Senin, 31 Januari 2011

Pandangan INJIL terhadap UPACARA ADAT BATAK

PENDAHULUAN
Salah satu perbedaan terbesar antara masyarakat di belahan dunia Timur dengan di belahan dunia Barat adalah dalam hal adat istiadat. Kehidupan masyarakat Timur dipenuhi dengan berbagai jenis upacara adat, mulai dari masa dalam kandungan, kelahiran, penyapihan, perkawinan, penyakit, malapetaka, kematian dan lain -lain. Upacara-upacara di sepanjang lingkaran hidup manusia itu di
dalam antropologi dikenal dengan istilah rites de passages atau life cycle rites.

Peralihan dari setiap tingkat hidup ditandai dengan pelaksanaan suatu upacara adat khusus. Upacara ini didasarkan pada pemikiran bahwa masa peralihan tingkat kehidupan itu mengandung bahaya gaib. Upacara adat dilakukan agar seseorang atau sekelompok orang terhindar dari bahaya atau celaka yang akan menimpanya. Malahan sebaliknya, mereka memperoleh berkat dan keselamatan. Inilah salah satu prinsip universal yang terdapat di balik pelaksanaan setiap
upacara adat itu.
Beberapa life cycle rites yang dijumpai pada masyarakat Batak Toba di antaranya: mangganje (kehamilan), mangharoan (kelahiran), martutu aek dan mampe goar (permandian dan pemberian nama), marhajabuan (menikah), mangompoi jabu (memasuki rumah), manulangi (menyulangi/menyuapi), hamatean (kematian), mangongkal holi (menggali tulang belulang), dll. Pada masyarakat Batak lainnya (Karo, Simalungun, Mandailing, Angkola, dan Pakpak Dairi), upacara tersebut memiliki sebutan-sebutan yang berbeda.
Persoalan besar dan sangat penting yang dihadapi oleh seseorang yang memutuskan untuk sungguh-sungguh mengikut Tuhan Yesus adalah: apakah dia masih boleh terlibat dalam upacara adat Batak yang berasal dari masa ketika leluhurnya hidup dalam kegelapan rohani (haholomon) dan penyembahan berhala (hasipelebeguon). Permasalahan tersebut muncul ketika Injil Tuhan Yesus diberitakan pertama kalinya oleh para Missionaris di Tanah Batak, dan terus berlanjut hingga masa kini. Persoalan ini belum tuntas diselesaikan, baik sewaktu Pdt. I.L. Nommensen masih hidup, pada masa gereja dipimpin para Missionaris penerusnya, maupun pada masa pimpinan gereja berada di tangan orang Batak sendiri.
Nommensen mencoba membagi upacara adat atas tiga kategori, yaitu:
i. Adat yang netral
ii. Adat yang bertentangan dengan Injil
iii. Adat yang sesuai dengan Injil
Sebelum masalah itu tuntas, beliau mengambil kebijaksanaan untuk melarang keras dilaksanakannya upacara adat Batak oleh orang Kristen Batak, termasuk penggunaan musik dan tarian (gondang dan tortor) Batak. Akibatnya, jemaat yang baru dilayani pada masa itu banyak yang dikucilkan dari masyarakat, sehingga Nommensen terpaksa menampung mereka dengan membangun perkampungan baru, yang disebut Huta Dame.
Bahkan Raja Pontas Lumban Tobing pernah dikenai disiplin gereja karena menghadiri sebuah upacara kematian. Raja Pontas Lumban Tobing adalah orang yang memberikan tanahnya di Pearaja, Tarutung untuk dipakai bagi kegiatan pelayanan gereja. Dia termasuk seorang raja Batak yang menjadi percaya kepada Tuhan Yesus di awal pelayanan Nommensen. Raja ini mempunyai andil yang cukup besar dalam penyebaran Injil, khususnya dalam menjangkau raja-raja di wilayah
Silindung.
Namun sampai akhir hidupnya, Nommensen gagal menyelesaikan masalah tersebut. Salah satu sumber kegagalan Nommensen terletak pada kategori yang dibuatnya sendiri.
Nommensen sulit menentukan upacara adat Batak mana yang tidak bertentangan dengan Injil
dan upacara adat mana yang netral.
Pada masa-masa akhir pelayanan para Missionaris di Tanah Batak, ditengah- tengah umat Kristen Batak muncul suatu desakan untuk mempertahankan berbagai upacara adat Batak dan mengganti kepemimpinan gereja dengan orang Batak sendiri. Usaha tersebut baru berhasil dengan diangkatnya Pdt. K. Sirait menjadi Ephorus Batak pertama (1942).
Tekanan supaya diizinkannya kembali upacara adat muncul sebagai dampak negatif dari strategi penginjilan di tanah Batak dengan pendekatan struktural masyarakat Batak. Penginjilan dilakukan dengan memusatkan perhatian kepada raja-raja yang memimpin di wilayah masing-masing marga. Pertobatan seorang raja biasanya segera diikuti dengan pembaptisan massal dari penduduk di
wilayah itu, yang umumnya memiliki ikatan kekerabatan dengan sang raja. Dengan cara ini, para Missionaris berhasil dengan cepat mengkristenkan wilayah Tapanuli bagian Utara.
Pihak gereja yang mengutus Nommensen menolak adanya pembaptisan massal yang tidak didasarkan pada pertobatan pribadi. Namun, Nommensen terpaksa melakukannya mengingat cepatnya gerakan islamisasi di Tapanuli Selatan, yang digerakkan oleh pasukan Tuanku Imam Bonjol dan Tuanku Rao. Nommensen berharap mereka yang telah dikristenkan dapat dibimbing dalam ajaran Tuhan di kemudian hari untuk memasuki pertobatan pribadi, mengikut Yesus karena kemauan sendiri dan karena sudah mengerti ajaran Injil.
Dalam kenyataannya, pembaptisan massal kerabat seorang raja yang menjadi pengikut Yesus banyak dilakukan karena solidaritas kekerabatan, bukan karena pertobatan murni dari pemahaman akan Injil Yesus Kristus. Banyak dari mereka belum mengenal kekayaan dan kemuliaan Injil Yesus Kristus sehingga tidak pernah mengalami pembaharuan hidup oleh kuasa Roh Kudus dan mengerti keunikan Injil Kristus.
Pembaptisan massal tersebut memberikan kesibukan yang luar biasa bagi para Missionaris dalam melayani Jemaat baru tersebut. Karena keterbatasan jumlah Missionaris, banyak anggota Jemaat tersebut yang tidak sempat dibina dalam prinsip-prinsip sejati pemuridan Yesus Kristus. Secara organisasi mereka anggota gereja, tetapi dalam pemikiran dan cara hidup mereka masih sebagai
orang Batak Haholomon (kegelapan) yang terikat dengan cara pikir dan cara hidup hasipelebeguon.
Persoalan ini juga disebabkan oleh tidak adanya pedoman atau aturan gereja yang jelas dari pimpinan di Jerman, yang mengirim para Missionaris. Mereka sendiri belum dapat memutuskan sikap yang jelas terhadap upacara adat Batak karena upacara adat Batak merupakan hal baru bagi mereka. Karenanya, terdapat perbedaan sikap yang belum pernah dituntaskan di antara para Missionaris dalam menyikapi jenis-jenis upacara adat Batak yang harus ditinggalkan. Namun pada
prinsipnya, mereka sangat menekankan bahwa segala bentuk hasipelebeguon harus ditinggalkan, karena bertentangan dengan Firman TUHAN.
Pdt. I.L.Nommensen yang pelayanan utamanya berada di Silindung memiliki sikap yang tegas melarang keberadaan berbagai unsur upacara Hasipelebeguon, termasuk tortor dan gondang. Tetapi Gustav Pilgram yang melayani di Balige dan sekitarnya justru mengizinkan tortor dan gondang dilaksanakan dengan beberapa persyaratan seperti: unsur hasipelebeguon harus dihilangkan, pemimpinnya harus missionaris, dilaksanakan pada siang hari, peralatannya milik orang Kristen, dan tidak boleh diikuti oleh orang yang belum percaya kepada Tuhan Yesus.
Perbedaan sikap Pilgram itu dianggap oleh banyak orang Batak sebagai lampu hijau bagi penerimaan adat Batak di dalam kekristenan. Mereka tidak memahami alasan Pilgram mengizinkan dan memahami sikap dasar Pilgram bahwa segala bentuk hasipelebeguon tetap harus disingkirkan dari kehidupan kekristenan.
Alasannya untuk mengizinkan tortor dan gondang dapat kita baca dari “referat 1885” (dikutip dari buku “Parsorion ni Gustav Pilgram”, karangan DR. Andar Lumban Tobing):
“Disipareonta tung sogo do gondang i, jala tortor i pe ndang pasonanghon pamerenganta. Alai na mansai manarik gondang dohot tortor i di halak Batak, boi do dibuktihon godang ni loloan na bolon na mandohotsa. Haru angka Kristen dohot angka parguru pe, tung maol do padaohon nasida sian i. Aut so manarik situtu na ginoran ondeng tu halak Batak i, ndang apala penting tema i, ia so i, molo halak Kristen naung marpangalaman sambing do siadopanta dison, na so mamorluhon gondang dohot tortor, ndang penting tema ginoran nangkin, ai manang ise marnampunahon Anak ni Amata, nunga di ibana hangoluan na saleleng-lelengna, nunga martua nuaeng nang ro di saleleng-lelengna, jala ndang mamorluhon gondang dohot tortor be ibana. Alai dison angka Kristen na baru tardidi dope dohot angka na so marpangalaman, na ingkon sitogu-toguon dope songon dakdanak. Didok rohangku, ndang adong hakta mambuat sude sian nasida naung adong hian di nasida, saleleng so adong pangantusion di nasida mangonai na dumenggan i na naeng boanonta tu nasida.”
Pilgram tidak setuju, namun terpaksa mengizinkan keberadaan gondang dan tortor. Mereka dinilai belum memiliki pengertian akan Kristus, belum berpengalaman, masih seperti seorang anak kecil. Dia berkeyakinan, bila orang Batak itu sudah memiliki pengenalan akan Kristus (dewasa rohani), dia akan mengenal arti hidup yang kekal di dalam Kristus itu, dan pada akhirnya mereka tidak memerlukan lagi tortor dan gondang itu dan meninggalkannya. Jadi tidak perlu dipaksa. Namun, setelah ditunggu selama seratus lima belas tahun kemudian, yakni awal tahun 2000 ini, masih banyak orang Kristen Batak yang masih hidup didalam tingkat rohani seperti yang dikatakan oleh Pilgram itu.
Alangkah pedihnya hati Pilgram kalau melihat kenyataan seperti yang ada saat ini.
Pendudukan Jepang memaksa para Missionaris meninggalkan Indonesia tanpa berhasil menuntaskan masalah upacara adat. Kepergian mereka meninggalkan kekosongan teologia (theologia in loco) dan kebingungan rohani di tengah-tengah Jemaat Batak. Keterikatan dengan pola hidup lamanya telah mendorong Jemaat untuk mendesak pimpinan gereja mengizinkan kembali pelaksanaan berbagai upacara adat. Desakan ini didukung oleh argumentasi teologis yang dikemukakan
para pemimpin rohani yang belum mengalami pembaharuan total dalam pola pemikirannya.
Argumentasi teologis tersebut merupakan suatu pemahaman Injil yang mengkompromikan kebenaran ajaran Injil dengan ajaran agama Batak, teologia yang bersifat sinkretis (pengajaran atau cara hidup yang berasal dari campuran dua atau lebih ajaran), yang dapat diterima oleh pemikiran jemaat kebanyakan. Dalam teologi ini diakui bahwa Yesuslah satusatunya Jalan, Kebenaran, dan Hidup, tetapi dalam hidup sehari -hari perlu dipertahankan upacara adat (agama) Batak, yang diketahui dengan jelas berasal dari Hasipelebeguon.
Teologi Sinkretis inilah yang diajarkan kepada Jemaat Kristen Batak sampai hari ini. Teologi Sinkretis ini telah menjadi arus utama didalam pemahaman iman Jemaat Kristen Batak pada masa sekarang. Akibatnya, pada generasi berikutnya merebak kembali pelaksanaan berbagai upacara adat yang sebelumnya telah dilarang oleh para Missionaris untuk dilakukan. Sebagai contoh, upacara kematian (hamatean), upacara memindahkan tulang belulang (mangongkal holi),
pelaksanaan tortor dan gondang Batak di gereja dan berbagai upacara lainnya.
Bukan itu saja, upacara penyembahan nenek moyang yang merupakan inti agama Batak pada masa kegelapan, kembali merebak dilakukan oleh masyarakat Batak Kristen sekarang. Kebangkitan penyembahan ini mengambil bentuk baru yang ditandai dengan menjamurnya pembangunan tugu-tugu marga Batak. Anda dapat melihat banyaknya tugu yang dibangun di sepanjang jalan lintas antara kota Parapat dengan kota Tarutung. Tugu tersebut dibangun oleh keturunan marga yang berasal dari satu garis leluhur (ompu parsadaan). Pembangunan ini telah menghabiskan dana sangat besar, bahkan mendatangkan kemerosotan rohani yang dalam. Kalau dahulu Nommensen mau dikorbankan oleh orang Batak kepada roh sembahan leluhur marganya diatas bukit Siatas Barita, maka sekarang yang terjadi sebaliknya. Banyak pendeta dan penatua pemimpin kebaktian pada acara pemujaan roh nenek moyang di tugutugu marga.
Ironisnya lagi, pelaksanaan upacara dari masa kegelapan itu dibungkus dengan kebaktian gerejawi, yang dilaksanakan di lokasi pendirian tugu marga dimana tulang belulang leluhur tersebut dikuburkan kembali. Proses pembangunan tugu juga banyak melibatkan kuasa-kuasa setan melalui datu (spirit medium), misalnya untuk menentukan lokasi penggalian tulang belulang leluhur marga.
Tanpa disadari umat Tuhan di tanah Batak telah berubah menjadi umat yang mendua hati (shizoprenis: terpecah), yang pada satu sisi mencoba untuk mengikuti ajaran Yesus Kristus, pada sisi yang lain giat melakukan ajaran agama nenek moyangnya. Dalam hidup keseharian terjadi pencampuran kedua ajaran agama (sinkretis), yaitu agama leluhur dan Injil Yesus Kristus. Akibatnya kekristenan orang Batak menjadi kompromis, permisif dan kebenaran Injil yang mutlak menjadi relatif. Satu kaki berpijak pada Injil (?), dan kaki lainnya berpijak pada Adat (agama Hasipelebeguon). Satu sisi dalam terang, sisi lain dalam kegelapan.
Sinkretisme orang Kristen Batak dapat kita lihat di dalam pelaksanaan perkawinan. Perkawinan orang Kristen Batak dilakukan dengan dua jenis upacara: upacara kegerejaan yang biasanya dilanjutkan dengan upacara agama Batak. Pelaksanaan kedua upacara tersebut merupakan suatu keharusan, sekalipun tidak ada hukum formal maupun Firman Tuhan yang memerintahkannya. Pernikahan secara gerejani, tanpa diikuti dengan pelaksanaan upacara adat Batak, sering
menimbulkan konflik besar di dalam keluarga orang yang hendak menikah. Di gedung gereja, orang Batak melakukan upacara kekristenan, sedangkan di luar gedung gereja mereka melakukan upacara agama leluhur. Perbedaannya hanya terletak pada orang yang memimpin upacara. Dulu dipimpin oleh Datu, sekarang digantikan oleh Pendeta. Peranan datu digantikan oleh pendeta, tetapi
rangkaian upacara adat (agama leluhur) selanjutnya tetap sama. Berkat (pasu-pasu) dari Tuhan Yesus dianggap belum cukup, dan perlu disempurnakan dengan berkat dari hula-hula dan lainnya. Kesempurnaan dan kemutlakan karya Yesus Kristus telah disingkirkan demi mempertahankan upacara kegelapan warisan leluhur itu.
Sinkretisme ini bukan hanya terjadi di kalangan gereja -gereja tradisional Batak, tetapi juga telah merembes kepada orang-orang Kristen Injili yang mengaku Alkitabiah, menjunjung tinggi keunikan Injil dan lebih giat memberitakannya. Dari mimbar kaum Injili yang ada di Sumatera Utara sering
disuarakan dukungan atas pelaksanaan upacara adat Batak. Merekapun banyak yang terlibat di dalam pelaksanaan aktivitas tersebut.
Orang Batak telah melupakan prinsip rohani bahwa terang tidak dapat bersatu dengan gelap, dan kebenaran tidak dapat dipersatukan dengan ketidakbenaran. Dalam bahasa Tuhan Yesus:
“Tidak seorangpun dapat mengabdi kepada dua tuan. Karena jika demikian, ia akan membenci yang seorang dan mengasihi yang lain, atau ia akan setia kepada yang seorang dan tidak mengindahkan yang lain. Kamu tidak dapat mengabdi kepada Tuhan dan kepada Mammon” (Matius 6:24).
Seiring dengan merebaknya kembali aktivitas upacara adat di tengah-tengah bangsa Batak, kemerosotan rohani yang besar terjadi, baik pada kaum awam, maupun pada pemimpin gereja. Kemerosotan itu nampak pada banyaknya perpecahan dalam gereja Batak, contohnya kasus perpecahan gereja HKI, GKPI, dan HKBP.
Perpecahan itu juga telah terjadi pada hampir setiap gereja suku di Sumatera Utara. Perpecahan gereja Batak banyak bersumber pada akar budaya Batak itu sendiri, dan konflik kepentingan di antara pemimpin umat; bukan karena masalah teologia. Perpecahan yang besar berpuncak pada kasus gereja HKBP yang sangat menghebohkan, yang telah banyak mengorbankan materi, darah bahkan nyawa manusia.
Semuanya sangat mempermalukan nama Tuhan Yesus. Kemuliaan dan kehormatan yang seharusnya diberikan kepada Tuhan Yesus, telah diberikan kepada iblis dan Pemimpin Jemaat. Wajar jikalau damai Tuhan Yesus tidak ada disana. Seruan para malaikat di Betlehem mengajarkan bahwa damai Tuhan hanya akan diberikan kepada orang yang berkenan kepada-Nya, yaitu orang yang memberikan kemuliaan kepada Tuhan Yesus.
“Kemuliaan bagi Tuhan di tempat yang mahatinggi, dan damai sejahtera di bumi diantara manusia yang berkenan kepada-Nya” (Lukas 2:14).

