Kamis, 17 November 2011

DAMPAK EKSISTENSI BHINEKA TUNGGAL IKA TERHADAP KEBERAGAMAN BUDAYA INDONESIA


Mungkin jika di Tanya sekarang secara personal “apakah itu bhineka tunggal ika?” pasti bias di pastikan kita mengetahuinya dan dengan cepat akan menjawab “itu kan semboyang Negara kita, berbeda-beda tetapi tetap satu”. Sekilas istilah itu hanya menunjukan adanya  suatu tujuan Negara menjadikan masyarkat yang menyatu, tetapi telah terinterpretasi suatu sikap politik yang sangat tegas untuk mencapai persatuan yang tidak bias di tawar-tawar.
Sikap yang tidak bisa digugat ini pun sangat berdampak terhadap keberadaan kebudayaan yang ada diindonesia yang kita ketahui begitu beragam, keberagaman budaya itu tidak mendaptakan kedudukan yang layak lagi dan tidak mendapatkan jatah berekspresi yang berujung dengan lahirnya sikap-sikap pembangkangan terhadap Negara seperti parasitisme,konflik social, konflik antar suku dan juga terror.
Kesalahan pengelolaan keberagaman budaya dengan indicator bhineka tunggal ika telah menetaskan dampak-dampak buruk. Beragamannya kebudayaan, suku bangsa, agama dll yang ada di Indonesia merupakan suatu bukti kongkrit bahwa Indonesia Negara yang plural. Gerakan pemersatu perbedaan ini kedalam satu wadah kebersamaan telah menjadi suatu bentuk penghambat pengekspresian budaya dalam berbagai bentuk. Contoh yang paling jelas adalah lepasnya timor leste dari Indonesia merupakan suatu bentuk gagalnya cita-cita pemersatuan ini, belum lagi aceh, dan papua yang sampai saat ini masih terus berjuang  menggapai kemerdekaan nya dan kita lihat kembali Ambon daerah konflik merupakan contoh yang sangat jelas bagaimana kebudyaan yang salah urus ini.
Keberagaman etnis yang jumlahnya cukup besar da tersebar di wilayah geografis Indonesia menjadi gambaran tentang kompleksitas kebudayaan yang ada di Indonesia dan yang mengakibatkan sulitnya terjalin komunikasi. Perbedaan itu menunjukan cara pandang yang berbeda dan perlakuan system nilai yang berbeda adanya juga perbedaan tingkah laku social, ekomoni dan politik satu dengan yang lain. Akibat adanya semboyang pemersatu ini lah semua perbedaan itu dikesampingkan karena dinilai menjadi factor penghambat integrasi dan juga menghambat pembangunan yang menjadi satu-satunya ideology yang sahih pada waktu zaman orde baru.
Penataan keberagaman etnis ini juga terdapat kecenderungan yang sangat vatal yaitu pada konsep mayoritas dan minoritas. Etnis-etnis mayoritas mendapat pengakuan dan kedudukan yang layak dalam berbagia bentuk, sementara etnis minoritas yang tidak memiliki eksistensi mengalami marginalisasi. Orang jawa telah mendapatkan privelense pemerintahan dalam program trasmigrasi demikian juga orang Madura mendapat privelense di Kalimantan. Sedangkan suku-suku minoritas di daerah di anggap terbelakang dan harus di indonesiakan (suparlan). Suku-suku yang tersebar di berbagai tempat yang dianggap masih terasing (kubu,badui dll) telah menjadi berbeda dan mendapat perubahan gaya hidup dna hilangnya sifat dan karakter dasar dari etnis tersebut akibat adanya proses pemersatuan dan pengembangan suku-suku itu.

Pemakasaan penggunaan bahasa persatuan (bahasa melayu) merupakan bukti jelas juga yang mengakibatkan lebih dari 512 bahasa local mengalami nasib yang sangat memprihatinkan dan mengalami kemunduran karena dianggap adanya perbedaan logika berfikir akibat bahasa local itu. Pada hal jika di tinjau secara antropologis bahasa bukan lah hanya sebagai alat komunikasi belaka, tetapi baahsa menyimpan makna yang dan tata kelakuan yang beragam dan berbeda. Bahasa yang kaya dengan eksperi budaya akhirnya mengalami kemunduran daalam jumlah penuturnya karena pengaruh bahasa persatuan yang begitu kuat mendominasi sehingga mempersempit ruang penggunaan bahasa local. Kebijakan penggunaan bahasa persatuan ini menafikan adanya keberdaan bahasa local yang masih fungisional dan bias menjadi alat komunikasi dalam pembangunan.
Penataan keberagaman budaya juga terlihat jelas dari segi religious di Indonesia, kesalahan terbesar pemerintah adalah pengakuan terhadap 6 agama  yang diakui di Indonesia yang berdampak telah membunuh agama-agama local dan agama asli etnis inodesia dan berakibat punahnya agama-agama local itu satu demi satu. Contoh dekat adalah agama parmalim, pelbegu,kaharingan dll yang tidak bias berekspresi akibat adanya proses dan pemaksaan pluralitas.
Proses penyatuan dan penyeragaman kebudayaan di Indonesia kemudia berimplikasi pada lahirnya pola hubungan social dan nilai-nilai baru dalam masyarakat yang menjadi dasar dari lahirnya berbagai persoalan social. Kebhinekatunggalikaan telah melahirkan suatu politik budaya yang represif yang melahirkan berbagai bentuk resistensi dan konflik yang laten. Persoalan itu muncul akibat penataan ruang politik dan pengolaan budaya yang salah dan bersifat majemuk.
Proses nasionalisme  menyebabkan terjadinya pengabaian terhadap keberagaman budaya di indosia yang tersebar di berbagia tempat yang begitu kaya dan banyak mengandung kearifan local. Terjadinya konflik diberbagia tempat sebenarnya merupakan bukti nyata kegagalan pemerintah dalam menemukan kebudayan nasional, jika pemahaman tentang keberagaman ini tidka bias dipahami secara baik maka bias di pastikan system pemerintahan akan selalu gagal.
Pengingkaran status kebudayaan yang baragam yang dilakukan oleh pemerintah melahirkan berbagai persoalan yang malah semakin menjauhkan masyrakat dari kebhinekatunggalikaan itu sendiri. Kebudayaan yang tidka mendapat pengakuan  akibat adanya ideologi pembangunan yang mementingkan kehomogenitasan dianggap baik dan mendorong berjalannya pembangunan secara teratur, tetapi itu tidk lah terjadi, bahkan sebaliknya  itu menjadi beban bagi pembangunan karena mengakibatkan terganggunya stabiitas politik karena berbagai konflik yang terjadi.
Dari pemaparan diatas proses penciptaan masyarakat dan system social yang “Bhineka Tunggal Ika” itu megalami banyak halangan karena konsep “satu” atau kesatuan dalam bhineka tunggal ika yang merujuk pada salah satu konsep yang tidak terdefenisikan secara jelas karena istilah itu lebih mendefeniskan politk yang berasa tunggal : bahasa yang satu dan orientasi nilai yang satu dan tentu saja tunduk pada satu pusat. Proses politik ini telah mengalami kegagalam karena pendefinisian secara substansial tentang makna kesatuan itu mendapat basis ekspresinya dan tidak terkomunikasi dengan baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar