Kamis, 09 Mei 2013

Kita dan Budaya Patriarki

Budaya patriarki sebenarnya sudah menjadi santapan bagi kita dalam kehidupan sehari-hari baik secara sadar maupun tidak sadar. Bahkan wacana ini juga menjadi pokok penting dalam diskusi dikalangan akademisi terutama bagi mereka yang menenggelamkan dirinya dalam kajian-kajian gender dan feminisme. Tidak jarang kita jumpai konsep ini menjadi perdebatan rutin diantara dua kubu yaitu antara kubu pro patriarki dan kontra patriarki.

Kubu pro patriarki merupakan mereka yang nyaman  dengan segala ‘surplus’ yang diberikan oleh patriarki tersebut dalam kehidupan mereka. ‘surplus’ itu bermacam-macam, mulai dari kekuasaan, peran bahkan kontruksi hukum serta norma-norma yang ada dimasyarakat. Kubu kontra patriarki jelaslah mereka yang dirugikan dengan adanya budaya tersebut karena mereka mendapatkan kerugian dari hal itu. Kerugian tersebut bisa berupa kekerasan (fisik, budaya,ekomoni.dll), penindasan hingga diskriminasi.

Individu yang berada dikubu ini bukanlah terdiri dari 1 sex (jenis kelamin) saja, kedua kubu ini mempunyai pendukung perempuan dan laki-laki tetapi dalam kuantitas yang mungkin tidak sama. Pendukung patriarki lebih banyak didominasi oleh kaum laki-laki dari pada perempuan, sebaliknya juga yang kontra patriarki lebih banyak perempuan dari pada laki-laki.

Singkatnya tentang Patriarki

Patriarki adalah suatu sistem dimana adanya relasi yang timpang antara yang mendominasi dan yang didominasi, dimana yang mendominasi mengontrol yang didominasi. Biasanya ini berkenaan terhadap ekspresi gender dimana yang mendominasi adalah kaum-kaum maskulin (superior) sedangkan yang didominasi adalah kaum-kaum feminine (inferior).

Jika diulas sedikit tentang sejarah penindasan masyarakat yang digoreskan Fredrick Angel dalam bukunya Asal Usul keluarga, Kepemilikan Pribadi dan Negara maka dapat disimpulkan budaya patriarki ini muncul pada zaman peralihan yaitu peralihan zaman paleolitikum dan zaman logam yang dimulai dari adanya aktivitas bercocok tanaman holtikultura yang dilakukan oleh perempuan, kemudian domestifikasi binatang buruan menjadi ternak hingga ditemukannya baja/logam dan api yang dibuat menjadi bajak sehingga dapat mengelolah tanah lebih luas. Pembajakan ini dilakukan oleh laki-laki karena perempuan tidak bisa lagi mengkombinasikan pekerjaan memelihara anak dengan produksi pertanian dan hal lain yang melatarbelakangi kenapa perempuan tidak membajak karena proses evolusi tubuh perempuan yang berubah pada zaman holtikultura. pembajakan mendapatkan hasil yang banyak sehingga terjadi akumulasi modal dan menyebabkan surplus, jelas yang mendapatkan surplus adlah laki-laki sehingag muncul kepemilikan pribadi. Surplus ini lah yang memulai adanya budaya patriarki dimana perempuan mulai didomestifikasi dan hanya difungsikan sebagai alat reproduksi untuk menghasilkan generasi yang nantinya generasi dijadikan sebagai tenaga kerja. Perempuan menjadi penting sebagai alat perdagangan karena memiliki rahim untuk memproduksi anak, karena perempuan menjadi alat perdagangan maka munculah mekanisme pasar yaitu sistem jual beli perempuan disebut Mahar atau mas kawin. Hal diatas lah yang melatarbelakangi muncul patriarki di masyarkat. Sistem ini lah yang diadopsi dan turun temurun hingga sekarang dikalangan masyarakat di bumi ini.

Keuntungan dan Kerugian Patriarki Sebuah Ketimpangan

Sebuah sistem terlahir dari kognitif manusia yang beragam, berhasilnya sistem diterapkannya dalam kehidupan karena sebuah kesepakatan beberapa pikiran lebih singkatnya karena adanya kekuasaan serta suara mayoritas (dari aspek kuantitas pada saat dimana sistem itu ingin diterapkan). Mereka yang memiliki kuasa ataupun yang mayoritas tadi akan merasa mendapat keuntungan dari sistem tersebut. Tetapi, pertanyaan selanjutnya yang muncul bagaimana dengan mereka yang tidak setuju dengan sistem itu atau bagaimana orang-orang yang tidak mempunyai kekuasaan (atau bisa saja memiliki kekuasaan yang lebih lemah) pasti akan merasa dirugikan dengan sistem tersebut.

Patriarki memberikan keuntungan kepada laki-laki (atau individu maskulin) yaitu dalam keluarga saja misalnya, si Ayah menjadi kepala rumah tangga, menjadi pemegang kekuasaan absolut dalam keluarga, dalam hal pemerintahan laki-laki akan lebih dipercaya dalam memimpin karena dalam sistem patriarki laki-laki maskulin lah yang menjadi jenis kelamin superior, dalam hal beribadah laki-laki yang akan menjadi imam yang memimpin ibadah, dll. Keuntungan patriarki bagi perempuan adalah rasa kenyamanan yang didapatkan misalnya dalam masyarkat banyak perempuan menggunakan sistem patriarki sebagai perlindungan diri. Contohnya jika ingin memanjat pohon besar, maka siperempuan akan mengatakan kepada silaki-laki agar memanjat karena dia hanya perempuan yang harus dilindungi, kemudian dalam hal pemenuhan ekomoni dalm keluarga, sering sekali siperempuan menyalahkan laki-laki ketika silaki-laki tidak mampu memenuhi kediupan ekonomi karena sistem patriarki sudah mengkontruksikan laki-laki lah penopang ekomoni keluarga.

Tidak berbeda jauh dengan kerugian dari budaya patriarki, laki-laki juga merasa dirugikan dalam budaya patriarki, misalnya : ketika seorang laki-laki tidak mempunyai kesiapan sebagai imam dalam keluarga mungkin karena factor psikologis maka dia akan dikucilkan, laki-laki yang yang tidak bisa mengekspresikan gendernya menjadi maskulin akan mendapat soroton dari masyarkat yang mengatakan banci, bencong, cemen dll, bahkan laki-laki yang memiliki sifat femimin sangat rentan menjadi korban kekerasan dan diskriminasi karena patriarki mengharuskan laki-laki yang maskulin dan kuat. Kerugian patriarki buat perempuan juga tidak kalah banyaknya, dalam keluarga khusunya penganut patrilineal akan mengutamakan anak laki-laki dari pada perempuan untuk penerus marga, kemudian dari pembagian harta warisan perempuan akan selalu mendapat bagian yang paling sedikit dari laki-laki, kepemilikan atas perempuan (perempuan dijadikan hak milik laki-laki) dengan cara pembelian perempuan melalui mas kawin artinya perempuan dijadikan objek (barang), tubuh perempuan menjadi makanan empuk atas kekuasaan baik politik tubuh perempuan yang mengekang kebebasan perempuan dalam berbusana, stigma yang mengatakan perempuan adalah sumber dosa dan maksiat karena tubub yang dimilikinya sehingga akan muncul tindakan kriminalisasi atas perempuan (pelecehan seksual, pemerkosanaan),bahkan dalam sistem patriarki perempuan menjadi kelas nomor dua dalam masyarakat.

Bagaimana Kita Bertindak ?

Ketika kita mendapatkan sebuah keuntungan, maka jelas kita tidak akan serta merta melepaskannya begitu saja. Tetapi, pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana ketika segala keuntungan itu kita nikmati diatas penderitaan orang lain? Bukankah kita mahluk yang memiliki nurani ?

 Menghapuskan sistem patriarki bukanlah seperti membalikan telapak tangan, patriarki suatu menjadi konsep, acuan, indicator dalam segala aspek kehidupan masyarkat. Mulai dari agama, hukum, adat istiadat, norma, politik dll. Jika sistem ini juga akan dipertahankan maka semakin banyak korban jiwa yang sengasara bahkan hingga kegenerasi kita kedepan.

Hal yang mungkin bisa kita lakukan adalah dengan memulainya dari dalam diri kita sendiri, mengurangi rasa ego kita atas keuntungan patriarki kepada kita. Bagi kita yang diuntungkan atas patriarki, tidak merasa menjadi superior karena itu awal dimana kita melakukan penindasan, diskriminasi terhadap orang lain.

Manusia dimuka bumi ini adalah sama, bahkan kedudukannya setara karena kita terlahir dalam keadaan yang sama. Tetapi mengapa ketika kita sudah menginjakkan kaki di dunia ini menjadi ada dua kubu antara superior dan inferior ? keuntungan atas patriarki yang kita alami merupakan penindasan atas orang yang dirugikan oleh patriarki dan itu adalah pelanggaran atas hak asasi manusia.


-Edison F.Swandika Butar butar

Senin, 29 Oktober 2012

ANALISIS PEMIKIRAN FEMINISME KARTINI

I.                   LATAR BELAKANG
Gerlombang liberalisme di Indonesia masuk berbagai pintu. Salah satu pintu yang boleh dikatakan sukses adalah pintu isu kesetaraan gender. Isu ini bahkan telah berhasil menembus kebijakan negara. Alhasil, gender mainstreaming menjadi salah satu program penting dalam semua lini program yang dicanangkan pemerintah. Selain itu, pemerintah juga meratifikasi MDGs (Milenium Development Goals) yang salah satu indikatornya adalah pengarus-utamaan gender. Targetnya sangat telanjang: menyamakan peran laki-laki dan perempuan. Artikel ini tidak akan membicangkan masalah ini. Yang akan menjadi fokus adalah asal-muasal dari mana gerakan ini muncul di negeri ini? Apakah tepat konteks sosial Indonesia?
Gerakan perempuan di Indonesia mulai menyeruak ke permukaan setelah terbit buku kompilasi surat-menyurat Kartini dengan teman-teman Belandanya (Ny. Abendanon, Stella, Ny. Ovink-Soer, dll) bertajuk Door Duisternis Tot Licht (1911). Buku ini menjadi populer ketika Armin Pane, pujangga angkatan Balai Pustaka, menerjemahkannya dan memberinya judul Habis Gelap Terbitlah Terang. Buku ini dianggap memberi inspirasi bagi kaum wanita di Indonesia untuk memperjuangkan harkat dan martabatnya agar sejajar dengan laki-laki. Alhasil kata “emansipasi wanita” menjadi kata-kata yang sangat familiar di negeri ini; dan Kartini pun didaulat sebagai salah seorang pahlawan wanita kebangga bangsa ini.
Dalam surat-suratnya, Kartini bercerita tentang kegetiran dan nestapa yang dialaminya sebagai anak-wanita seorang priyayi Jawa (Bupati). Ia selalu ditempatkan sebagai makhluk kelas dua setelah saudara laki-lakinya. Perannya dianggap lebih rendah dibandingkan laki-laki. Ayahnya menikah secara poligami yang membuatnya sangat tidak senang, sekalipun akhirnya ia harus menerima kenyataan menjadi istri keempat Bupati Rembang.
Atas pengalaman yang dialaminya itu, Kartini sampai pada kesimpulan bahwa wanita Indonesia harus bergerak dan bangkit melawan penindasan ini. Untuk bangkit itu, “Kartini bercita-cita memberi bekal pendidikan kepada anak-anak perempuan, terutama budi pekerti, agar mereka menjadi ibu yang berbudi luhur, yang dapat berdiri sendiri mencari nafkah sehingga mereka tidak perlu kawin kalau mereka tidak mau.” (Sulastin Sutrisno, Surat-Surat Kartini, Djambatan, 1985: xvii).
Sampai pada titik ini, pemikiran-pemikiran feminis Kartini terlihat terang-benderang, walaupun akhirnya ia memilih untuk meninggalkan pemikiran-pemikirannya ini. Kartini rupanya lebih senang menjadi wanita Jawa apa adanya. Ia memilih untuk menikah, punya anak, dan tidak bekerja mencari nafkah sendiri seperti yang ia angankan sebelumnya. Bahkan pernikahan poligami yang sebelumnya sangat dimusuhi dan dianggapnya sangat “diskriminatif” terhadap wanita, akhirnya ia jalani. Keputusannya ini sangat disayangkan oleh teman-teman Balandanya, terutama Stella. Stella kecewa atas perubahan pikiran dalam diri Kartini. Sebagai seorang penganut feminisme yang sudah mendarah-daging, Stella betul-betul tidak dapat mengerti keputusan Kartini.
Kartini sendiri tidak terlihat sama sekali merasa tertindas atas pernikahan poligaminya itu. Bahkan beberapa saat setelah pernikahannya Kartini menulis surat kepada J.H. Abendanon dan istrinya yang menunjukkan bahwa pernikahannya, sekalipun pernikahan keempat bagi suaminya,samasekalibaik-baiksaja.
“Kawan-kawan yang baik dan budiman. Saya tahu betul-betul, bagaimana surat ini diharap-harapkan, surat saya yang pertama dari rumah saya yang baru. Alhamdulillah, di rumah itu dalam segala hal keadaan saya baik dan menyenangkan; di situ yang seorang dengan dan karena yang lain bahagia…” (Surat-Surat Kartini, hal. 348).