Gereja HKBP (tempat penulis saat ini bergereja) sering diserukan sebagai “HKBP Na bolon I” (HKBP yang besar), padahal gelar Na Bolon I tersebut hanya layak diberikan kepada Yesus Kristus.
Gereja yang seharusnya Duta Pembawa Damai di dunia, telah berubah menjadi sekumpulan orang-orang yang saling berperang. Gereja telah menjadi arena peperangan baru bagi orang Batak di zaman modern ini. Peperangan bukan hanya terjadi di kalangan kaum awam, namun juga telah merebak sampai kepada pucuk pimpinan gereja itu sendiri. Sangat tepat dikatakan bahwa orang Batak telah kembali kepada masa hidup nenek moyangnya, yang ditandai dengan tingkat
konflik yang tinggi, dimana sering terjadi peperangan (marporang) antar kampung (huta). Konflik di gereja HKBP beberapa tahun belakangan ini merupakan contoh terbesar dari peperangan antara sesama orang Batak masa kini.
Pemberitaan keselamatan manusia di dalam Tuhan Yesus, yang seharusnya merupakan kesibukan utama bagi gereja Tuhan, telah berganti dengan banyaknya waktu yang terbuang untuk mengikuti berbagai upacara adat. Kelalaian dalam melaksanakan Amanat Agung Tuhan Yesus tidak pernah dinyatakan sebagai dosa yang serius oleh pimpinan gereja. Tetapi, penolakan aktivitas upacara adat, atau ketidaktepatan pelaksanaan upacara adat segera akan mengundang komentar yang tajam dan ramai. Perdebatan dan pertengkaran karena masalah adat merupakan sesuatu yang biasa terjadi dalam kehidupan sehari-hari.
Kemerosotan rohani dapat kita lihat juga dalam kehidupan sehari-hari. Anda jangan heran, jikalau pada masa sekarang, banyak orang Batak Kristen yang sangat takut untuk tidak melakukan upacara adat. Sementara untuk tidak mentaati Firman Tuhan itu merupakan hal yang dianggap sepele saja oleh mereka.
Bahkan, sering dijumpai orang yang lebih senang dikatakan sebagai orang yang tidak “ber-Tuhan” (ndang martuhan) daripada dikatakan sebagai orang yang “tidak beradat” (ndang maradat). Tanpa disadari, adat Batak telah kembali menjadi berhala atau ilah yang dijunjung tinggi di hati orang Kristen Batak.
Kemerosotan rohani juga dapat kita lihat pada banyaknya orang-orang Kristen Batak yang
terlibat berbagai dosa seperti perdukunan, spiritisme (berhubungan dengan arwah orang mati), memberikan persembahan di kuburan, perzinahan, kebebasan seksual, rentenir, perjudian, kemabukan, korupsi, suap-menyuap, pembunuhan, kekerasan (premanisme), perkelahian dan berbagai dosa lainnya.
Dalam dunia pekerjaan, berbagai jabatan yang penting dan strategis di birokrasi dan pemerintahan, yang pada awal kemerdekaan banyak dipegang oleh orang Kristen Batak, pada saat ini telah beralih kepada orang-orang lain. Bukan itu saja, peluang untuk mendapatkan pekerjaan khususnya dalam birokrasi dan pemerintahan menjadi sangat sulit diperoleh oleh orang Batak Kristen,
kecuali dengan menyogok (ber-KKN).
Kita semua tahu bahwa banyak orang Kristen Batak yang telah menjual imannya (iman kepada Yesus Kristus), demi memperoleh suatu pekerjaan, pernikahan, pangkat dan jabatan. Barter harta rohani yang tak ternilai harganya, dengan barang-barang murahan dari dunia ini telah banyak dilakukan oleh kaum Esau dari Bona Pasogit, Tano Batak. Firman Tuhan dibawah ini patut menjadi bahan pemikiran kita:
“Tuhan akan mengangkat engkau menjadi kepala dan bukan menjadi ekor, engkau akan tetap naik dan bukan turun, apabila engkau mendengarkan TUHAN, Bapamu, yang kusampaikan pada hari ini engkau lakukan dengan setia” (Ulangan 28:13).
Karena itu, persoalan adat kini harus diselesaikan, karena kita mengetahui bahwa upacara
tersebut telah menimbulkan masalah rohani yang besar. Kita tidak mau membiarkan iblis memperoleh kembali peluang untuk mencengkramkan kukunya pada generasi Batak saat ini. Semuanya itu sangat mendukakan hati Tuhan dan mendatangkan murka atas bangsa Batak. Karena itu sudah merupakan kewajiban dari generasi Kristen Batak pada masa kini untuk mengevaluasi kembali kehidupan kerohaniannya di hadapan Tuhan Yesus. Evaluasi tersebut mencakup cara pandang, sikap dan tindakan kita terhadap eksistensi upacara adat.
Evaluasi itu hanya mungkin dilakukan apabila kita mau datang kepada Tuhan Yesus dengan sungguh-sungguh, dan meminta dengan tekun agar Dia menerangi hati kita, dan menyingkapkan rahasia Firman-Nya. Karena hanya Tuhan Yesus, melalui Roh-Nya, yang memiliki otoritas mutlak dalam menafsirkan seluruh kebenaran Firman Tuhan. Sehingga Dia berkenan mengoreksi segala pemikiran, konsep, nilai, prinsip, cara dan tindakan kita selama ini. Seruan untuk kembali kepada
Tuhan Yesus sangat mendesak untuk diberitakan pada saat ini.
“Wahai bangsa Batak, kembalilah kepada Tuhan Yesus”, “Back to Jesus!”
Semuanya ini hanya mungkin, bila kita mau merendahkan hati untuk dikoreksi dan diajar oleh Tuhan Yesus, sama seperti seorang anak kecil, yang memiliki kepolosan, keterbukaan dan kejujuran untuk diajar. Bukan untuk sekedar menambah pengetahuan teologia belaka, tetapi benar-benar untuk mentaati-Nya. Karena Roh Kudus hanya akan mengerjakan hal tersebut bila kita dinilai-Nya telah memiliki ketaatan hati, sekalipun kebenaran itu sangat pahit untuk
memulainya (Kisah Para Rasul 5:32).
Karena itu, doa sang Pemazmur sangat relevan untuk dipanjatkan secara sungguh-sungguh oleh orang-orang Kristen Batak:
“Selidikilah aku, ya Tuhan, dan kenalilah hatiku, ujilah aku dan kenalilah pikiranku; lihatlah apakah jalanku serong dan tuntunlah aku di jalan yang kekal.” (Mazmur 139:23,24)
Renungan ini mencoba melihat kembali tentang sikap dan pandangan Tuhan terhadap masalah upacara adat, khususnya yang hidup dalam masyarakat Batak, dengan mengambil contoh kasus utamanya dari sub suku bangsa Batak Toba.
Penulis hanya akan membatasi pembahasan pada beberapa prinsip-prinsip utama yang mendasari pelaksanaan upacara adat, dan tidak akan menguraikan detail dari pelaksanaan upacara tersebut. Karena melalui renungan ini, tidak mungkin menguraikan dan mengkaji segala aspek dari berbagai macam upacara adat yang ada di tengah-tengah masyarakat Batak.
Penulis sadar, bahwa apa yang dipaparkan dalam tulisan ini sangat bertentangan dengan pemahaman teologi yang umumnya diyakini oleh masyarakat Batak sekarang. Apa yang dituliskan disini merupakan suatu pemahaman alternatif, alkitabiah, dan Injili, yang Tuhan Yesus bukakan secara bertahap kepada penulis.
Penguraian ini akan menyentuh hal-hal yang sangat sensitif di hati orang Batak, yang mungkin akan dapat membangkitkan rasa marah dan benci bagi sebagian orang. Tetapi penulis berketetapan hati di hadapan Tuhan Yesus untuk memberitakannya. Kalau Anda mau mencari kebenaran Tuhan, dipersilahkan untuk membacanya terus.
Pertentangan pasti muncul, karena sudut pandang dalam melihat adat itu memang berbeda. Pandangan Kristus tidak pernah sama dengan pandangan manusia yang duniawi. Pandangan Kristus jauh lebih tinggi dari pandangan duniawi. Penafsiran seseorang mengenai adat istiadat muncul dari suatu titik pijakan, sikap hati dan tujuan yang hendak dicapainya. Persoalannya, apakah kita memiliki dasar pijakan yang sama dengan Tuhan Yesus? Kuasa Roh Kudus hanya
akan menyertai dan mengurapi orang-orang yang memberitakan Firman sesuai dengan maksud-Nya.
Penulis sangat terkejut ketika membaca sebuah buku, yang berjudul “Christ and Culture” (Kristus dan Kebudayaan), yang ditulis oleh seorang teolog terkenal, yang bernama DR. Richard Niehbur. Dalam buku tersebut dijelaskan alasan menyebabkan orang-orang Yahudi dan para pemimpin bangsa tersebut menyalibkan Tuhan Yesus. Niehbur berpendapat bahwa orang-orang Yahudi membunuh Tuhan Yesus karena segala pengajaran dan tindakanTuhan Yesus merusak adat istiadat dan agama Yahudi, yang sangat mereka banggakan. Akhirnya, mereka harus memilih,
antara membinasakan Tuhan Yesus atau membiarkan agama dan adat istiadat Yahudi hancur. Demi mempertahankan keutuhan adat dan agama tersebut, mereka memilih untuk membinasakan Tuhan Yesus, orang yang dianggap sebagai sumber kerusakan itu.
Peristiwa tersebut menjadi pelajaran, sekaligus tantangan bagi kita sebagai pengikut Kristus didalam menghadapi kontroversi masalah adat. Yesus Kristus hadir di tengah-tengah kemerosotan rohani bangsa Israel yang menjalar di seluruh bidang kehidupan. Dia segera mengenali ketidakberesan bangsa tersebut dalam cara pandang dan sikap terhadap Firman- Nya. Lalu, dari mulut-Nya yang kudus keluar penilaian dan koreksi-Nya terhadap agama dan adat istiadat bangsa
tersebut.
Demikian juga bagi bangsa Batak, di tengah-tengah kemerosotan rohani yang terjadi masa kini, sangat diperlukan kembali adanya suatu reinterprestasi dan pembaharuan sika p akan eksistensi upacara adat Batak yang berasal dari masa kegelapan itu. Dengan kata lain, gereja Tuhan di tanah Batak sangat memerlukan “reformasi iman” dalam kehidupan rohaninya.
Karena itu, kita ditantang Tuhan untuk mengambil sikap, antara menyuarakan Injil atau mempertahankan berbagai upacara adat tersebut. Karena itu, penulis akan memaparkan beberapa prinsip utama yang mendasari upacara adat yang sangat bertentangan dengan Injil. Melalui beberapa prinsip itu kita akan melihat strategi iblis untuk mengikat dan mengendalikan hidup masyarakat Batak.
Strategi itu juga merupakan benteng rohani yang dibangun oleh iblis agar masyarakat Batak dapat diperhambanya dari generasi ke generasi berikutnya. Dengan demikian umat Tuhan akan kehilangan kekuatan rohaninya dan hidup dalam kekalahan rohani terhadap kuasa iblis dan roh-roh jahat. Selain itu, semangat dan kuasa untuk memberitakan Injil dapat dipadamkan dari tengah-tengah Jemaat Batak, seperti yang terjadi saat ini.
Dalam perbincangan sehari-hari, penulis sering mendengar keluhan dari orang-orang Batak tentang masalah adat. Banyak yang mengungkapkan keinginannya untuk terlepas dari upacara adat karena melihat tidak ada keuntungannya, bahkan menyalahi Firman Tuhan. Sayangnya, sangat sedikit dari mereka yang memiliki keberanian untuk melakukannya. Umumnya, mereka mengambil jalan aman dengan tetap melibatkan diri, daripada terlibat konflik dengan sesama kerabat atau jemaat gerejanya. Orang Batak telah kehilangan “darah” dalam menegakkan dan menyuarakan ajaran Injil.
Pada awal milenium ketiga ini, dimana saat kedatangan Tuhan Yesus semakin dekat, dibutuhkan adanya suatu kebangunan rohani di tengah-tengah bangsa Batak. Kebangunan rohani akan dimulai, jikalau ada orang-orang Batak yang memiliki cara pandang dan sikap yang lebih tajam dan Injili didalam menilai eksistensi upacara adat, serta memiliki keberanian untuk menyuarakannya pada zaman ini. Karena hanya orang-orang yang seperti ini yang akan diperlayakkan TUHAN untuk memasuki arena peperangan rohani melawan kuasa-kuasa kegelapan, yang telah membelenggu, membutakan serta melumpuhkan kehidupan umat Tuhan di tanah Batak. Kemenangan pasti menjadi milik kita.
Kepada orang yang benar-benar mencintai Tuhan Yesus dengan segenap hatinya, perlu dibukakan berbagai bentuk benteng rohani yang telah dibangun oleh iblis dalam upaya menguasai, membelenggu, dan memperbudak bangsa Batak dari satu generasi ke generasi lainnya. Pengertian ini akan menolong mereka untuk dapat terlepas dari segala jerat iblis di dalam adat Batak, dan beribadah kepada Tuhan Yesus dalam kebenaran dan kekudusan seumur hidupnya.
Penghancuran benteng-benteng iblis yang ada dalam diri orang Batak akan menghasilkan saksi-saksi Kristus yang diurapi dengan keberanian dan kuasa Roh Kudus. Sehingga pada awal abad ke-21 ini akan bangkit orang-orang Kristen Batak yang dipakai oleh Tuhan dalam menyelesaikan Amanat Agung-Nya, dengan melepas mereka dari genggaman kuasa iblis. Dengan demikian kita dapat mempersiapkan bagi Tuhan suatu umat yang layak bagi-Nya, dalam rangka
menyambut kedatangan Tuhan Yesus yang kedua kali, yang waktunya sudah semakin sangat dekat.
Renungan ini hanya ditujukan kepada orang-orang yang mau mengasihi Tuhan Yesus dengan segenap hatinya, yang mau dipakai-Nya dalam peperangan rohani. Yaitu, kepada mereka yang memiliki keprihatinan rohani (sense of spiritual crisis ) terhadap nasib bangsa Batak; kepada orang-orang yang mau mencari Kerajaan Sorga dan mau mengikut Tuhan Yesus dengan sungguh-sungguh. Karena hanya merekalah yang mau memikul salib Kristus sebagai konsekuensi atau harga dari ketaatan pada Injil untuk meninggalkan upacara adat Batak.

