Minggu, 30 Januari 2011

Tentang Perjumpaan Kekristenan dan Budaya lainnya

      Agama dan budaya merupakan dua hal yang tidak indentik satu dengan lainnya. Masing-masing memiliki bidangnya sendiri-sendiri dimana didalamnya terkandung ciri khas dan tujuan-tujuan masing-masing yang memberi makna dan arti bagi hidup yaitu makna yang melampaui kehidupan duniawi dan yang mengarahkan manusia kepada sesuatu yang melampaui ruang dan waktu atau sesuatu yang hakiki. Sebaliknya budaya terutama berhadapan dengan hal-hal duniawi. Ia merupakan suatu sistim kondisi dan aturan (konvensi) yang diciptakan oleh manusia dari lingkungan budaya tertentu yang dapat dijadikan orientasi mereka agar supaya dasar kemakmuran, kemajuan dan masa depan kehidupan bersama terjamin. Budaya berasal dari manusia. Salah satu unsur dasarnya adalah bahasa yang antara lain berguna untuk memungkinkan komunikasi antarmanusia sehingga mereka dapat membagi makna dan tujuan kehidupan mereka; melalui bahasa mereka dapat memiliki daya cipta untuk berpartisipasi dalam budaya mereka. Bahasa juga berusaha untuk memahami fenomena-fenomena dan pengalaman-pengalaman yang terjadi di dunia. Dengan mendefinisikannya dan mengekspresikannya maka komunikasi dimungkinkan dengan tujuan agar supaya mudah dipengaruhi oleh daya cipta kultural manusia.
      Dengan demikian dapat dikatakan bahwa agama dan budaya menyangkut dua dimensi kehidupan manusia yang tidak dapat diidentikkan namun sekaligus tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Misalnya agama tergantung pada media yang berasal dari ranah budaya. Misalnya agama tidak dapat menciptakan bahasanya sendiri, tetapi untuk sementara tergantung pada bahasa yang ada dan yang tanpa bantuan agama telah memungkinkan manusia berkomunikasi.
      Namun adalah fakta bahwa agama merubah bahasa yang ditemukan sebelumnya dan memberikan makna-makna baru yang berkaitan dengan hal-hal yang berhubungan dengan agama. Hal ini dapat saja berhubungan dengan nilai-nilai etis transenden atau juga makna-makna yang melampaui hal-hal duniawi dan yang menunjuk pada yang kekal. Sebagai contoh adalah kata Yunani logos. Dalam filsafat klasik kata ini memiliki makna yang besar sebagai prinsip tertentu yang memungkinkan manusia melalui akal budi untuk memahami dan menyelidiki hukum-hukum dunia baik yang nyata maupun yang sifatnya rahasia. Bagi filsafat klasik pengetahuan seperti ini merupakan suatu permulaan terjadinya daya pikir manusia. Kemudian seorang filusuf Yahudi bernama Philo mengambil alih istilah ini. Karena ia berada pada daerah agama Yahudi maka ia menafsirkannya serta mengisinya dengan elemen-elemen agama Yahudi sehingga terdapat makna yang baru. Sebagai seorang yang beragama ia dapat mempertanggungjawabkan makna tersebut terhadap imannya. Logos bukan hanya sesuatu yang berada pada akal budi manusia melainkan lebih dari itu, asalnya adalah didalam Tuhan sendiri. Logos bukan saja sebuah kekuatan awal yang sudah muncul sebelum penciptaan tetapi ia juga adalah prinsip ilahi yang dengannya dunia diciptakan dan setelah penciptaan ia juga sebagai penghubung yang mempertahankan hubungan antara Allah dan dunia (manusia). Sehingga ia (logos) pada prinsipnya berhubungan dengan Allah. Ia baru akan menjadi media pengetahuan manusia sejauh mana kalau manusia memahami dirinya sebagai ciptaan dan mengorientasikan proses pengetahuan kepada Allah. Dengan demikian Philo tidak menciptakan bahasa baru melainkan ia merubah bahasa (falsafi) yang telah ada sebelumnya melalui keyakinan keagamaannya. Agama dan budaya berada bersama-sama seperti sebuah simbiosa. Dengan demikian baik agama maupun budaya tidak lagi sama seperti sebelum mereka bertemu.