Mencermati perjalanan hidup Kartini seperti itu, patut dipertanyakan dari mana Kartini punya pikiran feminis pada awal-awal suratnya? Padahal, sejatinya Kartini adalah wanita Jawa yang ternyata lebih menghayati kehidupan budayanya. Kesenangannya justru lahir dalam harmoni mengikuti ritme budaya tempat sekian lama ia hidup dan sudah mendarah daging sejak lahir. Ia tidak pernah senang menjadi wanita pemberontak seperti yang diajarkan para feminis.
Pertanyaan ini tidak akan pernah terjawab kalau kita tidak mencermati di mana Kartini bersekolah dan dengan siapa ia berkirim surat. Kartini bersekolah di sekolah Belanda karena ia seorang anak bupati yang bisa menikmati sekolah bersama dengan anak-anak Belanda. Menjelang abad ke-20 saat Kartini bersekolah adalah saat ide-ide politik etis yang dipengaruhi kelompok liberal di Belanda tengah menjadi arus wacana utama di Hindia Belanda (baca: Indonesia).
Selain karena arus wacana politik etis, karena bersekolah di sekolah Belanda sudah tentu Kartini akan menyerap berbagai paham yang tengah berkembang di Barat. Salah satu yang tidak bisa dihindari adalah liberalisme. Pandangannya tentang kedudukan laki-laki dan perempuan pun hampir bisa dipastikan banyak terpengaruh pandangan-pandangan liberal yang diajarkan guru-guru belandanya di sekolah. Dari sekolah Belanda ini pula Kartini bertemu dengan buku-buku dan surat kabar yang berhaluan liberal.
Pengaruh feminis yang paling meyakinkan dalam surat-suratnya adalah teman-teman korespondensinya sendiri. Stella Zeehandelar adalah salah seorang yang paling feminis dibanding teman-temannya yang lain. Usianya lebih tua 5 tahun dari Kartini, anak dari orang tua Yahudi-Belanda. Ia penganut sosialis yang sangat kuat dan aktivis feminis sejak masih di Belanda sampai bekerja di Indonesia. Kartini berkenalan dengan Stella pada tahun 1899 melalui redaksi De Hollandse Leile, majalah wanita yang saat itu sangat populer. Teman-temannya yang lain pun rata-rata berpaham liberal seperti pada umumnya orang-orang yangd atang dari Belanda pada abad ke-19 dan 20.
Paham feminis yang muncul dalam surat-surat Kartini hampir bisa dipastikan berasal dari dua sumber di atas: sekolah Belanda dan teman-teman Belandanya. Beruntung bahwa Kartini sesungguhnya tidak benar-benar menjadi feminis yang ekstrim: memusuhi laki-laki. Feminisme bagi Kartini hanya sebatas wacana yang bergolak dalam pikirannya. Selebihnya ia sampaikan itu dalam surat-suratnya. Kartini sendiri tidak pernah berniat sama sekali mempublikasikan pikiran-pikirannya itu, bahkan sampai ia meninggal tahun 1904 dalam usia 25 tahun beberapa hari setelah melahirkan anak pertamanya.
Justru yang mempromosikan pemikiran-pemikiran feminis ini adalah Mr. J.H. Abendanon, Menteri Agama, Pengajaran, dan Kerajinan Hindia Belanda. Ia mengumpulkan semua surat-surat Kartini, menyusunnya, kemudian menerbitkannya tujuh tahun setelah Kartini wafat. Abendanon sendiri, secara politis, adalah penganut aliran etis (baca: liberal) di Belanda. Sangat wajar kalau ia kemudian mempromosikan ide-ide liberal seperti yang tercermin dalam surat-surat Kartini. Secara tidak langsung Abendanon ingin mengajarkan feminisme-liberal kepada masyarakat Indonesia, namun meminjam tangan anak bangsa Indonesia sendiri, Kartini. Inilah sesungguhnya awal mula benih feminisme-liberal ditaburkan di bumi Indonesia yang sesungguhnya tidak menyimpan masalah besar dalam hubungan laki-laki perempuan, sejak Islam datang ke negeri ini.

Melalui makalah ini, penulis akan mencoba menganalisis kembali gerakan feminis yang dilakukan oleh Kartini apakah benar merupakan gerakan feminism liberal atau tidak. Dan melalui makalah ini juga akan di paparkan isi surat-surat kartini yang nantinya menjadi bahan analisis untuk penentuan jenis gerakan feminism Kartini.


















II.                TINJAUAN PUSTAKA

A.    Riwayat Singkat R.A. Kartini
Raden Adjeng Kartini atau sebenarnya lebih tepat disebut Raden Ayu Kartini, (lahir di Jepara, Jawa Tengah, 21 April 1879 – wafat di Rembang, Jawa Tengah, 17 September 1904 pada umur 25 tahun). Raden Adjeng Kartini adalah seseorang dari kalangan priyayi atau kelas bangsawan Jawa, putri Raden Mas Sosroningrat, bupati Jepara. Beliau putri R.M. Sosroningrat dari istri pertama, tetapi bukan istri utama. Kala itu poligami adalah suatu hal yang biasa.
Kartini lahir dari keluarga ningrat Jawa. Ayahnya, R.M.A.A Sosroningrat, pada mulanya adalah seorang wedana di Mayong. Ibunya bernama M.A. Ngasirah, putri dari Nyai Haji Siti Aminah dan Kyai Haji Madirono, seorang guru agama di Telukawur, Jepara. Peraturan Kolonial waktu itu mengharuskan seorang bupati beristerikan seorang bangsawan. Karena M.A. Ngasirah bukanlah bangsawan tinggi, maka ayahnya menikah lagi dengan Raden Ajeng Woerjan (Moerjam), keturunan langsung Raja Madura. Setelah perkawinan itu, maka ayah Kartini diangkat menjadi bupati di Jepara menggantikan kedudukan ayah kandung R.A. Woerjan, R.A.A. Tjitrowikromo.
Kartini adalah anak ke-5 dari 11 bersaudara kandung dan tiri. Dari kesemua saudara sekandung, Kartini adalah anak perempuan tertua. Beliau adalah keturunan keluarga yang cerdas. Kakeknya, Pangeran Ario Tjondronegoro IV, diangkat bupati dalam usia 25 tahun. Kakak Kartini, Sosrokartono, adalah seorang yang pintar dalam bidang bahasa.
Sampai usia 12 tahun, Kartini diperbolehkan bersekolah di ELS (Europese Lagere School). Di sini antara lain Kartini belajar bahasa Belanda. Tetapi setelah usia 12 tahun, ia harus tinggal di rumah karena sudah bisa dipingit.
Karena Kartini bisa berbahasa Belanda, maka di rumah ia mulai belajar sendiri dan menulis surat kepada teman-teman korespondensi yang berasal dari Belanda. Salah satunya adalah Rosa Abendanon yang banyak mendukungnya. Dari buku-buku, koran, dan majalah Eropa, Kartini tertarik pada kemajuan berpikir perempuan Eropa. Timbul keinginannya untuk memajukan perempuan pribumi, dimana kondisi sosial saat itu perempuan pribumi berada pada status sosial yang rendah.
Kartini banyak membaca surat kabar Semarang De Locomotief yang diasuh Pieter Brooshooft, ia juga menerima leestrommel (paket majalah yang diedarkan toko buku kepada langganan). Di antaranya terdapat majalah kebudayaan dan ilmu pengetahuan yang cukup berat, juga ada majalah wanita Belanda De Hollandsche Lelie. Kartini pun kemudian beberapa kali mengirimkan tulisannya dan dimuat di De Hollandsche Lelie. Dari surat-suratnya tampak Kartini membaca apa saja dengan penuh perhatian, sambil membuat catatan-catatan. Kadang-kadang Kartini menyebut salah satu karangan atau mengutip beberapa kalimat. Perhatiannya tidak hanya semata-mata soal emansipasi wanita, tapi juga masalah sosial umum. Kartini melihat perjuangan wanita agar memperoleh kebebasan, otonomi dan persamaan hukum sebagai bagian dari gerakan yang lebih luas. Di antara buku yang dibaca Kartini sebelum berumur 20, terdapat judul Max Havelaar dan Surat-Surat Cinta karya Multatuli, yang pada November 1901 sudah dibacanya dua kali. Lalu De Stille Kraacht (Kekuatan Gaib) karya Louis Coperus. Kemudian karya Van Eeden yang bermutu tinggi, karya Augusta de Witt yang sedang-sedang saja, roman-feminis karya Nyonya Goekoop de-Jong Van Beek dan sebuah roman anti-perang karangan Berta Von Suttner, Die Waffen Nieder (Letakkan Senjata). Semuanya berbahasa Belanda.
Oleh orangtuanya, Kartini disuruh menikah dengan bupati Rembang, K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat, yang sudah pernah memiliki tiga istri. Kartini menikah pada tanggal 12 November 1903. Suaminya mengerti keinginan Kartini dan Kartini diberi kebebasan dan didukung mendirikan sekolah wanita di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor kabupaten Rembang, atau di sebuah bangunan yang kini digunakan sebagai Gedung Pramuka.
Anak pertama dan sekaligus terakhirnya, RM Soesalit, lahir pada tanggal 13 September 1904. Beberapa hari kemudian, 17 September 1904, Kartini meninggal pada usia 25 tahun. Kartini dimakamkan di Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Rembang.
Berkat kegigihannya Kartini, kemudian didirikan Sekolah Wanita oleh Yayasan Kartini di Semarang pada 1912, dan kemudian di Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon dan daerah lainnya. Nama sekolah tersebut adalah “Sekolah Kartini”. Yayasan Kartini ini didirikan oleh keluarga Van Deventer, seorang tokoh Politik Etis.