Minggu, 30 Januari 2011

Tentang Perjumpaan Kekristenan dan Budaya lainnya

      Agama dan budaya merupakan dua hal yang tidak indentik satu dengan lainnya. Masing-masing memiliki bidangnya sendiri-sendiri dimana didalamnya terkandung ciri khas dan tujuan-tujuan masing-masing yang memberi makna dan arti bagi hidup yaitu makna yang melampaui kehidupan duniawi dan yang mengarahkan manusia kepada sesuatu yang melampaui ruang dan waktu atau sesuatu yang hakiki. Sebaliknya budaya terutama berhadapan dengan hal-hal duniawi. Ia merupakan suatu sistim kondisi dan aturan (konvensi) yang diciptakan oleh manusia dari lingkungan budaya tertentu yang dapat dijadikan orientasi mereka agar supaya dasar kemakmuran, kemajuan dan masa depan kehidupan bersama terjamin. Budaya berasal dari manusia. Salah satu unsur dasarnya adalah bahasa yang antara lain berguna untuk memungkinkan komunikasi antarmanusia sehingga mereka dapat membagi makna dan tujuan kehidupan mereka; melalui bahasa mereka dapat memiliki daya cipta untuk berpartisipasi dalam budaya mereka. Bahasa juga berusaha untuk memahami fenomena-fenomena dan pengalaman-pengalaman yang terjadi di dunia. Dengan mendefinisikannya dan mengekspresikannya maka komunikasi dimungkinkan dengan tujuan agar supaya mudah dipengaruhi oleh daya cipta kultural manusia.
      Dengan demikian dapat dikatakan bahwa agama dan budaya menyangkut dua dimensi kehidupan manusia yang tidak dapat diidentikkan namun sekaligus tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Misalnya agama tergantung pada media yang berasal dari ranah budaya. Misalnya agama tidak dapat menciptakan bahasanya sendiri, tetapi untuk sementara tergantung pada bahasa yang ada dan yang tanpa bantuan agama telah memungkinkan manusia berkomunikasi.
      Namun adalah fakta bahwa agama merubah bahasa yang ditemukan sebelumnya dan memberikan makna-makna baru yang berkaitan dengan hal-hal yang berhubungan dengan agama. Hal ini dapat saja berhubungan dengan nilai-nilai etis transenden atau juga makna-makna yang melampaui hal-hal duniawi dan yang menunjuk pada yang kekal. Sebagai contoh adalah kata Yunani logos. Dalam filsafat klasik kata ini memiliki makna yang besar sebagai prinsip tertentu yang memungkinkan manusia melalui akal budi untuk memahami dan menyelidiki hukum-hukum dunia baik yang nyata maupun yang sifatnya rahasia. Bagi filsafat klasik pengetahuan seperti ini merupakan suatu permulaan terjadinya daya pikir manusia. Kemudian seorang filusuf Yahudi bernama Philo mengambil alih istilah ini. Karena ia berada pada daerah agama Yahudi maka ia menafsirkannya serta mengisinya dengan elemen-elemen agama Yahudi sehingga terdapat makna yang baru. Sebagai seorang yang beragama ia dapat mempertanggungjawabkan makna tersebut terhadap imannya. Logos bukan hanya sesuatu yang berada pada akal budi manusia melainkan lebih dari itu, asalnya adalah didalam Tuhan sendiri. Logos bukan saja sebuah kekuatan awal yang sudah muncul sebelum penciptaan tetapi ia juga adalah prinsip ilahi yang dengannya dunia diciptakan dan setelah penciptaan ia juga sebagai penghubung yang mempertahankan hubungan antara Allah dan dunia (manusia). Sehingga ia (logos) pada prinsipnya berhubungan dengan Allah. Ia baru akan menjadi media pengetahuan manusia sejauh mana kalau manusia memahami dirinya sebagai ciptaan dan mengorientasikan proses pengetahuan kepada Allah. Dengan demikian Philo tidak menciptakan bahasa baru melainkan ia merubah bahasa (falsafi) yang telah ada sebelumnya melalui keyakinan keagamaannya. Agama dan budaya berada bersama-sama seperti sebuah simbiosa. Dengan demikian baik agama maupun budaya tidak lagi sama seperti sebelum mereka bertemu.
      Sekali lagi kata logos telah mengandung makna baru ketika diambil alih oleh agama Kristen. Dimulai dengan penginjil Yohanes, logos dihubungkan dengan pribadi manusia Yesus dari Nazaret. Pernyataan tentang inkarnasi Firman (Yoh. 1:14) sebenarnya merupakan penghinaan terhadap pemahaman awal tentang kata logos. Karena bagi Philo sendiri kata logos itu –yang telah ada sebelum penciptaan dan olehnya itu ia berhadap-hadapan dengan dunia, mengarah pada pengetahuan tentang nilai-nilai yang tetap dan transenden dan untuk nilai-nilai tersebut maka manifestasi-manifestasi yang duniawi dan tidak kekal hanyalah berupa bejana-bejana. Tentu saja bahwa bejana-bejana tersebut tidak identik dengan isinya. Oleh sebab itu logos berhubungan dengan yang kekal dan bukan dengan yang fana. Jadi melalui ajaran iman Kristen tentang inkarnasi maka logos tidak saja harus mengambil bentuk yang tidak kekal itu secara serius melainkan ia juga sendiri menjadi tidak kekal. Ia tidak saja mengenakan materi sebagai bungkusan luar dan yang tidak real. Tidak: Logos yang adalah pengetahuan Allah telah menjadi manusia sehingga bungkusan (bejana) dan isi telah menjadi satu dan tak terpisahkan. Selain dari itu, secara khas kristiani maka kehendak penyelamatan Allah dihubungkan dengan yang materi dan yang fana. Keselamatan juga dijanjikan bagi tubuh manusia yang diciptakan dengan demikian maka persekutuan yang kekal dengan Allah merupakan suatu persekutuan tubuh dan roh dan bukan saja persekutuan rohani. Kita mengetahui bagaimana sulitnya bagi orang-orang Kristen itu sendiri untuk menerima ajaran yang demikian, bagaimana Injil Yohanes bahkan juga terperangkap oleh bahaya untuk melupakan akan pengetahuannya sendiri tentang fasal 1:14 dan akhirnya didalam Yesus ia menemukan theios anĂªr, sang pembuat mukjizat yang ilahi. Meskipun demikian pemahaman tentang logos telah mengalami dimensi baru yang pada masa berikutnya tidak dapat lagi dikembalikan seperti semula.
      Dengan demikian kekristenan juga tidak menciptakan bahasa baru melainkan ia mengambil alih pula gagasan tentang logos yang telah dikenal di tengah-tengah suatu kebudayaan dimana kekristenan hadir. Tetapi ide ini pada dasarnya telah mengalami perubahan. Dengan demikian juga maka kebudayaan Yunani-Romawi klasik pada dasarnya telah mengalami perubahan dengan cara ketika ia menjadi mediator sebuah pandangan dunia yang baru. Di dalam sebuah arena pergulatan antara agama Kristen dan budaya Yunani-Romawi klasik kelihatannya secara lahiriah bahwa kekristenan keluar sebagai pemenang yakni ketika agama Kristen oleh Konstantin dijadikan sebagai agama resmi negara. Namun hal ini juga jelas terlihat bahwa pemahaman akan logos pada masa itu tidak lagi sama seperti pada permulaan sejarahnya melainkan dalam hal yang menentukan, pemikiran Yunani-Romawi klasik telah mencapai kemenangan yang cukup besar. Makna logos sebagai materi dan jasmani telah berhasil direduksi sehingga lama kelamaan logos hanya mengarah pada sifat ilahi (di dalam Kristus) semata-mata sebagaimana yang dipahami oleh filsafat diluar kekristenan. Jika dalam pengakuan iman gereja-gereja purba toh masih berbicara tentang "kebangkitan daging" maka kedengarannya seperti isyarat peringatan terakhir: Hai orang-orang Kristen, jangan melupakan dasar iman kalian sendiri yakni Firman Allah yang kekal tidak saja kelihatan melainkan Ia juga telah menjadi manusia sejati dan seutuhnya, Ia telah menjadi daging sehingga hanya dengan begitu maka Ia dapat menjadi penebus. Namun didalam terjemahan-terjemahan yang baru dalam bahasa Jerman orang suka menghindari persoalan ini dengan mengatakan "kebangkitan tubuh" itupun tubuh diartikan sebagai tubuh "rohani" yang sebenarnya tidak dapat didefenisikan. Kemenangan pemikiran filsafat klasik terhadap agama Kristen dalam hal makna logos tersebut sebagai yang fana dan jasmani inilah yang telah mendapat pengaruh yang sangat negatif bagi iman secara antropologi dan hal ini menjangkau pula ranah sosial etik.
      Dengan contoh yang demikian seharusnya menjadi jelas bahwa perjumpaan antara agama dan budaya tidak dapat dihindari dan terelakkan. Agama tidak menciptakan bahasanya sendiri melainkan ia mengambil alih bahasa yang telah ada demikian halnya simbol-simbol yang ia pakai praktis juga berasal dari budaya yang telah ada seperti gambar-gambar ikon atau arsitektur: Basilika atau ruangan raja dengan gambar Kristus sebagai raja simbolis dipakai sebagai bentuk untuk bangunan gereja.
      Namun harus diperhatikan pula bahwa makna yang diberikan oleh elemen-elemen kebudayaan yang telah ada kepada agama tidak lagi sama seperti pada awalnya. Dan masih ada hal yang lain. Pada ranah etika, agama juga mempengaruhi dan merubah budaya yang telah ada meskipun terkadang sangat lamban dan tidak selalu langsung menuju tujuannya. Seperti yang terjadi pada agama Kristen di Barat yang memerlukan kira-kira 1800 tahun lamanya sampai perbudakan dihapuskan. Sebagaimana kita ketahui bahwa Rasul Paulus sendiri tidak menulis secara langsung tentang pelarangan perbudakan. Namun kepada temannya Filemon ia menulis bahwa dia seharusnya menerima Onesimus, budaknya sementara sebagai saudaranya di dalam Kristus. Jika tuan dan budak adalah saudara seiman maka ini berarti bahwa palang pembatas yang dibuat oleh budaya lama perlahan-lahan menghilang dan hubungan keduanya diangkat pada satu tataran yang baru. Dengan demikian semangat yang baru membaharui bentuk-bentuk lama dan sejauh itulah agama memberikan kontribusinya untuk pembentukan sebuah budaya baru.
      Sejauh ini saya membatasi diri pada pernyataan-pernyataan mengenai perjumpaan agama Kristen dengan kebudayaan yang ada pada saat kekristenan mula-mula terbentuk. Pastilah menjadi jelas bagi saudara-saudari bahwa ketegangan yang sama dan pergulatan yang sama selalu terjadi ketika berita Injil berjumpa dengan budaya baru. Persoalan-persoalan yang muncul telah kita kenal. Persoalan utama adalah bahwa tidak ada Injil yang hanya merupakan ekstrak rohani. Telah menjadi bagian dari Injil bahwa ia selalu hadir dalam keterkaitannya dengan suatu budaya dalam suatu percampuran. Demikianlah Injil sehubungan dengan gerakan misi dewasa ini secara khusus dalam hubungan dengan budaya barat memasuki ranah budaya baru dan saudara-saudari juga mengetahui di Korea, ketegangan-ketegangan apa saja yang telah dibuahkan oleh kenyataan ini. Secara khusus berkaitan dengan pertanyaan yang cukup pedih untuk memisahkan antara apa yang termasuk hakekat Injil dan apa yang menjadi bungkusan budaya barat. Dan juga Injil tidak diterima sebagai hasil penyulingan murni melainkan ia terdesak juga untuk berinkarnasi di dalam suatu tempat yang baru dan menerima suatu bentuk simbiosa dengan budaya baru. Dengan demikian terjadi suatu bentuk pergulatan baru di bawah kondisi-kondisi yang juga baru sama sekali jika dibandingkan dengan apa yang dikenal sebelumnya. Saya teringat bagaimana seorang teolog China yang terkenal T. C. Chao (Chao Tzu-ch‘en) secara khusus pada masa mudanya berupaya untuk menghubungkan pemahaman tentang manusia dalam agama Kristen dan dalam kebudayaan China sebagaimana misalnya yang dikembangkan dalam ajaran Konfucu dan melalui sebuah skema persiapan-pemenuhan. Disini juga akan nampak jelas bahwa pemahaman tentang ren (manusia) pada hal-hal tertentu harus mengalami perubahan yang menyakitkan yakni pada pokok pemahaman tentang dosa secara Kristen. Manusia tidak hanya melalui kebijakan dan etika saja dapat memenuhi takdir ilahi melainkan diperlukan karya penyelamatan dari seorang