      Sekali lagi kata logos telah mengandung makna baru ketika diambil alih oleh agama Kristen. Dimulai dengan penginjil Yohanes, logos dihubungkan dengan pribadi manusia Yesus dari Nazaret. Pernyataan tentang inkarnasi Firman (Yoh. 1:14) sebenarnya merupakan penghinaan terhadap pemahaman awal tentang kata logos. Karena bagi Philo sendiri kata logos itu –yang telah ada sebelum penciptaan dan olehnya itu ia berhadap-hadapan dengan dunia, mengarah pada pengetahuan tentang nilai-nilai yang tetap dan transenden dan untuk nilai-nilai tersebut maka manifestasi-manifestasi yang duniawi dan tidak kekal hanyalah berupa bejana-bejana. Tentu saja bahwa bejana-bejana tersebut tidak identik dengan isinya. Oleh sebab itu logos berhubungan dengan yang kekal dan bukan dengan yang fana. Jadi melalui ajaran iman Kristen tentang inkarnasi maka logos tidak saja harus mengambil bentuk yang tidak kekal itu secara serius melainkan ia juga sendiri menjadi tidak kekal. Ia tidak saja mengenakan materi sebagai bungkusan luar dan yang tidak real. Tidak: Logos yang adalah pengetahuan Allah telah menjadi manusia sehingga bungkusan (bejana) dan isi telah menjadi satu dan tak terpisahkan. Selain dari itu, secara khas kristiani maka kehendak penyelamatan Allah dihubungkan dengan yang materi dan yang fana. Keselamatan juga dijanjikan bagi tubuh manusia yang diciptakan dengan demikian maka persekutuan yang kekal dengan Allah merupakan suatu persekutuan tubuh dan roh dan bukan saja persekutuan rohani. Kita mengetahui bagaimana sulitnya bagi orang-orang Kristen itu sendiri untuk menerima ajaran yang demikian, bagaimana Injil Yohanes bahkan juga terperangkap oleh bahaya untuk melupakan akan pengetahuannya sendiri tentang fasal 1:14 dan akhirnya didalam Yesus ia menemukan theios anêr, sang pembuat mukjizat yang ilahi. Meskipun demikian pemahaman tentang logos telah mengalami dimensi baru yang pada masa berikutnya tidak dapat lagi dikembalikan seperti semula.
      Dengan demikian kekristenan juga tidak menciptakan bahasa baru melainkan ia mengambil alih pula gagasan tentang logos yang telah dikenal di tengah-tengah suatu kebudayaan dimana kekristenan hadir. Tetapi ide ini pada dasarnya telah mengalami perubahan. Dengan demikian juga maka kebudayaan Yunani-Romawi klasik pada dasarnya telah mengalami perubahan dengan cara ketika ia menjadi mediator sebuah pandangan dunia yang baru. Di dalam sebuah arena pergulatan antara agama Kristen dan budaya Yunani-Romawi klasik kelihatannya secara lahiriah bahwa kekristenan keluar sebagai pemenang yakni ketika agama Kristen oleh Konstantin dijadikan sebagai agama resmi negara. Namun hal ini juga jelas terlihat bahwa pemahaman akan logos pada masa itu tidak lagi sama seperti pada permulaan sejarahnya melainkan dalam hal yang menentukan, pemikiran Yunani-Romawi klasik telah mencapai kemenangan yang cukup besar. Makna logos sebagai materi dan jasmani telah berhasil direduksi sehingga lama kelamaan logos hanya mengarah pada sifat ilahi (di dalam Kristus) semata-mata sebagaimana yang dipahami oleh filsafat diluar kekristenan. Jika dalam pengakuan iman gereja-gereja purba toh masih berbicara tentang "kebangkitan daging" maka kedengarannya seperti isyarat peringatan terakhir: Hai orang-orang Kristen, jangan melupakan dasar iman kalian sendiri yakni Firman Allah yang kekal tidak saja kelihatan melainkan Ia juga telah menjadi manusia sejati dan seutuhnya, Ia telah menjadi daging sehingga hanya dengan begitu maka Ia dapat menjadi penebus. Namun didalam terjemahan-terjemahan yang baru dalam bahasa Jerman orang suka menghindari persoalan ini dengan mengatakan "kebangkitan tubuh" itupun tubuh diartikan sebagai tubuh "rohani" yang sebenarnya tidak dapat didefenisikan. Kemenangan pemikiran filsafat klasik terhadap agama Kristen dalam hal makna logos tersebut sebagai yang fana dan jasmani inilah yang telah mendapat pengaruh yang sangat negatif bagi iman secara antropologi dan hal ini menjangkau pula ranah sosial etik.