B.     Isi dan Kumpulan Surat-Surat Kartini
Dalam kumpulan suratnya : "Door Duisternis Tot Licht", yang terlanjur diartikan sebagai "Habis Gelap Terbitlah Terang" tetapi menurut Prof. Haryati Soebadio (cucu tiri Ibu Kartini) – mengartikan kalimat "Door Duisternis Tot Licht" sebagai "Dari Gelap Menuju Cahaya", tersirat siapa Kartini sebenarnya.
Menurut Kartini, setiap manusia sederajat dan mereka berhak untuk mendapat perlakuan sama. Kartini paham benar bahwa saat itu, terutama di Jawa, keningratan sesorang diukur dengan darah. Semakin biru darah seseorang maka akan semakin ningrat kedudukannya.
Seperti dituliskannya kepada sahabat penanya,”Sesungguhnya adat sopan-santun kami orang Jawa amatlah rumit. Adikku harus merangkak bila hendak lalu di hadapanku. Kalau adikku duduk di kursi, saat aku lalu, haruslah segera ia turun duduk di tanah, dengan menundukkan kepala, sampai aku tidak kelihatan lagi. Adik-adikku tidak boleh berkamu dan berengkau kepadaku. Mereka hanya boleh menegur aku dalam bahasa kromo inggil (bahasa Jawa tingkat tinggi). Tiap kalimat yang diucapkan haruslah diakhiri dengan sembah. Berdiri bulu kuduk bila kita berada dalam lingkungan keluarga bumiputera yang ningrat. Bercakap-cakap dengan orang yang lebih tinggi derajatnya, harus perlahan-lahan, sehingga orang yang di dekatnya sajalah yang dapat mendengar. Seorang gadis harus perlahan-lahan jalannya, langkahnya pendek- pendek, gerakannya lambat seperti siput, bila berjalan agak cepat, dicaci orang, disebut "kuda liar". [Surat Kartini kepada Stella, 18 Agustus 1899]
"Peduli apa aku dengan segala tata cara itu ... Segala peraturan, semua itu bikinan manusia, dan menyiksa diriku saja.
Kau tidak dapat membayangkan bagaimana rumitnya etiket di dunia keningratan Jawa itu ... Tapi sekarang mulai dengan aku, antara kami (Kartini, Roekmini, dan Kardinah) tidak ada tata cara lagi. Perasaan kami sendiri yang akan menentukan sampai batas- batas mana cara liberal itu boleh dijalankan. [Surat Kartini kepada Stella, 18 Agustus 1899]
Bagi saya hanya ada dua macam keningratan, keningratan fikiran (fikroh) dan keningratan budi (akhlak). Tidak ada manusia yang lebih gila dan bodoh menurut persepsi saya dari pada melihat orang membanggakan asal keturunannya. Apakah berarti sudah beramal sholih orang yang bergelar macam Graaf atau Baron?... Tidaklah dapat dimengerti oleh pikiranku yang picik ini,
(Surat Kartini kepada Stella, 18 Agustus 1899 )
Kita dapat menjadi manusia sepenuhnya, tanpa berhenti menjadi wanita sepenuhnya (Surat kartini kepada Nyonya Abendon, Agustus 1900 )
Bolehlah, negeri Belanda merasa berbahagia, memiliki tenaga- tenaga ahli, yang amat bersungguh mencurahkan seluruh akal dan pikiran dalam bidang pendidikan dan pengajaran remaja-remaja Belanda. Dalam hal ini anak-anak Belanda lebih beruntung dari pada anak-anak Jawa, yang telah memilki buku selain buku pelajaran sekolah.” [Surat Kartini kepada Ny. Van Kol, 20 Agustus 1902]
"Pergilah. Laksanakan cita-citamu. Kerjalah untuk hari depan. Kerjalah untuk kebahagiaan beribu-ribu orang yang tertindas di bawah hukum yang tidak adil dan paham-paham yang palsu tentang mana yang baik dan mana yang buruk. Pergi. Pergilah. Berjuanglah dan menderitalah, tetapi bekerjalah untuk kepentingan yang abadi" [Surat Kartini kepadaNy. Van Kol, 21 Juli 1902]
"Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak perempuan, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya. Tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam sendiri ke dalam tangannya: menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama. [Surat Kartini kepada Prof. Anton dan Nyonya, 4 Oktober 1902]