manusia historis tertentu. Hal ini menjadi persoalan dan menyulitkan upaya-upaya untuk menentukan tradisi kenabian agar baik Konfucu maupun Kristus mendapat tempat. Mengapa kesempurnaan manusia tidak dapat ada tanpa salib? Pertanyaan ini telah menjadi pergumulan Chao Tzu-ch’en sampai akhir hidupnya dan ia menjadi bimbang sebagaimana yang diutarakan oleh Winfried Gluer dalam sebuah bukunya tentang teolog yang penting ini. Winfried Gluer masih sempat mengunjunginya pada tahun 1976 pada usia yang lanjut dan sebelum kematiannya[2]. Pemahaman Konfucu pada beberapa hal sangat mirip dengan pencerahan Eropa dalam hal mengkonstruksi bangunan pemikiran tentang manusia, paling tidak bertitik tolak dari sini maka tidak ada pembicaraan mengenai surga (Tuhan) yang tidak disangkutpautkan dengan manusia. Hal ini telah nampak dalam tulisan China dimana huruf untuk surga t’ien berasal dari huruf ren, manusia. Itu berarti surga adalah keberadaan manusia dalam potensinya yang tertinggi. Konfucu - secara khusus pada perkembangannya yang kemudian (Neo-Konfucu) - melihat kemanusiaan sejati yang mewujudkan aturan-aturan surgawi bukan pada pembentukan suatu kepribadian yang individualistik melainkan pada pemahaman yang benar akan sebuah sistim hubungan sosial yang teratur dan baik dimana manusia sejati (chĂ¼n tzu) benar-benar berkuasa. Disini Konfucu mirip dengan pencerahan, paling tidak pencerahan mula-mula, dengan penekanannya pada moral. Tanda (huruf) untuk ren dalam tradisi ini tidak berdiri sendiri melainkan dikombinasikan dengan tanda "dua" sebagai simbol dari hubungan yang timbal balik. Keyakinan para penganut (Neo-)Konfucu adalah setiap manusia melalui pendidikan dan pembinaan yang memadai dapat dihantar kepada perwujudan perikemanusiaan relasional itu; dan tugas dari negara adalah untuk menjaga agar hanya "manusia" yang telah diuji dengan kebijakan yang demikianlah yang boleh memimpin urusan-urusan kenegaraan karena didalam diri mereka inilah aturan-aturan surgawi hadir secara imanen. Dengan skema inilah Chao melihat pada masa mudanya sosok Yesus Kristus yakni sebagai chĂ¼n-tzu, sebagai manusia sempurna yang telah mewujudnyatakan dalam dirinya perikemanusiaan dengan cara yang sempurna dan yang mengundang para murid untuk merayakan Dia dalam pemuridan.
      Sebagaimana telah dikatakan bahwa dengan optimisme antropologi seperti ini Chao Tzu-ch'en telah memperoleh persoalan – persoalan, yang tidak menjadi ringan akibat keterbukaan awal yang penuh harapan setelah pengikut ajaran Mao mengambil alih kekuasaan di China dan memulai merealisasikan gambar manusia yang berkemampuan tinggi menurut cara mereka yakni dengan memberi makna ideologi baru dan sebuah metode yang menggantikan pendidikan dengan indokrinasi. Dengan demikian surga (t’ein) direduksi menjadi simbol dasarnya yaitu manusia. Atau dengan kata lain: Manusia dalam perikemanusiaannya juga meliputi hal-hal surgawi oleh sebab itu agama menjadi mubazir. Lagi pula Sosialisme Dschutsche[3] yang dipropaganda oleh Kim Il-Sung di Korea Utara juga berakar pada tradisi ini yang dengan cara yang sama telah diputarbalikan. Baik Mao maupun Kim dalam perkembangan sistim mereka yang revolusioner itu tidak berangkat dari apa yang dipahami oleh rakyat biasa atau masa tentang dirinya melainkan keduanya telah mengambil alih struktur-struktur masyarakat dari kalangan atas dan telah memaksakannya kepada rakyat sehingga yang terjadi disini juga bukanlah sebuah kekuasaan kaum proletariat melainkan kekuasaan yang proletar terhadap rakyat. Pengawasan terhadap pelaksanaan kekuasaan negara dalam sistim ini juga adalah ideologi yaitu mereka yang paling menguasai "ajaran" (ideologi) secara sempurna dan sebagai satu-satunya yang dapat menjamin bahwa masyarakat diatur benar-benar sesuai dengan "ajaran". Nanti setelah para teolog Minjung di Korea Selatan melihat dan memobilisasi "rakyat" yaitu min jung, dan bukan konstruksi ren min, sebagaimana yang dipakai dalam "Republik Rakyat", maka kritik yang sungguh-sungguh terhadap ajaran Konfucu dilakukan.
      Gambar manusia yang berasal dari ajaran Neo-Konfucu yang mempunyai pengaruh yang optimis pada ideologi masa kini dengan kekuatan-kekuatan yang dapat menciptakan budaya dan peradaban adalah tantangan terhadap pemikiran keagamaan secara khusus pemikiran Kristen untuk lingkungan budaya setempat. Contoh yang jelas adalah T.C. Chao. Motivasi disini mestinya bukanlah menunjuk kepada kekeliruan dari pihak lain yang dilengkapi dengan perasaan bahwa mememang kita yang lebih tahu tentang kebenaran. Sebagaimana di Barat bahwa teologi harus menentang klaim pencerahan tentang otonomi manusia yang telah merasa diri cukup sempurna - suatu pemahaman yang secara teologis dari awalnya sudah pantas dicurigai - demikian halnya juga di Timur, teologi (Kristen) harus menjaga kebebasannya untuk memformulasikan sendiri gambar manusia mereka dan pemahaman-pemahaman yang lahir dari gambar manusia ini tentang peraturan masyarakat yang bertanggungjawab dan dapat dipertanggungjawabkan, serta memformulasikan nilai-nilai dan bentuk-bentuk kebudayaan yang diterima dan dihidupi dalam peraturan masyarakat ini. Di Barat maupun di Timur teologi selalu berada dalam bahaya untuk mengorbankan elemen-elemen yang penting dari sistim nilai mereka yang berasal dari Injil karena keinginan untuk mengharmonisasikan dengan lingkungan sekitar atau untuk menjadikan pemahaman-pemahaman antropologi yang ditawarkan dari konteks menjadi miliknya. Baik pencerahan yang masih menonjol di Barat maupun ajaran (Neo-)Konfucu yang hari ini berkuasa di Timur berangkat dari sebuah gambar manusia yang optimis dimana didalamnya paling tidak terdapat potensi untuk mencapai kesempurnaan. Teologi Kristen harus menghadapkan keoptimisan ini sebagai tanda tanya yang besar tentang kemampuan relational manusia bukan untuk merendahkan manusia dengan cara yang tidak pantas atau menjelekkan melainkan untuk membesarkan hati mereka (manusia) dalam melihat kejujuran terhadap diri mereka sendiri.
      Injil merupakan tantangan pula bagi budaya Korea, budaya China dan juga - yang tidak dibicarakan lagi secara lebih lanjut disini - yaitu budaya Jepang. Sebagaimana di dalam budaya mereka demikian halnya di dalam agama Kristen, ide bahwa yang sorgawi hadir di dalam manusia sudah tidak asing lagi. Namun yang menjadi struktur dasar bagi surga bukanlah kemanusiaan (das Humanum, ren) melainkan sebaliknya: Manusia menerima imago Dei, suatu kemampuan untuk mewakili Allah secara nyata dalam ciptaanNya. Injil melihat bahwa antara kemungkinan dan eksistensi yang nyata ada fakta dosa, yaitu fakta perpecahan antara yang surgawi dan yang manusiawi yang diakibatkan oleh manusia ketika ia memutarbalikkan keadaan dan ingin menempatkan dirinya sendiri pada posisi surgawi. Dalam hal ini inti Injil juga merupakan tantangan bagi budaya China sebagaimana juga ketika ia berada dalam kebudayaan Yunani kuno dan kebudayaan Barat. Tetapi bagaimana mengatasi masalah ini dalam konteks budaya dan bahasa China, hanyalah para teolog yang berasal dari budaya ini juga yang dapat menjawabnya.
      Perjumpaan kekristenan dengan budaya-budaya lain: telah menjadi jelas bahwa kekristenan – atau lebih jauh lagi intinya yaitu Injil - selalu berada dalam perjumpaan dan perdebatan dengan budaya. Sebagaimana telah dikatakan: hal ini juga berlaku bagi ajaran tentang inkarnasi, menjadi daging sang logos. Namun juga jelas bahwa perjumpaan ini bukanlah sekedar perjumpaaan yang damai dan statis melainkan suatu pergulatan, suatu perdebatan. Dalam hal ini tidak terdapat budaya Kristen yang homogen. Paling-paling ada budaya dimana elemen-elemen Kristen secara khusus menempa kebudayaan tersebut. Oleh sebab itu wajarlah untuk menyebutnya sebagai keanekaragaman budaya-budaya seperti itu karena bahkan di Eropa sendiri atau Amerika tidak terdapat budaya yang seragam apalagi satu budaya Kristen yang seragam. Karena disana juga Injil berada pada pergulatan dengan budaya asli sebelum Kristen dan tidak jelas siapakah yang lebih kuat. Dengan kata lain pergulatan ini tidak berakhir.
      Ada keinginan yang kuat dari manusia untuk suatu otonomi dan penghargaan diri sebagaimana yang dinyatakan dalam kesadaran berbudaya manusia dan ketika manusia cukup sering membela diri melawan hak-hak prioritas keagamaan. Keinginan yang kuat ini dalam budaya barat tidaklah kurang kuat jika dibandingkan dengan yang terdapat dalam budaya lainnya. Namun justru disini Injil melontarkan pertanyaan kepada manusia: Manusia, siapakah engkau? Dan pertanyaan ini bukanlah pertanyaan yang abstrak dan filosofis melainkan pertanyaan yang konkrit. Dan untuk menekankan keseriusan pertanyaan ini maka Injil menaruh cermin di depan manusia agar supaya di dalamnya manusia mengenal Yang Tersalib, dan di dalamNya ia mengenal kebenaran tentang hakekat manusia yang tanpa bantuan dari Allah akan menciptakan bukan pembangunan, melainkan penghancuran; bukan budaya yang manusiawi dalam segala aspek, melainkan kekacauan sosial dan ekologis.
      Yang Tersalib adalah Dia yang menantang manusia, dalam kebudayaan mana saja manusia itu hidup. Tetapi justru Yang Tersalib inilah yang tidak ingin dilihat oleh manusia entah dalam budaya apa saja ia berada. Oleh sebab itu dalam sejarah agama Kristen selalu saja ada upaya-upaya untuk mengeliminasi Yang Tersalib ini dan menggantikannya dengan perwujudan lainnya: penguasa dunia yang bergelimang cahaya, yang telah mengatasi kematian dan yang telah membuka pintu kesempurnaan yang kekal. Dalam tradisi gereja Byzan kita mengenal Kristus sebagai pantokrator, penguasa dunia yang juga mengalahkan penguasa-penguasa dunia ini. Dengan gambaran ini orang-orang Kristen merasa nyaman dengan sebuah harapan yang terpendam bahwa mereka dengan cara yang demikian mungkin dapat terhindar dari perjuangan kehidupan dan aib kematian. Dengan demikian mereka juga sekarang ini dapat memperoleh bagian dari kemuliaanNya. Dalam sejarahnya, gereja selalu saja mengarah kepada pemahaman seperti ini yang pada akhirnya menjadi sebuah theologia gloriae dan theologia triumphans (teologi kemuliaan dan teologi kemenangan). Hal ini mengarah kepada pemahaman untuk mengecilkan bahaya dari skandal dosa manusia dengan dorongan kematian dan juga bertindak seakan-akan ada keselamatan dari dosa meskipun tanpa kematian.
      Upaya untuk mengecilkan bahaya dosa ini telah mengalami akibat-akibat yang buruk dalam sejarah kekristenan. Secara khusus upaya seperti ini telah mengakibatkan sifat kekristenan yang intoleran dan agresif, yang menganggap non-Kristen sebagai yang menjijikkan. Orang-orang Kristen membuat kesan seolah-olah mereka saja yang memiliki hak atas hidup yang kekal dan yang lebih parah lagi mereka merasa hal tersebut karena hasil dari perbuatan mereka sendiri. Dengan demikian mereka bukan saja intoleran tetapi juga sombong. Kehadiran orang-orang Eropa yang beragama Kristen di tengah-tengah dunia non-Kristen secara khusus pada masa kolonial telah menyebarkan kesan seperti ini ke seluruh dunia dan kini menjadi warisan bagi semua orang Kristen juga bagi mereka yang tidak menerima sikap dan pemahaman seperti ini. Sampai saat ini belum ada jawaban yang meyakinkan atas pertanyaan bagaimana persoalan semacam ini dapat dicocokkan dengan kerendahan hati dan kesediaan melayani yang dimiliki Yesus yang kita jumpai dalam Kitab-Kitab Injil.
      Bagi saya adalah sesuatu yang telah dan selalu menjadi sangat berarti kalau agama Islam sejak awal telah meminta pertanggungjawaban umat Kristiani khususnya untuk masalah ini. Adalah suatu kemarahan tersendiri bagi agama Islam ketika orang-orang Kristen menyebut Yesus sebagai "Anak Allah". Tentu saja sebutan seperti ini pada masa Muhammad mengingatkan pada pemahaman politeis orang-orang Arab bahwa illah-illah hidup juga di keluarga dan seperti manusia mereka juga mempunyai anak-anak. Namun bagi saya dibalik kritik agama Islam ada banyak hal lainnya yang tersembunyi. Pertama-tama selalu dikatakan bahwa atribut keilahian adalah hak Allah semata-mata dan bukan hak manusia manapun. Hal ini juga dihubungkan dengan Yesus bahwa orang Kristen menyangkal keesaan dan superioritas Allah, ya, mereka menyamakan sesuatu yang bukan Allah dengan Allah. Demikianlah yang dirasakan oleh umat Islam dan menurut kepercayaan mereka ia adalah dosa yang paling besar yang dapat dilakukan oleh manusia. Tentu saja al-Qur’an mengakui Yesus sebagai salah seorang Nabi yang besar dan melindunginya: bukan Yesus yang berdosa melainkan pengikut-pengikutnya yang menyebutnya demikian. Tetapi gelar "Anak Allah" memberi kesan yang mengejutkan bagi kaum Muslim seperti pada kisah kejatuhan manusia pertama ke dalam dosa bagi umat Kristen: Karena kejahatan dasar Adam dan Hawa bukan terletak pada ketidaktaatan mereka terhadap perintah Allah melainkan pada keyakinan mereka bahwa melalui pencapaian pengetahuan yang baik dan jahat mereka dapat menjadi sama seperti Allah dan dengan demikian mereka pada akhirnya dapat menyingkirkan Allah dari takhtaNya.
      Kaum Muslim melihat keangkuhan manusia dalam klaim orang Kristen bahwa Yesus adalah "Anak Allah". Dan yang lebih buruk lagi adalah: Umat Kristen membatasi gelar ini tidak saja pada Yesus sendiri melainkan mereka menganggap diri mereka sendiri selaku pengikutnya juga sebagai yang ikut mengambil bagian dalam kemahakuasaan ilahi. Oleh sebab itu, demikian keyakinan kaum Muslim, umat Kristen mengulangi apa yang mereka kritik dengan tajam terhadap pasangan manusia mula-mula sebagai pendosa asal yakni upaya untuk menjadikan diri mereka sama dengan Allah. Dan bukan tidak beralasan kalau kaum Muslim menanyakan: apakah umat Kristen percaya, melalui hal tersebut mereka sendiri dapat terlepas dari murka Allah?
      Saya percaya bahwa melalui perjumpaan dengan Islam maka umat Kristen pada titik yang paling menentukan dipanggil untuk bertanggungjawab: tidakkah mereka sekali lagi telah memutarbalikkan Injil dan dengan satu cara memberi penilaian kepada hal-hal yang bukan hak mereka. Karena sewajarnyalah umat Kristen mengetahui bahwa Allah mencintai mereka bukan karena mereka lebih baik dari pada yang lain. Demikian halnya dengan keselamatan yang mereka peroleh bukan karena keadilan mereka melainkan karena mereka tidak dapat bertahan di hadapan Allah yang melihat bukan saja tingkah laku lahiriah melainkan juga mengetahui isi hati mereka. Namun umat Kristen sering berbuat seolah-olah mereka lebih baik dari yang lain. Jika kita sebagai orang Kristen tidak mempersoalkan persoalan ini secara mendasar maka Allah mungkin membutuhkan yang lain, non-Kristen untuk membawa kita pada kesadaran.
      Saya sering berpikir bahwa mungkin saja agama Islam mengajukan pertanyaan yang demikian kepada kita. Selalu saja kita ditanya oleh kaum Muslim apakah kita tidak dapat mengakui Muhammad sebagai nabi. Selalu saja gereja dan teologi menolak akan hal ini. Alasannya selalu sama: Muhammad menolak karya penyelamatan Kristus oleh sebab itu dia tidak dapat diakui sebagai nabi Allah. Sekarang biarlah hal ini tidak berubah: Memang benar Muhammad menolak Yesus Kristus sebagai Juruselamat. Namun kita harus terus bertanya: Apakah dalam prakteknya orang-orang Kristen juga tidak melakukan hal yang sama dan terus menerus yaitu ketika mereka kurang menghargai kemanusiaan Yesus dan lebih melihat sang pembuat mujizat pada dirinya yang pada akhirnya bahkan kematian dikalahkan dan yang masuk ke dalam kerajaan surga kemana ia akan menarik para pengikutnya? Saya hendak katakan: Jika orang Kristen tidak memahami secara serius Yesus sebagai manusia maka mereka juga tidak dapat memahami Yesus sebagai Anak Allah. Mungkin ini berita kenabian yang dinyatakan Muhammad dan agama Islam kepada orang-orang Kristen: Pahami secara serius Yesus manusia.
      Ketika agama Islam menolak Yesus sebagai “Anak Allah” mereka pada prinsipnya memberinya gelar mulia lainnya yakni 'abd yang dalam bahasa Ibraninya 'ebed. Gelar ini, “abdi” atau “hamba” (Allah) adalah gelar yang tertinggi dalam Islam yang dapat dimiliki oleh manusia. Karena dengannya menunjukkan kesetiaan yang total kepada sang Tuan. Kita kenal gelar ini juga dalam kitab Nabi Yesaya dimana 'ebed YHVH bukan saja memikul bebannya melainkan juga beban seluruh bangsa (Yes 53). Ia memikul kerendahan yang paling dalam dan peninggian melalui manusia, kesakitan yang amat sangat pada dirinya sendiri untuk membuat Allah berbelaskasihan kepada bangsanya. Pernyataan-pernyataan ini juga tidak asing dalam Perjanjian Baru. Juga disana Yesus dinyatakan dan diceritakan sebagai “Hamba” Allah. Mulai dari kelahirannya ia hadir diantara masyarakat kelas bawah: Lahir di kandang diantara ternaknya tuan rumah. Dan yang pertama yang mendengar Kabar Baik Injil adalah para gembala yakni mereka yang adalah kelas masyarakat yang paling jarang dihargai. Sepertinya hal ini merupakan sesuatu yang istimewa dari berita Alkitab: Daud juga adalah seorang gembala domba oleh sebab itu pada saat Allah memanggilnya, ia disingkirkan dari masyarakat. Demikian halnya dengan nabi-nabi lainnya. Kehidupan Yesus juga adalah suatu kehidupan pelayanan dan kerendahan dan bukanlah hal yang kebetulan kalau orang-orang dekat Yesus atau mereka yang berjumpa dengannya adalah mereka yang tergolong dalam kategori masyarakat kelas bawah: nelayan, pegawai cukai yang korupsi, perempuan-perempuan nakal: Manusia yang dihina pada masa lalu dan sekarang.
      Orang-orang Kristen selalu merasa sulit untuk menerima secara serius Yesus yang seperti ini. Paling tidak selalu saja diupayakan melalui taktik-taktik secara eksegese dan hermeneutik untuk menginterpretasi elemen-elemen yang tidak sopan seperti ini yang terdapat dalam kehidupan Yesus bahwa elemen-elemen tersebut telah kehilangan ketidakwajarannya. Yesus ingin menyatakan solidaritasNya dengan mereka yang terhina dengan cara hidup ditengah-tengah mereka. Namun dalam ajaran Kristen, Yesus menjadi seorang pengkhotbah moralisme diantara orang yang terjatuh. Ini merupakan sebuah pemutarbalikan yang paling besar terhadap kebenaran biblika namun gereja dan teologi telah berhasil dan dengan demikian maka kehormatan Yesus terpelihara sebagai pahlawan kesalehan dan teladan moral sebagaimana yang berlaku di dalam masyarakat. Karena, menurut mereka, pada akhirnya Anak Allah tidaklah dapat memiliki persekutuan dengan mereka yang bahkan diantara manusia saja tidak layak.
      Namun kesaksian biblika berkata lain dan Islam menunjuk pula kepada hal ini ketika ia menyebut Yesus sebagai 'abd. Yesus adalah manusia seutuhnya dan menjadi bagian dari kemanusiaan, juga termasuk kedalamannya yang paling dalam dan kesusahannya. Salah satu teks kunci tentang kristologi yang terdapat dalam Perjanjian Baru adalah hymne Kristus dalam Filipi 2: 5 – 11. Disini dihindari segala pencobaan-pencobaan yang dilakukan oleh orang-orang Kristen seperti para doketis yang menemukan asal keilahian Yesus juga pada diri Yesus sejarah. Secara jelas berarti: Yesus menanggalkan keilahianNya. Dia telah menjadi manusia seutuhnya dan mengambil rupa seorang hamba. Dia sama seperti manusia lainnya. Ajaran Islam yang mengakui Yesus sebagai manusia dan hamba didukung pula dalam Perjanjian Baru.
      Dari konteks ini jelaslah bahwa Paulus mengemukakan teks ini sebagai paranese, sebagai tantangan bagi umat Kristen untuk menyamakan Kristus dengan hal ini. Mereka seharusnya juga menunjukkan dalam hidup mereka suatu kehidupan sebagai manusia seperti Kristus, sebagai hamba Allah dan pelayan manusia. Inilah apa yang mereka dapat dan harus lakukan. Kalau mereka menghindari diri dari sikap rendah hati sebagaimana yang dilakukan oleh Jesus maka mereka bukanlah murid-murid Yesus. Ini merupakan tantangan yang berat terhadap rasa percaya diri umat Kristen. Sepertinya mereka tidak mampu mengatasinya sendiri sehingga Allah memakai umat Muslim untuk mengingatkan orang-orang Kristen. Hal ini merupakan sesuatu yang istimewa bagiku. Karena di abad-abad yang lalu pada umumnya kaum Muslimlah yang selalu merasakan roh kekuasaan yang tiranis dari penguasa-penguasa Kristen di Eropa secara brutal dan keji. Apakah suatu hal yang aneh kalau umat Islam menolak tanda salib sebagai simbol Kristen? Kita mengatakan bahwa salib adalah simbol dari penyerahan diri Yesus untuk manusia oleh sebab itu salib adalah simbol kerendahan yang paling dalam. Bisa saja benar. Namun dalam kenyataannya umat Islam telah mengenal salib sebagai simbol pada bendera perang salib dan ini berarti penderitaan dan kematian bagi mereka yang tidak dapat dihitung dan bagi mereka yang masih hidup berarti penindasan dan perbudakan. Demikianlah yang ditunjukkan Islam kepada kita, bukanlah simbol-simbol saleh atau dogma-dogma yang bijak melainkan pada pengikut Yesus.
      Nanti jika kita menerima apa yang dikatakan oleh Islam barulah kita berhak untuk membaca hymne dalam Filipi 2 sampai akhir. Namun kita lihat bahwa pada akhirnya bukan Yesus melainkan Allahlah yang menjadi subyek: Allah sendiri yang telah mengembalikan gelar keilahian kepada Yesus setelah Yesus mengakhiri jalanNya sebagai hamba dan manusia yakni dalam bentuk kebangkitan. Bukan kita yang menjadikan Yesus Anak Allah melainkan Allah sendirilah yang memperkenalkan Yesus sebagai AnakNya.
      Kita hanya dapat mengikuti pengakuan ini dan memuja Yesus sebagai Anak Allah jika kita menanggapi secara serius kemanusiaan Yesus Kristus yang seutuhnya dan mengakui pula secara utuh kemanusiaan dan kerendahan kita sendiri dan meyerahkan semua urusan lain kepada Allah. Namun menanggapi secara serius kemanusiaan kita sendiri juga mencakup kemanusiaan sesama manusia dan demikian solidaritas dan perjuangan untuk martabat kemanusiaannya, di mana saja martabat ini dipertanyakan atau diancam. Di mana solidaritas ini tidak hidup, disitu pula
Manusia tersebut, Yang diakui oleh Allah sebagai Bapa di surga, juga tidak hadir.
      Dengan demikian perjumpaan dan dialog dengan Islam mengantar umat Kristen juga untuk menghidupkan kembali ingatan akan keyakinan-keyakinan dan pengetahuan-pengetahuan yang mendasar, yaitu keyakinan-keyakinan yang dalam perjalanan sejarah telah dilupakan. Dengan contoh yang demikian maka dialog dengan umat salah satu agama yang lain merupakan dialog yang menggerakkan dan membangunkan hati nurani keagamaan dan dialog yang dapat menghantar pada penemuan kembali elemen-elemen dasar dari ajaran Kristen yang lama dan tertutupi. Jika elemen-elemen dasar ini membaharui pemahaman diri akan hal-hal keagamaan orang Kristen dan menjadi pusat yang dinamis dari kehidupan mereka, maka orang Kristen kemudian harus memasuki kembali pergumulan yang baru dengan budaya mereka, seandainya dalam pemahaman budaya mereka tujuan manusia yang hanya ditentukan sebagai mesin produksi dan konsumsi atau di mana manusia dihina dengan cara yang lain.
      Dengan penjelasan diatas maka kita dapat memahami sebuah tuntutan yakni tuntutan yang sering dikemukakan oleh para politikus dan ilmuwan yang berasal dari negara-negara non-eropa kepada negara-negara Barat dan para pemimpin mereka: Pada akhirnya mereka harus berhenti untuk mengajar orang-orang yang bukan orang Eropa tentang respek terhadap Hak-hak Azasi Manusia (HAM) yang dideklarasikan sebagai sesuatu yang universal namun yang sebenarnya diformulasi di Barat. Ada dua alasan yang menurut mereka menguatkan tuntutan diatas: Pertama, negara-negara Barat pada saat mereka menguasai hampir seluruh bagian dunia, mereka tidak menghormati hak-hak azasi manusia bangsa-bangsa yang mereka tindas. Dengan demikian mereka telah memperlihatkan diri sebagai contoh yang negativ. Dan mereka terus saja melakukan hal ini dengan cara mereka selalu saja ragu-ragu memutuskan sesuatu demi untuk kepentingan ekonomi sendiri dan tidak pernah demi untuk menghormati manusia, hak-hak dan martabat mereka; Alasan yang kedua adalah didalam kebudayaan non Eropa terdapat kaidah-kaidah etis sosial dan antropologis yang cukup dimana kaidah-kaidah tersebut memungkinkan manusia di dalam kebudayaan itu untuk mengembangkan pemahaman-pemahaman mandiri tentang harkat dan hak-hak azasi manusia.
      Untuk alasan yang pertama akan dikemukakan disini secara singkat dan ringkas: memang benar. Pada umumnya negara-negara barat merasa tidak perlu untuk menerapkan kriteria-kriteria kemanusiaan mereka sendiri terhadap orang-orang asing jika hal tersebut dapat menyentuh kepentingan-kepentingan mereka secara negatif.
      Tentu saja ada peristiwa-peristiwa dimana argumen pro dan kontra harus diperhatikan, namun secara umum negara-negara barat tidak mempunyai alasan untuk menolak argumen ini.
      Yang lebih penting adalah alasan kedua. Di Barat, masa pencerahanlah yang mengangkat kepermukaan pertanyaan tentang hak-hak azasi manusia sebagai agenda penting. Persoalan inti pada waktu itu adalah hubungan individu terhadap masyarakat. Para pemrakarsa pencerahan telah mengukuhkan keseluruhan unsur dari hak-hak azasi manusia dalam hukum alam karena di dalam warisan kebudayaan yang ditemukan, hak-hak azasi manusia – jika itu sama sekali memperoleh perhatian - selalu saja dibatasi dengan rambu-rambu untuk kepentingan umum meskipun kepentingan tersebut sebenarnya identik dengan kepentingan sang penguasa. Dan karena setiap elemen yang dapat mengarah kepada kritik terhadap sang penguasa harus dibasmi. Juga karena agama telah menyesuaikan diri dengan pedoman tersebut yang telah menjadi “kebudayaan” (dimana para pemimpinnya turut pula memperoleh keuntungan) tanpa mempertanyakannya berdasarkan kaidah-kaidah mereka sendiri sendiri. Dengan mengukuhkan hak-hak azasi manusia dalam hukum alam para pemrakarsa pencerahan pada satu sisi telah melindungi hak-hak asasi manusia dari kepentingan-kepentingan yang disebut kultural, pada sisi lain keabsahannya secara universal telah ditetapkan. Hal ini berarti bahwa hak-hak azasi manusia melalui kelahiran setiap individu harus diakui tanpa dibatasi. Tentu saja - dan hal ini sering diabaikan - bahwa pencerahan dengan pembebasan manusia (sebagai individu) bukan berkaitan dengan isolasi manusia melainkan dengan persyaratan untuk mengganti sistim-sistim feodal yang lama melalui sebuah masyarakat dimana didalamnya setiap anggota masyarakat seharusnya berpatisipasi. Hal ini mungkin jika persyaratan-persyaratan terpenuhi yakni kemerdekaan dan pendidikan. Mendapatkannya adalah bagian dari hak-hak azasi.
      Hak-hak azasi manusia secara universal telah diformulasikan di barat namun ia juga menentang nilai-nilai budaya barat yang berlaku – paling tidak secara resmi - pada masa lalu. Dengan demikian menjadi jelas bahwa penekanan pada keuniversalan HAM juga betul-betul melanggar pemahaman yang tradisional di dunia barat; karena pemahaman hukum yang berada dibawah kepentingan-kepentingan kekuasaan, membenarkan pelanggar HAM bangsa-bangsa yang dijajah tepat pada saat tema HAM didiskusikan di Eropa.
      Hal diatas berlaku juga bagi budaya-budaya non-Eropa pada masa kini. Petunjuk bahwa bagi budaya timur hak-hak kolektif berada diatas hak-hak individu, pasti sangat disepakati oleh penguasa feodal Eropa dan kaki tangan kolonial-imperialnya pada waktu itu. Karena sampai saat ini juga dimana manusia perorangan akan dikorbankan demi kepentingan dan tujuan yang lebih besar dan tinggi yakni kepentingan keseluruhan masyarakat maka kepentingan umum akan disamakan dengan kepentingan penguasa-penguasa. Sebuah pertanyaan muncul, kalau begitu siapakah yang telah menetapkan nilai-nilai budaya tradisional. Etika sosial secara konfucu dan antropologinya yang didasari oleh kewajiban hubungan manusia, selalu saja menjadi alat yang cocok bagi sang penguasa untuk mengambil tindakan tegas dan tanpa welas asih bagi perlawan. Hal ini diabsahkan melalui nilai-nilai yang berkembang di dalam budaya tersebut. Seharusnya melalui kritik sosialnya Marx, Mao atau Kim maka keterikatan nilai-nilai budaya tradisional dengan sistim kekuasan feodal telah terbongkar dan terpecahkan. Oleh karena itu lebih mengejutkan kalau penjelasan-penjelasan dari para ideolog Maoisme yang menyatakan dasar mengenai rasa hormat terhadap hak-hak azasi manusia terletak di dalam budaya tradisional China dan mereka justru menunjuk pada etika Konfucu. Bagaimanapun juga, dengan demikian maka yang dibicarakan bukan lagi keuniversalan dari HAM. Dan jika para politisi barat - yang terkesan (dan secara diam-diam senang) dengan serangan terhadap konsep "barat" mengenai HAM - mengakui bahwa HAM seharusnya mempunyai tempat pada masing-masing sistim hukum yang berlaku, maka tidak lama lagi bahwa masing-masing akan mendefinisikan sendiri apa yang mereka ingin mengerti tentang hal tersebut.
      Kecuali kalau agama-agama lain yang terutama berorientasi pada hati nurani, roh-roh setiap pribadi di dalam lingkaran masing-masing lingkungan masyarakat, menentukan sendiri bagaimana mereka bereaksi terhadap manipulasi HAM, maka dengan begitu manipulasi “hak-hak azasi” manusia didahului dengan penghinaan terhadap “martabat” manusia; dan sebagaimana telah dikatakan, ini adalah inti dari setiap agama. Untuk orang Kristen juga tidaklah mudah sampai beberapa dari mereka pada akhirnya menyadari bahwa pemahaman akan keuniversalan HAM sebenarnya juga harus berasal dari antropologi biblika. Dengan demikian sekali lagi terdapat tugas bagi umat Kristen dimana saja dan dalam lingkaran budaya apa saja mereka hidup. Tugas tersebut ialah pertama untuk membuka kedok manipulasi HAM yang berorientasi pada kepentingan-kepentingan budaya tertentu dan upaya-upaya yang memposisikan HAM pada posisi yang rendah sebagai bagian dari tradisi budaya tertentu secara partikuler. Tugas yang kedua adalah menjadikan martabat manusia tanpa kompromi sebagai dasar bagi HAM yakni martabat manusia yang dimiliki setiap pribadi manusia yang diciptakan oleh Allah. Hal tersebut berarti pergumulan dengan nilai-nilai budaya di dalam masyarakat dan konflik dengan mereka yang berkedok sebagai pelindung nilai-nilai tersebut.
      Persoalan yang sama pada akhirnya muncul pula dalam wilayah “Kebangkitan Islam” dimana nilai-nilai hanya sangat terbatas berorientasi pada tradisi Islam dan al-Qur’an, melainkan lebih pada imitasi nilai-nilai masyarakat kelas menengah eropa yang menjadi tren pada permulaan abad ke-19. Di dalam tujuan kultural dan juga di dalam pembahasan tentang persoalan HAM nampak upaya yang baru dari aliansi kelompok kelas menengah dengan ilmuwan-ilmuwan Islam untuk mengambil kekuasaan. Yang dipakai sebagai legitimasi disini juga adalah tradisi-tradisi kultural yang dideklarasi sebagai islamiah namun mempunyai akar yang dapat diragukan, yang membatasi kebebasan individu dan demikian membatasi kesempatan-kesempatan untuk perkembangan individu sebagai anggota yang berpartisipasi dalam masyarakat. Perujukkan pada "tradisi-tradisi budaya masyarakat sendiri" disini juga bertujuan untuk menyamarkan bahwa para penguasa yang melindungi tradisi ini semakin rajin berusaha untuk memuaskan kepentingan-kepentingan mereka sendiri di belakang perisai ini. Dan ini tentu saja terjadi dengan mengorbankan individu-individu yang haknya dicabut untuk membela diri dengan cara yang seolah-olah masuk akal.
      Hal ini menyangkut bukan hanya masalah budaya melainkan juga masalah manipulasi nilai-nilai "budaya", sementara tendensi untuk manipulasi semacam itu dapat membudaya sehingga menjadi sulit untuk melawannya. Yang diharapkan dari orang Kristen adalah memiliki kemampuan untuk membedakan secara kritis. Kerja sama dengan penganut agama lainnya yang juga bergerak dalam upaya-upaya melawan manipulasi semacam itu adalah suatu hal yang berarti karena mereka membuka kemungkinan melalui ujian dan ujian diri sendiri untuk mengembangkan nilai-nilai yang baru yakni nilai-nilai yang didukung oleh suatu persekutuan masyarakat yang lebih besar dari pada kelompok agamanya sendiri saja.
      Agama tidak dapat dan tidak boleh memiliki wilayah yang terisolir, dan hal itu telah menjadi jelas dari dua contoh: 1. kemungkinan-kemungkinan dialog antaragama untuk pendalaman dan koreksi pemahaman iman masing-masing, dan 2. pertarungan antara dogma-dogma agama, tujuan dan nilai-nilai budaya, dimana didalamnya manusia religius hidup. Agama tergantung dari dialog dan perdebatan. Jika agama menarik diri dari hal tersebut dan demi kepuasan diri menyendiri pada sebuah benteng yang aman maka agama akan kehilangan segala dinamikanya dan dengan demikian dia juga kehilangan makna bagi kehidupan manusia. Kondisi beku semacam ini akan nampak pula ketika agama mengidentifikasi dirinya dengan budaya tertentu sedemikian jauh sehingga dia tidak lagi berdaya untuk berjumpa dan berdebat dengan budaya lainnya. Bagi kekristenan hal ini berarti bahwa ia harus terlepas dari kesan bahwa ia hanya dapat hidup dalam bentuk budaya barat. Harus diperjelaskan bahwa dalam budaya lainnya dimana orang-orang Kristen hidup, kekristenan dapat pula mengambil alih fungsi perenungan secara kritis dan perkembangan yang kreatif sebagaimana yang terdapat pada budaya barat. Namun juga orang-orang Kristen non Barat harus pula menguraikan pengalaman bahwa Injil mempertanyakan dan mengubah, mungkin bahkan menolak, tradisi-tradisi antropologis, sosial dan kultural yang telah mendarah daging untuk mereka sendiri. Bukanlah keinginan akan harmoni yang bersedia untuk kompromi menjadi kriteria melainkan bagaimana harmoni tersebut dapat disesuaikan dengan kehendak Allah dalam hal keadilan dan kebenaran. Dimana secara khusus kebenaran yang dipahami bukan secara teoretis melainkan secara relasional membuka lahan yang lapang untuk dialog dengan nilai-nilai dasar dari kebajikan dan budaya yang hidup dari Timur pada satu sisi dan pada sisi yang lain dialog dengan keyakinan-keyakinan Kristen yang ditentukan oleh Injil.


Jumat, 28 Januari 2011

tak seperti yg q harapkan

apa aku salh jika aq terlalu mengkhawirkan mu, apa aku slah jika aku cembuu dngn tingkah mu... apa aku slah mengahrpkn mu sllu di dekat aq.. mungkin sikap itu terlalu membebani mu hingga sesuka mu tuk pergi dan datang..

ya mungkin memang beanr aq g pernh bilng klo cinta itu tumbuh dalm hati aq.. tapi perasaan aq yg mengtkan klo cinta aq ma qmu begitu besar.. hingga kecemburuan juga begitu dahsyat.

jika memang ini yg harus terjadi.. sebelum rasa cinta ini tumbuh semakin besar, aq harap qt intropeksi dlu masing²....
perlu waktu tuk berfikr sejenak betapa pentingnya suatu perasaan tuk di akui dan di hargai..
moga ini menjadi halyag baikk

JADWAL KULIAH

Nama     :: Edison Frengky Swandiqa Butar-butar
Nim        :: 100905015
Fak        :: Ilmu soisal & Ilmu politik 
                Universitas Sumatera Utara
Departemen :; Antropologi Sosial

                          JADWAL KULIAH SEM.GENAP DEPT.ANTROPOLOGI USU

Senin
10.10-12.10            Filsafat Ilmu

Rabu
10.10-12.10            Teori Antropologi 1

Kamis
08.00-10.00            Sis.kekerabatan, organisasi sosial & bisnis
14.00-16.00            Metode Penelitian Sosial

Jum'at
10.10-12.10           Antropologi Sosial Budaya

Sabtu
10.10-12.10           Agama
14.00-16.00           Sistem Ekonomi Indonesia

SISTEM EKONOMI INDONESIA


PENDAHULUAN

Dalam perkembangan globalisasi seperti kita saksikan saat ini ternyata tidak makin mudah menyajikan  pemahaman tentang adanya sistem ekonomi Indonesia. Kaum akademisi Indonesia terkesan makin mengagumi globalisasi yang membawa perangai “kemenangan” sistem kapitalisme Barat. Sikap kaum akademisi semacam ini ternyata membawa pengaruh besar terhadap sikap kaum elit politik muda Indonesia, yang mudah menjadi ambivalen terhadap sistem ekonomi Indonesia dan ideologi kerakyatan yang melandasinya.

Pemahaman akan sistem ekonomi Indonesia bahkan mengalami suatu pendangkalan tatkala sistem komunisme Uni Soviet dan Eropa Timur dinyatakan runtuh. Kemudian  dari situ ditarik kesimpulan kelewat sederhana bahwa sistem kapitalisme telah memenangkan secara total persaingannya dengan sistem komunisme. Dengan demikian, dari persepsi  simplisistik semacam ini,  Indonesia pun  dianggap perlu  berkiblat kepada kapitalisme Barat dengan sistem pasar-bebasnya dan meninggalkan saja sistem ekonomi Indonesia yang “sosialistik” itu.

Kesimpulan yang misleading tentang menangnya sistem kapitalisme dalam percaturan dunia ini ternyata secara populer telah pula “mengglobal”.  Sementara  pemikir strukturalis masih memberikan  peluang terhadap pemikiran obyektif yang lebih mendalam, dengan membedakan antara runtuhnya negara-negara komunis itu secara politis dengan lemahnya (atau kelirunya) sistem sosialisme dalam prakteknya.

Pandangan para pemikir strukturalis seperti di atas kurang lebihnya diawali oleh fenomena konvergensi antara dua sistem raksasa itu (kapitalisme dan komunisme) a.l. seperti dkemukakan oleh Raymond Aron (1967), bahwa suatu ketika nanti anak-cucu Krushchev akan menjadi “kapitalis” dan anak-cucu Kennedy akan menjadi “sosialis”.
Mungkin yang lebih benar adalah bahwa tidak ada yang kalah antara kedua sistem itu. Bukankah tidak ada lagi kapitalisme asli yang sepenuhnya liberalistik dan individualistik dan tidak ada lagi sosialisme asli yang dogmatik dan komunalistik.

Dengan demikian hendaknya kita tidak terpaku pada fenomena global tentang kapitalisme vs komunisme seperti dikemukakan di atas. Kita harus mampu mengemukakan dan melaksanakan sistem ekonomi Indonesia sesuai dengan cita-cita kemerdekaan Indonesia, yaitu untuk mencapai kesejahteraan sosial dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, tanpa mengabaikan hak dan tanggung jawab global kita.
Globalisasi  dengan “pasar bebas”nya memang berperangai kapitalisme dalam ujud barunya. Makalah ini tidak dimaksudkan untuk secara khusus mengemukakan tentang hal-hal mengapa globalisasi perlu kita waspadai namun perlu dicatat bahwa globalisasi terbukti telah menumbuhkan inequality yang makin parah, melahirkan “the winner-take-all society” (adigang, adigung, aji mumpung), disempowerment dan impoversishment terhadap si lemah. Tentu tergantung kita, bagaimana memerankan diri sebagai subyek (bukan obyek) dalam ikut membentuk ujud globalisasi. Kepentingan nasional harus tetap kita utamakan tanpa mengabaikan tanggungjawab global. Yang kita tuju adalah pembangunan Indonesia, bukan sekedar pembangunan di Indonesia.

LANDASAN SISTEM EKONOMI INDONESIA
Secara normatif  landasan idiil sistem ekonomi Indonesia adalah Pancasila dan UUD 1945.

Dengan demikian maka  sistem ekonomi Indonesia adalah sistem ekonomi yang berorientasi kepada Ketuhanan Yang Maha Esa (berlakunya etik dan moral agama, bukan materialisme); Kemanusiaan  yang adil dan beradab (tidak mengenal pemerasan atau eksploitasi); Persatuan Indonesia  (berlakunya kebersamaan, asas kekeluargaan, sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi dalam ekonomi); Kerakyatan (mengutamakan kehidupan ekonomi rakyuat dan hajat hidup orang banyak); serta Keadilan Sosial (persamaan/emansipasi, kemakmuran masyarakat yang utama – bukan kemakmuran orang-seorang).

Dari butir-butir di atas, keadilan menjadi sangat utama di dalam sistem ekonomi Indonesia. Keadilan  merupakan titik-tolak, proses dan tujuan sekaligus.

Pasal 33 UUD 1945 adalah pasal utama bertumpunya sistem ekonomi Indonesia yang berdasar Pancasila, dengan kelengkapannya,  yaitu Pasal-pasal 18, 23, 27 (ayat 2) dan 34.

Berdasarkan TAP MPRS XXIII/1966, ditetapkanlah butir-butir Demokrasi Ekonomi (kemudian menjadi ketentuan dalam GBHN 1973, 1978, 1983, 1988), yang meliputi penegasan berlakunya Pasal-Pasal 33, 34, 27 (ayat 2), 23 dan butir-butir yang berasal dari Pasal-Pasal    UUDS tentang hak milik yuang berfungsi sosial dan kebebasan memilih jenis pekerjaan. Dalam GBHN 1993 butir-butir Demokrasi Ekonomi ditambah dengan unsur Pasal 18 UUD 1945. Dalam GBHN 1998 dan GBHN 1999, butir-butir Demokrasi Ekonomi tidak disebut lagi dan diperkirakan “dikembalikan” ke dalam Pasal-Pasal asli UUD 1945.

Landasan normatif-imperatif ini mengandung tuntunan etik dan moral luhur, yang menempatkan rakyat pada posisi mulianya, rakyat sebagai pemegang kedaulatan, rakyat sebagai ummat yang dimuliakan Tuhan, yang hidup dalam persaudaraan satu sama lain, saling tolong-menolong dan bergotong-royong.

WILOPO –VS- WIDJOJO
Pancasila hampir-hampir tidak terdengar lagi. Seolah-olah orang Indonesia merasa tidak perlu Pancasila lagi sebagai ideologi negara. Tanpa suatu ideologi  negara yang solid, suatu bangsa tidak akan  memiliki pegangan, akan terombang-ambing tanpa platform nasional yang akan memecah-belah persatuan. Pancasila merupakan “asas bersama” (bukan “asal tunggal”) bagi pluralisme Indonesia, suatu common denominator yang membentuk kebersamaan.
Sistem Eknomi Pancasila pun hampir-hampir hilang dalam pemikiran ekonomi Indonesia. Bahkan demikian pula Pasal 33 UUD 1945 sebagai landasan ideologinya akan dihilangkan. Apa yang sebenarnya terjadi?
Perdebatan mengenai Pasal 33 UUD 1945 (terutama Ayat 1-nya) sudah dimulai sejak awal. Yang paling pertama dan monumental adalah perdebatan pada tanggal 23 September 1955 antara Mr. Wilopo, seorang negarawan, dengan Widjojo Nitisastro, mahasiswa tingkat akhir FEUI.
Di dalam perdebatan itu kita bisa memperoleh kesan adanya bibit-bibit untuk ragu meminggirkan liberalisme sebagai peninggalan kolonial serta menolak koperasi sebagai wadah kekuatan rakyat dalam keekonomian nasional, betapapun hanya tersirat secara implisit, dengan memadukan tujuan untuk mencapai “peningkatan pendapatan perkapita” dan sekaligus “pembagian pendapatan yang merata”, sebagaimana (tersurat) dikemukakan oleh Widjojo Nitisastro.
Di awal penyajiannya dalam debat itu, Widjojo Nitisastro menyatakan adanya ketidaktegasan akan Ayat 1 Pasal 33 UUD 1945, kemudian mempertanyakannya, apakah ketidaktegasan ini disebabkan oleh “kontradiksi inheren” yang dikandungnya (karena masih mengakui adanya perusahaan swasta yang mengemban semangat liberalisme, di samping perusahaan negara dan koperasi), ataukah karena akibat tafsiran yang kurang tepat. Pertanyaan Widjojo Nitisastro semacam itu sebenarnya tidak perlu ada apabila beliau menyadari makna Ayat II Aturan Peralihan UUD 1945 dan mengkajinya secara mendalam.
Di samping itu, menurut pendapat saya, Widjojo Nitisastro alpa memperhatikan judul Bab XIV UUD 1945 di mana Pasal 33 (dan Pasal 34) bernaung di dalamnya, yaitu “Kesejahteraan Sosial”, sehingga beliau terdorong untuk lebih tertarik terhadap masalah bentuk-bentuk badan usaha (koperasi, perusahaan negara dan swasta) daripada terhadap masalah ideologi kerakyatan yang dikandung di dalam makna “Kesejahteraan Sosial” itu. Akibatnya beliau alpa pula bahwa yang paling utama berkaitan dengan kesejahteraan sosial adalah “cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak” (ayat 2 Pasal 33 UUD), di luar cabang-cabang produksi itu (ditegaskan Bung Hatta) swasta masih memperoleh tempat.
Terlepas dari itu Widjojo Nitisastro pada tahun 1955 itu telah menekankan pentingnya negara memainkan peran aktif dalam pengendalian dan melaksanakan pembangunan ekonomi (alangkah baiknya apabila kaum Widjojonomics saat ini mengikuti pandangan Widjojo yang dikemukakannya ini, yang saya anggap bagian ini tepat sekali).
Sementara Mr. Wilopo menangkap ide kerakyatan dan demokrasi ekonomi (istilahnya: mengikuti jalan demokratis untuk memperbaiki nasib rakyat). Beliau mendukung agar negeri ini tidak berdasarkan konsep liberalisme ekonomi sebagai bagian dari pelaksanaan Asas-Asas Dasar (platforms) yang dianut oleh konstitusi kita (UUDS, pen.). Beliau mengatakan lebih lanjut bahwa “sejak semula sudah diakui bahwa ketentuan-ketentuan Pasal 33 UUD 1945 yang muncul dalam UUDS sebagai Pasal 38, memang sangat penting, karena dimaksudkan untuk mengganti asas ekonomi masa lalu (asas ekonomi kolonial, pen.) dengan suatu asas baru (asas ekonomi nasional, yaitu asas kekeluargaan, pen.).
Dalam berbagai artikel saya telah menindaklanjuti pemikiran Mr. Wilopo ini dengan mengemukakan bahwa Ayat II Aturan Peralihan UUD 1945 merupakan sumber hukum yang perlu kita perhatikan. Ayat II Aturan Peralihan UUD 1945 menetapkan: “segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut UUD ini”. Artinya Pasal 33 UUD 1945 yang menegaskan “asas kekeluargaan” berlaku bagi Indonesia sejak ditetapkan berlakunya UUD 1945, namun tetap masih berlaku pula peraturan perundangan kolonial, tak terkecuali KUHD (Wetboek van Koophandel) yang berasas perorangan (liberalisme). Pasal 33 UUD 1945 berlaku secara permanen, sedang KUHD sebagai akibat Aturan Peralihan UUD 1945 berlaku secara temporer (transisional). Mereka yang mau memahami pula kedudukan Pasal 33 UUD 1945 dan asas kekeluargaan hendaknya memahami kedudukan peraturan perundangan mengenai keekonomian dalam konteks Aturan Peralihan ini. Artinya, KUHD yang berasas perorangan yang harus di-Pasal 33-kan, bukan Pasal 33 yang harus di-KUHD-kan.

