik-adiknya yang
mulai menghilangkan sikap-sikap yang harus dituntut oleh budaya itu.karena
menurur dia budaya itu menyiksa dan membatasi ruang geraknya sebagai perempuan.
Analisis Surat 3 :
Kartini mengakui bahwa kaum perempuan telah tertindas dibawah hukum dan
buaya yang dibentuk dengan asas patriarki Kartini mengungkap. Ia menggambarkan
penderitaan perempuan Jawa akibat kungkungan adat, yaitu tidak bisa bebas duduk
di bangku sekolah, harus dipingit, dinikahkan dengan laki-laki yang tak
dikenal, dan harus bersedia dimadu. yang semuanya berisi ketidakadilan bagi
perempuan. Dan itulah cita-cita Kartini pada awalnya untuk merubah tatanan yang
ada.
Untuk menguwujdkan cita-cita membela perempuan dibawah penindasan hukum
dan adat Kartini ingin melanjutkan sekolah ke Eropa tetapi akhirnya dibatalkan
oleh Kartini sendiri yang akhirnya beralih ke Betawi saja setelah dinasihati oleh Nyonya Abendanon bahwa itulah
yang terbaik bagi Kartini dan adiknya Rukmini.
Pada
pertengahan tahun 1903 saat berusia sekitar 24 tahun, niat untuk melanjutkan
studi menjadi guru di Betawi pun pupus. Dalam sebuah surat kepada Nyonya
Abendanon, Kartini mengungkap tidak berniat lagi karena ia sudah akan menikah.
"...Singkat dan pendek saja, bahwa saya tiada hendak mempergunakan
kesempatan itu lagi, karena saya sudah akan kawin..." Padahal saat itu
pihak departemen pengajaran Belanda sudah membuka pintu kesempatan bagi Kartini
dan Rukmini untuk belajar di Betawi.
Saat menjelang pernikahannya, terdapat
perubahan penilaian Kartini soal adat Jawa. Ia menjadi lebih toleran. Ia
menganggap pernikahan akan membawa keuntungan tersendiri dalam mewujudkan
keinginan mendirikan sekolah bagi para perempuan bumiputra kala itu. Dalam
surat-suratnya, Kartini menyebutkan bahwa sang suami tidak hanya mendukung
keinginannya untuk mengembangkan ukiran Jepara dan sekolah bagi perempuan bumiputra saja,
tetapi juga disebutkan agar Kartini dapat menulis sebuah buku.
Perubahan pemikiran Kartini ini
menyiratkan bahwa dia sudah lebih menanggalkan egonya dan menjadi manusia yang
mengutamakan transendensi, bahwa ketika Kartini hampir mendapatkan impiannya
untuk bersekolah di Betawi, dia lebih memilih berkorban untuk mengikuti prinsip
patriarki yang selama ini ditentangnya, yakni menikah dengan Adipati Rembang.
Kartini tetap
berada dalam naungan hukum dan budaya adat jawa yang dulu ditentangnya. Tetapi
perubahan pemikiran itu juga tetap tercermin untuk melakukan gerakan feminsime
kepada perempuan-perempuan jawa. Terlihat dia tetap membuka sekolah bagi
perempuan bumiputra dan juga mengembangkan ukiran jepara.
Perubahan
pemikiran Kartini berubah dari liberal menjadi corak ekofeminisme, hal ini
terlihat dari beberapa tindakan kartini yang tetap dalam kungkungan adat jawa
dan juga dia tetap melakukan aktivitasnya menjadi seorang istri dan juga
perempuan dan bahkan dia tetap menjadi rela di poligami yang dulu saat
ditantangnya.
Hal yang
menguatkan asumsi bahwa corak kartini telah menjadi corak ekofeminisme
tercermin dari surat berikut :
Kita dapat menjadi manusia sepenuhnya, tanpa
berhenti menjadi wanita sepenuhnya (Surat kartini kepada Nyonya Abendon, Agustus
1900 )
"Kami
di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak perempuan, bukan
sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam
perjuangan hidupnya. Tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum
wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam sendiri ke dalam
tangannya: menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama. [Surat Kartini kepada Prof. Anton dan Nyonya, 4 Oktober
1902]
Analisis Surat 1 :
Menurut Kartini perempuan tetap lah menjadi perempuan seperti yang
dikotruksi dalam adat dan budaya jawa, tetapi hal itu bukan menjadi suborninasi
dan hal yang negative terhadap kedudukan perempuan, tapi dengan sifat ke
femininan perempuan bias mengubah tatanan keseimbangan antara laki-laki dan
perempuan. Hal ini tercermin dalam inti ajaran ekofeminisme
Analisis surat 2 :
Gerakan Kartini untuk
memberikan pendidikan kepada perempuan bumiputra bukan semata-mata untuk
menyaingi laki-laki baik dalam sector public, politik dan lain-lain , melainkan
untuk medidik perempuan untuk melakukan kewajibannya menjadi tetap seorang ibu,
karena ibu lah sebagai pemberi pendidikan pertama. Hal diatas tercermin dalam
inti ajaran ekofeminisme yaitu Perempuan dapat mengubah tatanan yang lebih seimbang
melalui peran ibu pengasuh dalam keluarga dan lingkungan alam dan juga ajaran yang lain yaitu Kualitas
feminine perempuan tetap terjaga agar bias berkuasa menjadikan tatanan social
yang lebih damai mengimbangi dominasi laki-laki yang cenderung kasar.
B. Kesimpulan
Pemikiran Kartini mengalami transformasi dari feminism
liberal menjadi ekofeminisme karena didasari oleh penafsiran ulang tentang
budaya jawa oleh kartini.
Adapun kritik terhadap pemikiran Kartini yang
dikemukan oleh penulis adalah sebagai berikut :
1.
Adanya ketidak
konsistenan pemikrian Kartini tentang sebuah ideologi dan juga tatanan hukum
dan budaya jawa.
2.
Kartini hanya
melakukan gerakan dipulau jawa, dan hanya mengambil sudut pandang dari
kebudayaan jawa saja
3.
Kartini berasal
dari keluarga yang kaya dan juga sebuah keberuntungan mendapatkan suami yang
memberikan kebebasan kepadanya, hal yang peru digaris bawahi adalah bagaimana
dengan perempuan yang tidak memliki kebebasan dari suami dan keluarga dan juga
berasal dari kalangan miskin.
4.
Kartini melakukan
transformasi pemikiran yang hanya karena dia tetap mendapat keuntungan ketika
tetap berada dalam kungkungan patriarki
IV.
DAFTAR PUSTAKA