C.    Pemikirian Kartini
Pada surat-surat Kartini tertulis pemikiran-pemikirannya tentang kondisi sosial saat itu, terutama tentang kondisi perempuan pribumi. Sebagian besar surat-suratnya berisi keluhan dan gugatan khususnya menyangkut budaya di Jawa yang dipandang sebagai penghambat kemajuan perempuan. Dia ingin wanita memiliki kebebasan menuntut ilmu dan belajar. Kartini menulis ide dan cita-citanya, seperti tertulis: Zelf-ontwikkeling dan Zelf-onderricht, Zelf- vertrouwen dan Zelf-werkzaamheid dan juga Solidariteit. Semua itu atas dasar Religieusiteit, Wijsheid en Schoonheid (yaitu Ketuhanan, Kebijaksanaan dan Keindahan), ditambah dengan Humanitarianisme (peri kemanusiaan) dan Nasionalisme (cinta tanah air).
Surat-surat Kartini juga berisi harapannya untuk memperoleh pertolongan dari luar. Pada perkenalan dengan Estelle "Stella" Zeehandelaar, Kartini mengungkap keinginan untuk menjadi seperti kaum muda Eropa. Ia menggambarkan penderitaan perempuan Jawa akibat kungkungan adat, yaitu tidak bisa bebas duduk di bangku sekolah, harus dipingit, dinikahkan dengan laki-laki yang tak dikenal, dan harus bersedia dimadu.
Pandangan-pandangan kritis lain yang diungkapkan Kartini dalam surat-suratnya adalah kritik terhadap agamanya. Ia mempertanyakan mengapa kitab suci harus dilafalkan dan dihafalkan tanpa diwajibkan untuk dipahami. Ia mengungkapkan tentang pandangan bahwa dunia akan lebih damai jika tidak ada agama yang sering menjadi alasan manusia untuk berselisih, terpisah, dan saling menyakiti. "...Agama harus menjaga kita daripada berbuat dosa, tetapi berapa banyaknya dosa diperbuat orang atas nama agama itu..." Kartini mempertanyakan tentang agama yang dijadikan pembenaran bagi kaum laki-laki untuk berpoligami. Bagi Kartini, lengkap sudah penderitaan perempuan Jawa yang dunianya hanya sebatas tembok rumah.
Surat-surat Kartini banyak mengungkap tentang kendala-kendala yang harus dihadapi ketika bercita-cita menjadi perempuan Jawa yang lebih maju. Meski memiliki seorang ayah yang tergolong maju karena telah menyekolahkan anak-anak perempuannya meski hanya sampai umur 12 tahun, tetap saja pintu untuk ke sana tertutup. Kartini sangat mencintai sang ayah, namun ternyata cinta kasih terhadap sang ayah tersebut juga pada akhirnya menjadi kendala besar dalam mewujudkan cita-cita. Sang ayah dalam surat juga diungkapkan begitu mengasihi Kartini. Ia disebutkan akhirnya mengizinkan Kartini untuk belajar menjadi guru di Betawi, meski sebelumnya tak mengizinkan Kartini untuk melanjutkan studi ke Belanda ataupun untuk masuk sekolah kedokteran di Betawi.
Keinginan Kartini untuk melanjutkan studi, terutama ke Eropa, memang terungkap dalam surat-suratnya. Beberapa sahabat penanya mendukung dan berupaya mewujudkan keinginan Kartini tersebut. Ketika akhirnya Kartini membatalkan keinginan yang hampir terwujud tersebut, terungkap adanya kekecewaan dari sahabat-sahabat penanya. Niat dan rencana untuk belajar ke Belanda tersebut akhirnya beralih ke Betawi saja setelah dinasihati oleh Nyonya Abendanon bahwa itulah yang terbaik bagi Kartini dan adiknya Rukmini.
Pada pertengahan tahun 1903 saat berusia sekitar 24 tahun, niat untuk melanjutkan studi menjadi guru di Betawi pun pupus. Dalam sebuah surat kepada Nyonya Abendanon, Kartini mengungkap tidak berniat lagi karena ia sudah akan menikah. "...Singkat dan pendek saja, bahwa saya tiada hendak mempergunakan kesempatan itu lagi, karena saya sudah akan kawin..." Padahal saat itu pihak departemen pengajaran Belanda sudah membuka pintu kesempatan bagi Kartini dan Rukmini untuk belajar di Betawi.
Saat menjelang pernikahannya, terdapat perubahan penilaian Kartini soal adat Jawa. Ia menjadi lebih toleran. Ia menganggap pernikahan akan membawa keuntungan tersendiri dalam mewujudkan keinginan mendirikan sekolah bagi para perempuan bumiputra kala itu. Dalam surat-suratnya, Kartini menyebutkan bahwa sang suami tidak hanya mendukung keinginannya untuk mengembangkan ukiran Jepara dan sekolah bagi perempuan bumiputra saja, tetapi juga disebutkan agar Kartini dapat menulis sebuah buku.
Perubahan pemikiran Kartini ini menyiratkan bahwa dia sudah lebih menanggalkan egonya dan menjadi manusia yang mengutamakan transendensi, bahwa ketika Kartini hampir mendapatkan impiannya untuk bersekolah di Betawi, dia lebih memilih berkorban untuk mengikuti prinsip patriarki yang selama ini ditentangnya, yakni menikah dengan Adipati Rembang.
D.    Jenis-Jenis Teori Feminis
1.      FEMINISME LIBERAL
feminis yang mengusulkan bahwasannya perempuan mempunyai hak yang sama dengan laki-laki, ciri dari gerakan ini tidak mengusulkan perubahan struktur secara fundamental, melainkan memasukan wanita kedalam struktur yang ada berdasarka prinsip kesetaraan dengan laki-laki.
Feminisme Liberal Mengatakan bahwa subordinasi perempuan karena adanya setting budaya dan hokum yang membatasi akses dan aktualisasi perempuan di sector publik, karena itu segala hukum dan budaya yang berasaskan patriarki harus diganti dengan yang berkesetaraan gender.