      Dengan contoh yang demikian seharusnya menjadi jelas bahwa perjumpaan antara agama dan budaya tidak dapat dihindari dan terelakkan. Agama tidak menciptakan bahasanya sendiri melainkan ia mengambil alih bahasa yang telah ada demikian halnya simbol-simbol yang ia pakai praktis juga berasal dari budaya yang telah ada seperti gambar-gambar ikon atau arsitektur: Basilika atau ruangan raja dengan gambar Kristus sebagai raja simbolis dipakai sebagai bentuk untuk bangunan gereja.
      Namun harus diperhatikan pula bahwa makna yang diberikan oleh elemen-elemen kebudayaan yang telah ada kepada agama tidak lagi sama seperti pada awalnya. Dan masih ada hal yang lain. Pada ranah etika, agama juga mempengaruhi dan merubah budaya yang telah ada meskipun terkadang sangat lamban dan tidak selalu langsung menuju tujuannya. Seperti yang terjadi pada agama Kristen di Barat yang memerlukan kira-kira 1800 tahun lamanya sampai perbudakan dihapuskan. Sebagaimana kita ketahui bahwa Rasul Paulus sendiri tidak menulis secara langsung tentang pelarangan perbudakan. Namun kepada temannya Filemon ia menulis bahwa dia seharusnya menerima Onesimus, budaknya sementara sebagai saudaranya di dalam Kristus. Jika tuan dan budak adalah saudara seiman maka ini berarti bahwa palang pembatas yang dibuat oleh budaya lama perlahan-lahan menghilang dan hubungan keduanya diangkat pada satu tataran yang baru. Dengan demikian semangat yang baru membaharui bentuk-bentuk lama dan sejauh itulah agama memberikan kontribusinya untuk pembentukan sebuah budaya baru.
      Sejauh ini saya membatasi diri pada pernyataan-pernyataan mengenai perjumpaan agama Kristen dengan kebudayaan yang ada pada saat kekristenan mula-mula terbentuk. Pastilah menjadi jelas bagi saudara-saudari bahwa ketegangan yang sama dan pergulatan yang sama selalu terjadi ketika berita Injil berjumpa dengan budaya baru. Persoalan-persoalan yang muncul telah kita kenal. Persoalan utama adalah bahwa tidak ada Injil yang hanya merupakan ekstrak rohani. Telah menjadi bagian dari Injil bahwa ia selalu hadir dalam keterkaitannya dengan suatu budaya dalam suatu percampuran. Demikianlah Injil sehubungan dengan gerakan misi dewasa ini secara khusus dalam hubungan dengan budaya barat memasuki ranah budaya baru dan saudara-saudari juga mengetahui di Korea, ketegangan-ketegangan apa saja yang telah dibuahkan oleh kenyataan ini. Secara khusus berkaitan dengan pertanyaan yang cukup pedih untuk memisahkan antara apa yang termasuk hakekat Injil dan apa yang menjadi bungkusan budaya barat. Dan juga Injil tidak diterima sebagai hasil penyulingan murni melainkan ia terdesak juga untuk berinkarnasi di dalam suatu tempat yang baru dan menerima suatu bentuk simbiosa dengan budaya baru. Dengan demikian terjadi suatu bentuk pergulatan baru di bawah kondisi-kondisi yang juga baru sama sekali jika dibandingkan dengan apa yang dikenal sebelumnya. Saya teringat bagaimana seorang teolog China yang terkenal T. C. Chao (Chao Tzu-ch‘en) secara khusus pada masa mudanya berupaya untuk menghubungkan pemahaman tentang manusia dalam agama Kristen dan dalam kebudayaan China sebagaimana misalnya yang dikembangkan dalam ajaran Konfucu dan melalui sebuah skema persiapan-pemenuhan. Disini juga akan nampak jelas bahwa pemahaman tentang ren (manusia) pada hal-hal tertentu harus mengalami perubahan yang menyakitkan yakni pada pokok pemahaman tentang dosa secara Kristen. Manusia tidak hanya melalui kebijakan dan etika saja dapat memenuhi takdir ilahi melainkan diperlukan karya penyelamatan dari seorang manusia historis tertentu. Hal ini menjadi persoalan dan menyulitkan upaya-upaya untuk menentukan tradisi kenabian agar baik Konfucu maupun Kristus mendapat tempat. Mengapa kesempurnaan manusia tidak dapat ada tanpa salib? Pertanyaan ini telah