SIAPA YANG DISEBUT RAKYAT?
Dari  landasan sistem ekonomi Indonesia sebagaimana dikemukakan di atas (Pancasila, UUD 1945, TAP MPRS No. XXIII/66 dan GBHN-GBHN 1973, 1978, 1983, 1988, 1998, 1999), jelas bahwa ekonomi Indonesia berpedoman pada ideologi kerakyatan. Apa  itu kerakyatan dan siapa itu rakyat?
Banyak orang mengatasnamakan rakyat. Ada yang melakukannya secara benar demi kepentingan rakyat semata, tetapi ada pula yang melakukannya demi kepentingan pribadi atau kelompok. Yang terakhir ini tentulah merupakan tindakan yang tidak terpuji. Namun yang lebih berbahaya dari itu adalah bahwa banyak di antara mereka, baik yang menuding ataupun yang dituding dalam mengatasnamaan rakyat, adalah bahwa mereka kurang sepenuhnya memahami arti dan makna rakyat serta dimensi yang melingkupinya.
Sekali lagi, siapa yang disebut “rakyat”? Pertanyaan semacam ini banyak dikemukakan secara sinis oleh sekelompok pencemoh yang biasanya melanjutkan bertanya, “bukankah seorang konglomerat juga rakyat, bukankah Liem Sioe Liong juga rakyat?” Tentu! Namun yang jelas perekonomian konglomerat bukanlah perekonomian rakyat.
“Rakyat” adalah konsepsi politik, bukan konsepsi aritmatik atau statistik, rakyat tidak harus berarti seluruh penduduk. Rakyat adalah “the common people”, rakyat adalah “orang banyak”. Pengertian rakyat berkaitan dengan “kepentingan publik”, yang berbeda dengan “kepentingan orang-seorang”. Pengertian rakyat mempunyai kaitan dengan kepentingan kolektif atau kepentingan bersama. Ada yang disebut “public interest” atau “public wants”, yang berbeda dengan “private interest” dan “private wants”. Sudah lama pula orang mempertentangkan antara “individual privacy” dan “public needs” (yang berdimensi domain publik). Ini analog dengan pengertian bahwa “social preference” berbeda dengan hasil penjumlahan atau gabungan dari “individual preferences”. Istilah “rakyat” memiliki relevansi dengan hal-hal yang bersifat “publik” itu.
Mereka yang tidak mampu mengerti “paham kebersamaan” (mutuality) dan “asas kekeluargaan” (brotherhood ataubroederschap) pada dasarnya karena mereka tidak mampu memahami arti dan makna luhur dari istilah “rakyat” itu, tidak mampu memahami kemuliaan adagium “vox populi vox Dei”, di mana rakyat lebih dekat dengan arti “masyarakat” atau “ummat”, bukan dalam arti “penduduk” yang 210 juta. Rakyat atau “the people” adalah jamak (plural), tidak tunggal (singular).
Seperti dikemukakan di atas, kerakyatan dalam sistem ekonomi mengetengahkan pentingnya pengutamaan kepentingan rakyat dan hajat hidup orang banyak,  yang bersumber pada kedaulatan rakyat atau demokrasi. Oleh karena itu, dalam sistem ekonomi berlaku demokrasi ekonomi yang tidak menghendaki “otokrasi ekonomi”, sebagaimana pula demokrasi politik menolak “otokrasi  politik”.
Dari sini perlu kita mengingatkan agar tidak mudah menggunakan istilah “privatisasi” dalam menjuali BUMN. Yang kita tuju bukanlah “privatisasi” tetapi adalah “go-public”, di mana pemilikan BUMN meliputi masyarakat luas yang lebih menjamin arti “usaha bersama” berdasar atas “asas kekeluargaan”.


PASAL 33 UUD 1945 PERLU DIPERTAHANKAN

Pasal 33 UUD 1945 harus dipertahankan. Pasal 33 UUD 1945 adalah pasal mengenai keekonomian yang berada pada Bab XIV UUD 1945 yang berjudul “Kesejahteraan Sosial”. Kesejahteraan sosial adalah bagian tak terpisahkan dari cita-cita kemerdekaan. Dengan menempatkan Pasal 33 1945 di bawah judul Bab “Kesejahteraan Sosial” itu, berarti pembangunan ekonomi nasional haruslah bermuara pada peningkatan kesejahteraan sosial. Peningkatan kesejahteraan sosial merupakan test untuk keberhasilan pembangunan, bukan semata-mata per-tumbuhan ekonomi apalagi kemegahan pembangunan fisikal. Pasal 33 UUD 1945 adalah pasal yang mulia, pasal yang mengutamakan kepentingan bersama masyarakat, tanpa mengabaikan kepentingan individu orang-perorang. Pasal 33 UUD 1945 adalah pasal restrukturisasi ekonomi, pasal untuk mengatasi ketimpangan struktural ekonomi.
Saat ini Pasal 33 UUD 1945 (ide Bung Hatta yang dibela oleh Bung Karno karena memangku ide “sosio-nasionalisme” dan ide “sosio-demokrasi”) berada dalam bahaya. Pasal 33 UUD 1945 tidak saja akan diamandemen, tetapi substansi dan dasar kemuliaan ideologi kebangsaan dan kerakyatan yang dikandungnya akan diubah, artinya akan digusur, oleh sekelompok pemikir dan elit politik yang kemungkinan besar tidak mengenal platform nasional Indonesia.
Ayat 1 Pasal 33 UUD 1945 menegaskan, bahwa “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan”. Perkataan disusun artinya “direstruktur”. Seorang strukturalis pasti mengerti arti “disusun” dalam konteks restrukturisasi ekonomi, merubah ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional, menghilangkan subordinasi ekonomi (yang tidak emancipatory) dan menggantinya dengan demokrasi ekonomi (yang participatory dan emancipatory).
Mari kita baca Penjelasan Pasal 33 UUD 1945 “… Perekonomian berdasar atas demokrasi ekonomi, kemakmuran bagi semua orang. Sebab itu cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajad hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara. Kalau tidak tampuk produksi jatuh ke tangan orang-orang yang berkuasa dan rakyat banyak ditindasinya …”. Bukankah sudah diprediksi oleh UUD 1945 bahwa orang-orang yang berkuasa akan menyalahgunakan kekuasaan, akan habis-habisan ber-KKN karena melalaikan asas kekeluargaan. Bukankah terjadinya ketidakadilan sosial-ekonomi mass poverty, impoverishmen dan disempowerment terhadap rakyat karena tidak hidupnya asas kekeluargaan atau brotherhood  di antara kita? Dalam kebersamaan dan asas kekeluargaan, keadilan sosial-ekonomi implisit di dalamnya.
Dari Penjelasan UUD 1945 juga kita temui kalimat “… Meskipun dibikin UUD yang menurut kata-katanya bersifatkekeluargaan, apabila semangat penyelenggara negara, para pemimpin pemerintahan itu bersifat perorangan, UUD itu tentu tidak ada artinya dalam praktek …”. Ini kiranya jelas, self-explanatory.
Pasal 33 UUD 1945 akan digusur dari konstitusi kita. Apa salahnya, apa kelemahannya? Apabila Pasal 33 UUD 1945 dianggap mengandung kekurangan mengapa tidak disempurnakan saja dengan ayat-ayat tambahan, dengan tetap mempertahankan 3 ayat aslinya.
Pasal 33 UUD 1945 sebenarnya makin relevan dengan tuntutan global untuk menumbuhkan global solidarity dan global mutuality. Makin berkembangnya aliran sosial-demokrasi (Anthony Giddens, Tony Blair, dll) makin meningkatkan relevansi Pasal 33 UUD 1945 saat ini. Saat ini 13 dari 15 negara Eropa Barat menganut paham sosial-demokrasi (Dawam Rahardjo, 2000).
Memang tidak akan mudah bagi mereka untuk memahami Pasal 33 UUD 1945 tanpa memiliki platform nasional, tanpa memiliki ideologi kerakyatan, ataupun tanpa memahami cita-cita sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi yang saat ini tetap relevan. Mereka (sebagian ekonom junior) kiranya tidak suka mencoba memahami makna “perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan” (ayat 1 Pasal 33). “Kebersamaan” adalah suatu “mutuality” dan “asas kekeluargaan” adalah “brotherhood” atau “broederschap” (bukan kinship atau kekerabatan), bahasa agamanya adalah ukhuwah, yang mengemban semangat kekolektivan dan solidaritas sosial. M. Umer Chapra (2001) bahkan menegaskan bahwa memperkukuh brotherhood merupakan salah satu tujuan  dalam pembangunan ekionomi,.Brotherhood menjadi sinergi kekuatan ekonomi utnuk saling bekerjasama, tolong-menolong dan bergotong-royong.
Pura-pura tidak memahami makna mulia “asas kekeluargaan” terkesan untuk sekedar menunjukkan kepongahan akademis belaka. “Asas kekeluargaan” adalah istilah Indonesia yang sengaja diciptakan untuk memberi arti brotherhood, seperti halnya persatuan Indonesia” adalah istilah Indonesia untuk nasionalisme, dan “kerakyatan” adalah istilah Indonesia untuk demokrasi.(Mubyarto, 2001).
Memang yang bisa memahami asas kekeluargaan adalah mereka yang bisa memahami cita-cita perjuangan dalam konteks budaya Indonesia, yang mampu merasakan sesamanya sebagai “saudara”, “sederek”, “sedulur”, “sawargi”, “kisanak”, “sanak”, “sameton” dan seterusnya, sebagaimana Al Islam menanggap sesama ummat (bahkan manusia) sebagai “saudara”, dalam konteks rahmatan lil alamin 
Jadi asas kekeluargaan  yang brotherhood ini bukanlah asas keluarga atau asas kekerabatan (bukan family system ataukinship) yang nepotistik. Kebersamaan dan kekeluargaan adalah asas ekonomi kolektif (cooperativism) yang dianut Indonesia Merdeka, sebagai lawan dari asas individualisme yang menjadi dasar sistem ekonomi kolonial yang dipelihara oleh Wetboek van Koophandel (KUHD). Itulah sebabnya UUD 1945 memiliki Aturan Peralihan, yang Ayat II-nya menegaskan bahwa sistem hukum kolonial berdasar KUH Perdata, KUH Pidana, KUHD, dll tetap berlaku secara temporer, yang berkedudukan sebagai “sementara sebelum diadakan yang baru menurut UUD 1945”, artinya dalam posisi “peralihan”. Jadi yang tidak tahu, lalu ingin menghapuskan ketiga ayat Pasal 33 UUD 1945 itu adalah mereka yang mungkin sekali ingin merubah cita-cita dasar Indonesia Merdeka.
Mengulang yang disinggung di atas, “usaha bersama” dan “asas kekeluargaan” adalah satu kesatuan, tidak bisa dipisahkan satu sama lain, merupakan satu paket sistem ekonomi untuk merubah ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional, di mana “partisipasi” dalam kehidupan ekonomi harus pula disertai dengan “emansipasi”. Kebersamaan menjadi dasar bagi partisipasi dan asas kekeluargaan menjadi dasar bagi emansipasi. Tidak akan ada partisipasi genuine tanpa adanya emansipasi.
Pasal 33 UUD 1945 tidak punya andil apapun dan keterpurukan ekonomi saat ini, suatu keterpurukan terberat dalam sejarah Republik ini. Bukan Pasal 33 UUD 1945 yang mengakibatkan kita terjerumus ke dalam jebakan utang (debt-trap) yang seganas ini. Pasal 33 UUD 1945 tidak salah apa-apa, tidak ikut memperlemah posisi ekonomi Indonesia sehingga kita terhempas oleh krisis moneter. Pasal 33 UUD 1945 tidak ikut salah apa-apa dalam menghadirkan krisis ekonomi yang berkepanjangan. Bukan Pasal 33 UUD 1945 yang menjebol Bank Indonesia dan melakukan perampokan BLBI. Bukan pula Pasal 33 yang membuat perekonomian diampu dan di bawah kuratil negara tetangga (L/C Indonesia dijamin Singapore). Bukan Pasal 33 yang menghadirkan kesenjangan ekonomi (yang kemudian membentuk kesenjangan sosial yang tajam dan mendorong disintegrasi sosial ataupun nasional), meminggirkan rakyat dan ekonominya. Bukan pula Pasal 33 yang membuat distribusi pendapatan Indonesia timpang dan membiarkan terjadinya trickle-up mechanism yang eksploitatif terhadap rakyat, yang menumbuhkan pelumpuhan (disempowerment) dan pemiskinan rakyat (impoverishment). Lalu, mengapa kita mengkambinghitamkan Pasal 33 UUD 1945 dan justru mengagung-agungkan globalisasi dan pasar-bebas yang penuh jebakan bagi kita? Pasal 33 tidak menghambat, apalagi melarang kita maju dan mengambil peran global dalam membentuk tata baru ekonomi mondial.
Tiga butir Ayat Pasal 33 UUD 1945 tidak seharusnya dirubah, tetapi ditambah ayat-ayat baru, bukan saja karena tidak menjadi penghambat pembangunan ekonomi nasional tetapi juga karena tepat dan benar. Kami mengusulkan berikut ini sebagai upaya amandemen UUD 1945, yang lebih merupakan suatu upaya memberi “addendum”, menambah ayat-ayat, misalnya untuk mengakomodasi dimensi otonomi daerah dan globalisasi ekonomi, dengan tetap mempertahankan tiga ayat aslinya.

PENUTUP: SIAPA YANG BERDAULAT, PASAR, ATAU RAKYAT?
Kesalahan utama kita dewasa ini terletak pada sikap Indonesia yang kelewat mengagumi pasar-bebas. Kita telah “menobatkan” pasar-bebas sebagai “berdaulat”, mengganti dan menggeser kedaulatan rakyat. Kita telah menobatkan pasar sebagai “berhala” baru.
Kita boleh heran akan kekaguman ini, mengapa dikatakan Kabinet harus ramah terhadap pasar, mengapa kriteria menjadi menteri ekonomi harus orang yang bersahabat kepada pasar. Bahkan sekelompok ekonom tertentu mengharapkan Presiden Megawati pun harus ramah terhadap pasar. Mengapa kita harus keliru sejauh ini.
Mengapa tidak sebaliknya bahwa pasarlah yang harus bersahabat kepada rakyat, petani, nelayan, dst dst.