 
Inti ajaran feminis liberal
·         Memfokuskan kepada perlakuan yang sama terhadap wanita diluar dari pada didalam keluarga.
·         Memperluas kesempetan pendidikan merupakan langkah efektif untuk melakukan perubahan sosial.
·         Pekerjaan rumah tangga seperti merawat anak, melayani bapak, menyusui,memandikan, memasak,meancuci dipandang sebuah pekerjaan tidak terampil yang merupakan pengandalan tubuh, bukan pikiran rasional.
·         Perjuangan harus meanyentuh kesetaraan politik antra wanita dan laki-laki,melalui perwakilan wanita diruang-ruang publik
·         Feminis saat ini cenderung lebih sejalandengan liberalisme kesejahteraan atau egalitarian yang mendukung kesejahteraan Negara (welfare state)
Kritik Terhadap Feminisme Liberal
1.      Ada beberapa kesalahan dalam feminisme liberal dimana mereka salah mengemukakan tentang hak individual yang terlalu ideal dan terlalu komit karena selama ini tidka ada masyarakat yang benar-benar bebaas.Asumsi yang diugkapkan feminisme liberal adalah perempuan bisa menjadi seperti laki-laki asalkan mereka menset pikirannya, dan mereka mengatakan bahwa banyak perempuan yang ingin menjadi seperti laki-lali dan juga semua perempuan harus mempunyai keinginan menjadi sepertilaki-laki terutama dalam menganut nilai kelaki-lakiannya.
2.      Kritik lainnya adalah perempuan tidak hidupa hanya dengan rasio dan otonomi semata, hal ini terjadi karena perempuan ingin sekali mengadopsi nilai-nilai laki-laki terrutama mengenai konsep diri laki-laki.
3.      Feminisme liberal terlalu rasis karean hanya mewakili kulit putih, berkelas artinya hanya mencakup perempuan dari kelas menengah dan heteroseksual
4.      Akan menjadikan perempuan menjadi maskulin dan akan bias mengorbankan perempuan lain
Tokoh Feminisme Liberal
·         Alison Jaggar (Feminist Politics and Human Nature)Mary Wollstonecraft (A Vindication of the Rights of Woman)
·         John Stuart Mill and Hariet Taylor (Early Essays on Marriage and Divorce)
·         John Stuart Mill ( The Subjection of Waomen)
·         Hariet Taylor (Enfranchisement of Women)
·         Angela Davis (Women, Race and Class)
Organisasi Feminisme Liberal
·         National Organization for WomenNational Women’s Political Caucus
·         Women’s Equity Action League
·         Women’s International Terrorist Conspiracy for Hell
·         National Women’s Party
·         National Federation of Business and Professional Women’s Clubs

2.      FEMINISME RADIKAL
Feminis radaikal lebih menekankan kebalikan dari feminis liberal, jika sebelumnya kaum feminis mengusulkan kesetaraan kaum hawa dengan kaum adam maka radidkal tidak demikian, hal ini dapat dilihat dari usulan bahwasangnya hak antara laki-laki dan hak perempuan harus dibedakan. Misallnya wanita dan laki-laki mengkonseptualkan kekuasaan secara berbeda, bila laki-laki lebih pada mendominasi dan mengontrol orang lain maka perempuan lebih tertuju dalam berbagi dan merawat keakuasaannya..
Feminis ini menyatakan bahwasanya adanya keteransingan yang dialami kaum perempuan karena diciptakan oleh unsur politik maka transformasi personal lebih kepada aksi-aksi radikal.
Inti ajaran feminis radikal
·         memprotres ekploitasi terhadap wanita (termasuk peran ibu, pasanagan sex, dan istri) feminis radikal menganggap perkawinan sebagai bentik formalitas yang mendeskriminasikan perempuan.
·         masyarakat harus diubah secara menyeluruh,termasuk lembaga-lembaga sosial fundamental harus dirubah secara fundamenbtal pula



Kritik Terhadap Feminism Radikal
1.      Hal yang paling penting adalah dalam feminisme radikal ditekankan sekali tentang laki-laki menindas dan perempuan yang tidak bersalah,
2.       mereka terjebak pada esensi dari realitas yang akhirnya mengakibatkan analisa mereka mengalami kebuntutan dan secara politik mereka berbahaya.
3.      Mereka juga terlalu menganggap tidak positif terhadap hubungan sex yang heteroseksual karena perempuan lebih banyak dieksploitasi, padahal hubungan ini seharusnya dipelihara dan kedua pihak sesungguhnya hanya ingin mencari kesenangan.
Tokoh Feminisme Radikal
·         Allison Jaggar
·         Paula Rothenberg
·         Joreen J
·         Gayle rubin, Kate Millett (Sexual Politics)
·         Shulamith Firestone ( Dialectic of Sex)
·         Marilyn French (Beyon Power)
·         Mary Daly (Beyond God the Father : Toward a Philosophy of Women’s Leberation)
·         Marge Piercy (Woman on the Edge of Time)
Organisasi
·         Redstockings,New York Radical Feminist
·         Radical-Libertarian Feminists



3.FEMINISME MARXIS DAN SOSIAL
Konsep dasar dari feminisme marxis dan sosialis didasarkan pada teori Marx, yang memandang bahwa manusia baru bermakna apabila mereka melakukan kegiatan berproduksi, sehingga dapat dikatakan bahwa manusia lewat berproduksi mnciptakan masyarakat yang kemudian menciptakan atau membentuk mereka.Dari sudut pandang teori ekonomi dipandang bahwa sistem kapitalisme hanya mendasarkan hubungan pertukaran hubngan dan pertukaran kekuasaan yang nantinya mengharapkan surplus value dari hubungan employer dan employee. Sehingga manusia tidak memiliki kebebasan untuk memilih sebab mereka sebagai pekerja yang tertindas.
Dari sudut pandang sosial memnunculkan kesadaran kelas yang dikarenakan terjadinya alienasi baik terhadap produk, terhadap dirinya, terhadap masyarakat dan alam sekitarnya. Dari sudut pandang politik dilihat adanya perjuangan kelas dan kesatuan para pekerja.
Inti ajaran feminis sosialis.
·         Wanita tidak dimasukan kedalam analisis kelas. Dengan alasan karna wanita tidak mempunayai hubunagan khusus dengan alat-alat produksi.
·         Mengajukan solusi bahwasannya wanita harus dibayar untuk upah kerjanya dalam rumah tangga
·         Kapitalisme memperkuat sexism, karena memisahkan antara pekerjaan rumah tangga dan bergaji.dan maendesak agar wanita melakukan pekerjaan diwilayah domestic.
Kritik Terhadap Feminisme Marxis dan Sosial
·         Mereka dalam melihat keluarga adalah laki-laki disektor publik dan perempuan disektor privat dan ini pembagian yang terjadi didalam sistem kapitalis, padahal dalam keluarga tidak sesederhana itu karena didalam keluarga masih merupakan satu-satunya tempat dimana manusia dapat menemukan cinta, keamanan, dan kenyamanan,
·         keluarga bukanlah hanya melulu merupakan alat produksi dan hanya melulu membicarakan keuangan semata tetapi juga mereka masih membahas tentang hal-hal penting lainnya yang menyangkut keluarga.
·         Feminisme sosialis adalah cara mereka memandang bahwa feminisme ini terlalu sedikit membicarakan penindasan laki-laki terhadap perempuan, hal ini dikemukakan oleh feminisme marxis.
·         Feminisme soslialis lebih memperhatikan penindasan utama adalah pada perempuan sebagai pekerja dan juga perempuan sebagai perempuan.
Tokoh Feminisme Marxis dan Sosialis
·         Karl Marx, F. Engels
·         Habermas
·         Althusser
·         Clara Zelthin
·         Juliet Mitchell
·         Iris Young
·         Alison Jagger

4.      FEMINISME EKOLOGI ( EKOFEMINISME )
Ekofeminisme salah satu cabang feminis gelombang ketiga yang mencoba menjelaskanketerkaitan alam dan perempuan terutama yang menjadi titik fokusnya adalah kerusakan alam yang mempunyai keterkaitan langsung dengan penindasan perempuan. Dalam Ekofeminisme perempuan ditempatkan sebagai “sosok yang lain” sejajar dengan sosok yang lainnya yang diabaikan dalam patriarkhi seperti kelompok ras berwarna,anak-anak, kelompok miskin dan alam. Budaya Patriarkhi menyebabkan adanya dominasi terhadap perempuan, kelompok ras berwarna, anak-anak, kelompok miskin dan alam, dan menempatkan mereka sebagai subordinate dibawah laki-laki yang mempunyai sifat yang unggul, netral, pengelola “sah” bumi dan seisinya.
Pergerakan ekofeminis yang pertama dimulai sekitar tahun 1974 oleh sekelompok perempuan di utara India, mereka menamakan dirinya ”chipko Movement”. Mereka memprotes penebangan hutan yang dilakukan oleh kolonial Inggris. Gerakan Chipko merupakan manivestasi dari filsafat Gandhian Satyagrahas yang mencoba menyelamatkan dan melestarikan hutan tradisional atau ”forest culture”. Hutan tradisional menjadi begitu penting bagi masyarakat india karena dari dalamnya mengandung tanah, air dan oksigen yang sangat diperlukan bagi keberlangsungan hidup seluruh makhluk hidup terutama sangat berkaitan erat dengan keberlangsungan hidup perempuan, mengapa? Alasan yang pertama karena sebagian besar perempuan timur dalam kehidupannya sangat bergantung pada pohon-pohonan dan hasil hutan. Tingkat ketergantungan mereka terhadap alam sangat tinggi yaitu tercatat 60 % di 32 negara di Afrika, 80% di 18 negara di Asia dan 40% di Amerika Latin dan kepulauan Karibia. Ketika para laki-laki menghabiskan waktunya di ladang atau berburu, para perempuan tinggal bersama anak-anaknya di hutan, mereka mengandalkan pohon-pohonan serta hasil hutan untuk keberlangsungan hidup mereka. Pohon-pohonan dan hasil hutan tidak hanya berguna untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka tetapi dapat memenuhi hampir semua kebutuhan di ranah domestik. Yang kedua, Ada sejumlah kebiasaan, hal yang tabu dan sah dan waktu yang menghambat yang dihadapi perempuan sedang kan laki-laki tidak menghadapinya. Hal tersebut seperti perempuan dan laki-laki memiliki akses yang berbeda atas sebidang tanah. Di Tanzania, perempuan tidak memiliki hak sama sekali untuk mendiami sebidang tanah, mereka harus meminta izin kepada suami mereka atau laki-laki lain untuk mengolah sebidang tanah. Perempuan di sebagian besar negara berkembang tidak memiliki dukungan hukum untuk berpartisipasi dan ikut mengelola lingkungan lokal mereka.
Inti Ajaran Ekofeminisme adalah
1.      Semua mahluk hidup termasuk manusai adalah saling berhubungan dan saling berketergantungan satu sama lain ( Pendekatan Struktural-Fungsional )
2.      Semua manusia hidup dalam kesatuan dan keharomonisan, hidup bersama-sama dengan perbedaan tanpa harus dilawan-lawankan
3.      Perempuan dapat mengubah tatanan yang lebih seimbang melalui peran ibu pengasuh dalam keluarga dan lingkungan alam
4.      Pembebasan perempuan sejalan dengan pembebasan alam
5.      Kualitas feminine perempuan tetap terjaga agar bias berkuasa menjadikan tatanan social yang lebih damai mengimbangi dominasi laki-laki yang cenderung kasar.
6.      mengeksplorasi pengetahuan perempuan tentang tubuh mereka. Hasil eksplorasi, baik berupa pengetahuan, akses, maupun kontrol, dilanjutkan dengan bagaimana gender berelasi dalam ranah sosial dan kekuasaan.
Hal itu tentu sangat memengaruhi proses reproduksi perempuan, akses, dan kontrol serta kelembagaan perempuan dalam pengurusan kekayaan alam dan sumber daya kehidupan.
7.      perempuan sebagai individu yang bergerak aktif, baik dalam peran, fungsi, maupun posisi. Lebih jelasnya, ekofeminisme meneropong beberapa area khusus, seperti pembangunan, penggunaan sumber daya alam, rekonstruksi agraria, dan transformasi perkotaan.
Tokoh Ekofeminisme
·         Francoise
·         Vandana Siva












III.             PENUTUP
A.  Analisis
Menganalisis dari surat-surat Kartini terhadap sahabatnya. Awal pemikiran kartini merupakan suatu bentuk feminism Liberal, dimana feminism liberal menganggap bahwa suborinasi perempuan terjadi karena adanya Setting hukum dan budaya yang patriarki sehingga harus adanya rekontruksi hukum dan budaya. Feminism liberal juga mengingkan keseteraan antara laki-laki dan perempuan dalam keluarga baik secara perlakuan maupun sopan-santun.
Terlihat dari isi surat kartini yang tertuang dibawah ini menandakan bahwa awalnya kartini merupakan feminism liberal.
Seorang gadis harus perlahan-lahan jalannya, langkahnya pendek- pendek, gerakannya lambat seperti siput, bila berjalan agak cepat, dicaci orang, disebut "kuda liar". [Surat Kartini kepada Stella, 18 Agustus 1899]
"Peduli apa aku dengan segala tata cara itu ... Segala peraturan, semua itu bikinan manusia, dan menyiksa diriku saja. Kau tidak dapat membayangkan bagaimana rumitnya etiket di dunia keningratan Jawa itu ... Tapi sekarang mulai dengan aku, antara kami (Kartini, Roekmini, dan Kardinah) tidak ada tata cara lagi. Perasaan kami sendiri yang akan menentukan sampai batas- batas mana cara liberal itu boleh dijalankan. [Surat Kartini kepada Stella, 18 Agustus 1899]
"Pergilah. Laksanakan cita-citamu. Kerjalah untuk hari depan. Kerjalah untuk kebahagiaan beribu-ribu orang yang tertindas di bawah hukum yang tidak adil dan paham-paham yang palsu tentang mana yang baik dan mana yang buruk. Pergi. Pergilah. Berjuanglah dan menderitalah, tetapi bekerjalah untuk kepentingan yang abadi" [Surat Kartini kepadaNy. Van Kol, 21 Juli 1902]
Analisis surat 1 :
Kartini mengatakan bahwa dalam budaya jawab seorang perempuan harus lemah lembut dan berjalan agak cepat kalau tidak maka dia akan dicap sebagai “Kuda liar”, budaya ini tidak tertuju kepada kaum laki-laki, laki-laki bebas berjalan cepat bahkan maskulin. Disini terlihat bahwa budaya telah mengatur tubuh bahkan sikap juga tatacara perempuan secara berlebihan dan budaya ini mengandung unsure patriarki, yang hanya mengorbankan perempuan.


Analisis Surat 2 :
Sebuah gerakan kecil yang dilakukan oleh Kartini yaitu, dengan merekotruksi budaya itu melalui sikap dan perilakunya bersama adik-adiknya yang mulai menghilangkan sikap-sikap yang harus dituntut oleh budaya itu.karena menurur dia budaya itu menyiksa dan membatasi ruang geraknya sebagai perempuan.
Analisis Surat 3 :
Kartini mengakui bahwa kaum perempuan telah tertindas dibawah hukum dan buaya yang dibentuk dengan asas patriarki Kartini mengungkap. Ia menggambarkan penderitaan perempuan Jawa akibat kungkungan adat, yaitu tidak bisa bebas duduk di bangku sekolah, harus dipingit, dinikahkan dengan laki-laki yang tak dikenal, dan harus bersedia dimadu. yang semuanya berisi ketidakadilan bagi perempuan. Dan itulah cita-cita Kartini pada awalnya untuk merubah tatanan yang ada.
Untuk menguwujdkan cita-cita membela perempuan dibawah penindasan hukum dan adat Kartini ingin melanjutkan sekolah ke Eropa tetapi akhirnya dibatalkan oleh Kartini sendiri yang akhirnya beralih ke Betawi saja setelah dinasihati oleh Nyonya Abendanon bahwa itulah yang terbaik bagi Kartini dan adiknya Rukmini.
Pada pertengahan tahun 1903 saat berusia sekitar 24 tahun, niat untuk melanjutkan studi menjadi guru di Betawi pun pupus. Dalam sebuah surat kepada Nyonya Abendanon, Kartini mengungkap tidak berniat lagi karena ia sudah akan menikah. "...Singkat dan pendek saja, bahwa saya tiada hendak mempergunakan kesempatan itu lagi, karena saya sudah akan kawin..." Padahal saat itu pihak departemen pengajaran Belanda sudah membuka pintu kesempatan bagi Kartini dan Rukmini untuk belajar di Betawi.
Saat menjelang pernikahannya, terdapat perubahan penilaian Kartini soal adat Jawa. Ia menjadi lebih toleran. Ia menganggap pernikahan akan membawa keuntungan tersendiri dalam mewujudkan keinginan mendirikan sekolah bagi para perempuan bumiputra kala itu. Dalam surat-suratnya, Kartini menyebutkan bahwa sang suami tidak hanya mendukung keinginannya untuk mengembangkan ukiran Jepara dan sekolah bagi perempuan bumiputra saja, tetapi juga disebutkan agar Kartini dapat menulis sebuah buku.
Perubahan pemikiran Kartini ini menyiratkan bahwa dia sudah lebih menanggalkan egonya dan menjadi manusia yang mengutamakan transendensi, bahwa ketika Kartini hampir mendapatkan impiannya untuk bersekolah di Betawi, dia lebih memilih berkorban untuk mengikuti prinsip patriarki yang selama ini ditentangnya, yakni menikah dengan Adipati Rembang.
Kartini tetap berada dalam naungan hukum dan budaya adat jawa yang dulu ditentangnya. Tetapi perubahan pemikiran itu juga tetap tercermin untuk melakukan gerakan feminsime kepada perempuan-perempuan jawa. Terlihat dia tetap membuka sekolah bagi perempuan bumiputra dan juga mengembangkan ukiran jepara.
Perubahan pemikiran Kartini berubah dari liberal menjadi corak ekofeminisme, hal ini terlihat dari beberapa tindakan kartini yang tetap dalam kungkungan adat jawa dan juga dia tetap melakukan aktivitasnya menjadi seorang istri dan juga perempuan dan bahkan dia tetap menjadi rela di poligami yang dulu saat ditantangnya.
Hal yang menguatkan asumsi bahwa corak kartini telah menjadi corak ekofeminisme tercermin dari surat berikut :
Kita dapat menjadi manusia sepenuhnya, tanpa berhenti menjadi wanita sepenuhnya (Surat kartini kepada Nyonya Abendon, Agustus 1900 )
"Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak perempuan, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya. Tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam sendiri ke dalam tangannya: menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama. [Surat Kartini kepada Prof. Anton dan Nyonya, 4 Oktober 1902]
 Analisis Surat 1 :
Menurut Kartini perempuan tetap lah menjadi perempuan seperti yang dikotruksi dalam adat dan budaya jawa, tetapi hal itu bukan menjadi suborninasi dan hal yang negative terhadap kedudukan perempuan, tapi dengan sifat ke femininan perempuan bias mengubah tatanan keseimbangan antara laki-laki dan perempuan. Hal ini tercermin dalam inti ajaran ekofeminisme
Analisis surat 2 :
Gerakan Kartini untuk memberikan pendidikan kepada perempuan bumiputra bukan semata-mata untuk menyaingi laki-laki baik dalam sector public, politik dan lain-lain , melainkan untuk medidik perempuan untuk melakukan kewajibannya menjadi tetap seorang ibu, karena ibu lah sebagai pemberi pendidikan pertama. Hal diatas tercermin dalam inti ajaran ekofeminisme yaitu Perempuan dapat mengubah tatanan yang lebih seimbang melalui peran ibu pengasuh dalam keluarga dan lingkungan alam dan juga ajaran yang lain yaitu Kualitas feminine perempuan tetap terjaga agar bias berkuasa menjadikan tatanan social yang lebih damai mengimbangi dominasi laki-laki yang cenderung kasar.
B.   Kesimpulan
Pemikiran Kartini mengalami transformasi dari feminism liberal menjadi ekofeminisme karena didasari oleh penafsiran ulang tentang budaya jawa oleh kartini.
Adapun kritik terhadap pemikiran Kartini yang dikemukan oleh penulis adalah sebagai berikut :
1.      Adanya ketidak konsistenan pemikrian Kartini tentang sebuah ideologi dan juga tatanan hukum dan budaya jawa.
2.      Kartini hanya melakukan gerakan dipulau jawa, dan hanya mengambil sudut pandang dari kebudayaan jawa saja
3.      Kartini berasal dari keluarga yang kaya dan juga sebuah keberuntungan mendapatkan suami yang memberikan kebebasan kepadanya, hal yang peru digaris bawahi adalah bagaimana dengan perempuan yang tidak memliki kebebasan dari suami dan keluarga dan juga berasal dari kalangan miskin.
4.      Kartini melakukan transformasi pemikiran yang hanya karena dia tetap mendapat keuntungan ketika tetap berada dalam kungkungan patriarki

IV.             DAFTAR PUSTAKA
http://id.wikipedia.org/wiki/Kartini Di unduh Minggu, 3 Juni 2012