menjadi pergumulan Chao Tzu-ch’en sampai akhir hidupnya dan ia menjadi bimbang sebagaimana yang diutarakan oleh Winfried Gluer dalam sebuah bukunya tentang teolog yang penting ini. Winfried Gluer masih sempat mengunjunginya pada tahun 1976 pada usia yang lanjut dan sebelum kematiannya[2]. Pemahaman Konfucu pada beberapa hal sangat mirip dengan pencerahan Eropa dalam hal mengkonstruksi bangunan pemikiran tentang manusia, paling tidak bertitik tolak dari sini maka tidak ada pembicaraan mengenai surga (Tuhan) yang tidak disangkutpautkan dengan manusia. Hal ini telah nampak dalam tulisan China dimana huruf untuk surga t’ien berasal dari huruf ren, manusia. Itu berarti surga adalah keberadaan manusia dalam potensinya yang tertinggi. Konfucu - secara khusus pada perkembangannya yang kemudian (Neo-Konfucu) - melihat kemanusiaan sejati yang mewujudkan aturan-aturan surgawi bukan pada pembentukan suatu kepribadian yang individualistik melainkan pada pemahaman yang benar akan sebuah sistim hubungan sosial yang teratur dan baik dimana manusia sejati (chün tzu) benar-benar berkuasa. Disini Konfucu mirip dengan pencerahan, paling tidak pencerahan mula-mula, dengan penekanannya pada moral. Tanda (huruf) untuk ren dalam tradisi ini tidak berdiri sendiri melainkan dikombinasikan dengan tanda "dua" sebagai simbol dari hubungan yang timbal balik. Keyakinan para penganut (Neo-)Konfucu adalah setiap manusia melalui pendidikan dan pembinaan yang memadai dapat dihantar kepada perwujudan perikemanusiaan relasional itu; dan tugas dari negara adalah untuk menjaga agar hanya "manusia" yang telah diuji dengan kebijakan yang demikianlah yang boleh memimpin urusan-urusan kenegaraan karena didalam diri mereka inilah aturan-aturan surgawi hadir secara imanen. Dengan skema inilah Chao melihat pada masa mudanya sosok Yesus Kristus yakni sebagai chün-tzu, sebagai manusia sempurna yang telah mewujudnyatakan dalam dirinya perikemanusiaan dengan cara yang sempurna dan yang mengundang para murid untuk merayakan Dia dalam pemuridan.
      Sebagaimana telah dikatakan bahwa dengan optimisme antropologi seperti ini Chao Tzu-ch'en telah memperoleh persoalan – persoalan, yang tidak menjadi ringan akibat keterbukaan awal yang penuh harapan setelah pengikut ajaran Mao mengambil alih kekuasaan di China dan memulai merealisasikan gambar manusia yang berkemampuan tinggi menurut cara mereka yakni dengan memberi makna ideologi baru dan sebuah metode yang menggantikan pendidikan dengan indokrinasi. Dengan demikian surga (t’ein) direduksi menjadi simbol dasarnya yaitu manusia. Atau dengan kata lain: Manusia dalam perikemanusiaannya juga meliputi hal-hal surgawi oleh sebab itu agama menjadi mubazir. Lagi pula Sosialisme Dschutsche[3] yang dipropaganda oleh Kim Il-Sung di Korea Utara juga berakar pada tradisi ini yang dengan cara yang sama telah diputarbalikan. Baik Mao maupun Kim dalam perkembangan sistim mereka yang revolusioner itu tidak berangkat dari apa yang dipahami oleh rakyat biasa atau masa tentang dirinya melainkan keduanya telah mengambil alih struktur-struktur masyarakat dari kalangan atas dan telah memaksakannya kepada rakyat sehingga yang terjadi disini juga bukanlah sebuah kekuasaan kaum proletariat melainkan kekuasaan yang proletar terhadap rakyat. Pengawasan terhadap pelaksanaan kekuasaan negara dalam sistim ini juga adalah ideologi yaitu mereka yang paling menguasai "ajaran" (ideologi) secara sempurna dan sebagai satu-satunya yang dapat menjamin bahwa masyarakat diatur benar-benar sesuai dengan "ajaran". Nanti setelah para teolog Minjung di Korea Selatan melihat dan memobilisasi "rakyat" yaitu min jung, dan bukan konstruksi ren min, sebagaimana yang dipakai dalam "Republik Rakyat", maka kritik yang sungguh-sungguh terhadap ajaran Konfucu dilakukan.
      Gambar manusia yang berasal dari ajaran Neo-Konfucu yang mempunyai pengaruh yang optimis pada ideologi masa kini dengan kekuatan-kekuatan yang dapat menciptakan budaya dan peradaban adalah tantangan terhadap pemikiran keagamaan secara khusus pemikiran Kristen untuk lingkungan budaya setempat. Contoh yang jelas adalah T.C. Chao. Motivasi disini mestinya bukanlah menunjuk kepada kekeliruan dari pihak lain yang dilengkapi dengan perasaan bahwa mememang kita yang lebih tahu tentang kebenaran. Sebagaimana di Barat bahwa teologi harus menentang klaim pencerahan tentang otonomi manusia yang telah merasa diri cukup sempurna - suatu pemahaman yang secara teologis dari awalnya sudah pantas dicurigai - demikian halnya juga di Timur, teologi (Kristen) harus menjaga kebebasannya untuk memformulasikan sendiri gambar manusia mereka dan pemahaman-pemahaman yang lahir dari gambar manusia ini tentang peraturan masyarakat yang bertanggungjawab dan dapat dipertanggungjawabkan, serta memformulasikan nilai-nilai dan bentuk-bentuk kebudayaan yang diterima dan dihidupi dalam peraturan masyarakat ini. Di Barat maupun di Timur teologi selalu berada dalam bahaya untuk mengorbankan elemen-elemen yang penting dari sistim nilai mereka yang berasal dari Injil karena keinginan untuk mengharmonisasikan dengan lingkungan sekitar atau untuk menjadikan pemahaman-pemahaman antropologi yang ditawarkan dari konteks menjadi miliknya. Baik pencerahan yang masih menonjol di Barat maupun ajaran (Neo-)Konfucu yang hari ini berkuasa di Timur berangkat dari sebuah gambar manusia yang optimis dimana didalamnya paling tidak terdapat potensi untuk mencapai kesempurnaan. Teologi Kristen harus menghadapkan keoptimisan ini sebagai tanda tanya yang besar tentang kemampuan relational manusia bukan untuk merendahkan manusia dengan cara yang tidak pantas atau menjelekkan melainkan untuk membesarkan hati mereka (manusia) dalam melihat kejujuran terhadap diri mereka sendiri.
      Injil merupakan tantangan pula bagi budaya Korea, budaya China dan juga - yang tidak dibicarakan lagi secara lebih lanjut disini - yaitu budaya Jepang. Sebagaimana di dalam budaya mereka demikian halnya di dalam agama Kristen, ide bahwa yang sorgawi hadir di dalam manusia sudah tidak asing lagi. Namun yang menjadi struktur dasar bagi surga bukanlah kemanusiaan (das Humanum, ren) melainkan sebaliknya: Manusia menerima imago Dei, suatu kemampuan untuk mewakili Allah secara nyata dalam ciptaanNya. Injil melihat bahwa antara kemungkinan dan eksistensi yang nyata ada fakta dosa, yaitu fakta perpecahan antara yang surgawi dan yang manusiawi yang diakibatkan oleh manusia ketika ia memutarbalikkan keadaan dan ingin menempatkan dirinya sendiri pada posisi surgawi. Dalam hal ini inti Injil juga merupakan tantangan bagi budaya China sebagaimana juga ketika ia berada dalam kebudayaan Yunani kuno dan kebudayaan Barat. Tetapi bagaimana mengatasi masalah ini dalam konteks budaya dan bahasa China, hanyalah para teolog yang berasal dari budaya ini juga yang dapat menjawabnya.
      Perjumpaan kekristenan dengan budaya-budaya lain: telah menjadi jelas bahwa kekristenan – atau lebih jauh lagi intinya yaitu Injil - selalu berada dalam perjumpaan dan perdebatan dengan budaya. Sebagaimana telah dikatakan: hal ini juga berlaku bagi ajaran tentang inkarnasi, menjadi daging sang logos. Namun juga jelas bahwa perjumpaan ini bukanlah sekedar perjumpaaan yang damai dan statis melainkan suatu pergulatan, suatu perdebatan. Dalam hal ini tidak terdapat budaya Kristen yang homogen. Paling-paling ada budaya dimana elemen-elemen Kristen secara khusus menempa kebudayaan tersebut. Oleh sebab itu wajarlah untuk menyebutnya sebagai keanekaragaman budaya-budaya seperti itu karena bahkan di Eropa sendiri atau Amerika tidak terdapat budaya yang seragam apalagi satu budaya Kristen yang seragam. Karena disana juga Injil berada pada pergulatan dengan budaya asli sebelum Kristen dan tidak jelas siapakah yang lebih kuat. Dengan kata lain pergulatan ini tidak berakhir.
      Ada keinginan yang kuat dari manusia untuk suatu otonomi dan penghargaan diri sebagaimana yang dinyatakan dalam kesadaran berbudaya manusia dan ketika manusia cukup sering membela diri melawan hak-hak prioritas keagamaan. Keinginan yang kuat ini dalam budaya barat tidaklah kurang kuat jika dibandingkan dengan yang terdapat dalam budaya lainnya. Namun justru disini Injil melontarkan pertanyaan kepada manusia: Manusia, siapakah engkau? Dan pertanyaan ini bukanlah pertanyaan yang abstrak dan filosofis melainkan pertanyaan yang konkrit. Dan untuk menekankan keseriusan pertanyaan ini maka Injil menaruh cermin di depan manusia agar supaya di dalamnya manusia mengenal Yang Tersalib, dan di dalamNya ia mengenal kebenaran tentang hakekat manusia yang tanpa bantuan dari Allah akan menciptakan bukan pembangunan, melainkan penghancuran; bukan budaya yang manusiawi dalam segala aspek, melainkan kekacauan sosial dan ekologis.
      Yang Tersalib adalah Dia yang menantang manusia, dalam kebudayaan mana saja manusia itu hidup. Tetapi justru Yang Tersalib inilah yang tidak ingin dilihat oleh manusia entah dalam budaya apa saja ia berada. Oleh sebab itu dalam sejarah agama Kristen selalu saja ada upaya-upaya untuk mengeliminasi Yang Tersalib ini dan menggantikannya dengan perwujudan lainnya: penguasa dunia yang bergelimang cahaya, yang telah mengatasi kematian dan yang telah membuka pintu kesempurnaan yang kekal. Dalam tradisi gereja Byzan kita mengenal Kristus sebagai pantokrator, penguasa dunia yang juga mengalahkan penguasa-penguasa dunia ini. Dengan gambaran ini orang-orang Kristen merasa nyaman dengan sebuah harapan yang terpendam bahwa mereka dengan cara yang demikian mungkin dapat terhindar dari perjuangan kehidupan dan aib kematian. Dengan demikian mereka juga sekarang ini dapat memperoleh bagian dari kemuliaanNya. Dalam sejarahnya, gereja selalu saja mengarah kepada pemahaman seperti ini yang pada akhirnya menjadi sebuah theologia gloriae dan theologia triumphans (teologi kemuliaan dan teologi kemenangan). Hal ini mengarah kepada pemahaman untuk mengecilkan bahaya dari skandal dosa manusia dengan dorongan kematian dan juga bertindak seakan-akan ada keselamatan dari dosa meskipun tanpa kematian.
      Upaya untuk mengecilkan bahaya dosa ini telah mengalami akibat-akibat yang buruk dalam sejarah kekristenan. Secara khusus upaya seperti ini telah mengakibatkan sifat kekristenan yang intoleran dan agresif, yang menganggap non-Kristen sebagai yang menjijikkan. Orang-orang Kristen membuat kesan seolah-olah mereka saja yang memiliki hak atas hidup yang kekal dan yang lebih parah lagi mereka merasa hal tersebut karena hasil dari perbuatan mereka sendiri. Dengan demikian mereka bukan saja intoleran tetapi juga sombong. Kehadiran orang-orang Eropa yang beragama Kristen di tengah-tengah dunia non-Kristen secara khusus pada masa kolonial telah menyebarkan kesan seperti ini ke seluruh dunia dan kini menjadi warisan bagi semua orang Kristen juga bagi mereka yang tidak menerima sikap dan pemahaman seperti ini. Sampai saat ini belum ada jawaban yang meyakinkan atas pertanyaan bagaimana persoalan semacam ini dapat dicocokkan dengan kerendahan hati dan kesediaan melayani yang dimiliki Yesus yang kita jumpai dalam Kitab-Kitab Injil.
      Bagi saya adalah sesuatu yang telah dan selalu menjadi sangat berarti kalau agama Islam sejak awal telah meminta pertanggungjawaban umat Kristiani khususnya untuk masalah ini. Adalah suatu kemarahan tersendiri bagi agama Islam ketika orang-orang Kristen menyebut Yesus sebagai "Anak Allah". Tentu saja sebutan seperti ini pada masa Muhammad mengingatkan pada pemahaman politeis orang-orang Arab bahwa illah-illah hidup juga di keluarga dan seperti manusia mereka juga mempunyai anak-anak. Namun bagi saya dibalik kritik agama Islam ada banyak hal lainnya yang tersembunyi. Pertama-tama selalu dikatakan bahwa atribut keilahian adalah hak Allah semata-mata dan bukan hak manusia manapun. Hal ini juga dihubungkan dengan Yesus bahwa orang Kristen menyangkal keesaan dan superioritas Allah, ya, mereka menyamakan sesuatu yang bukan Allah dengan Allah. Demikianlah yang dirasakan oleh umat Islam dan menurut kepercayaan mereka ia adalah dosa yang paling besar yang dapat dilakukan oleh manusia. Tentu saja al-Qur’an mengakui Yesus sebagai salah seorang Nabi yang besar dan melindunginya: bukan Yesus yang berdosa melainkan pengikut-pengikutnya yang menyebutnya demikian. Tetapi gelar "Anak Allah" memberi kesan yang mengejutkan bagi kaum Muslim seperti pada kisah kejatuhan manusia pertama ke dalam dosa bagi umat Kristen: Karena kejahatan dasar Adam dan Hawa bukan terletak pada ketidaktaatan mereka terhadap perintah Allah melainkan pada keyakinan mereka bahwa melalui pencapaian pengetahuan yang baik dan jahat mereka dapat menjadi sama seperti Allah dan dengan demikian mereka pada akhirnya dapat menyingkirkan Allah dari takhtaNya.
      Kaum Muslim melihat keangkuhan manusia dalam klaim orang Kristen bahwa Yesus adalah "Anak Allah". Dan yang lebih buruk lagi adalah: Umat Kristen membatasi gelar ini tidak saja pada Yesus sendiri melainkan mereka menganggap diri mereka sendiri selaku pengikutnya juga sebagai yang ikut mengambil bagian dalam kemahakuasaan ilahi. Oleh sebab itu, demikian keyakinan kaum Muslim, umat Kristen mengulangi apa yang mereka kritik dengan tajam terhadap pasangan manusia mula-mula sebagai pendosa asal yakni upaya untuk menjadikan diri mereka sama dengan Allah. Dan bukan tidak beralasan kalau kaum Muslim menanyakan: apakah umat Kristen percaya, melalui hal tersebut mereka sendiri dapat terlepas dari murka Allah?
      Saya percaya bahwa melalui perjumpaan dengan Islam maka umat Kristen pada titik yang paling menentukan dipanggil untuk bertanggungjawab: tidakkah mereka sekali lagi telah memutarbalikkan Injil dan dengan satu cara memberi penilaian kepada hal-hal yang bukan hak mereka. Karena sewajarnyalah umat Kristen mengetahui bahwa Allah mencintai mereka bukan karena mereka lebih baik dari pada yang lain. Demikian halnya dengan keselamatan yang mereka peroleh bukan karena keadilan mereka melainkan karena mereka tidak dapat bertahan di hadapan Allah yang melihat bukan saja tingkah laku lahiriah melainkan juga mengetahui isi hati mereka. Namun umat Kristen sering berbuat seolah-olah mereka lebih baik dari yang lain. Jika kita sebagai orang Kristen tidak mempersoalkan persoalan ini secara mendasar maka Allah mungkin membutuhkan yang lain, non-Kristen untuk membawa kita pada kesadaran.
      Saya sering berpikir bahwa mungkin saja agama Islam mengajukan pertanyaan yang demikian kepada kita. Selalu saja kita ditanya oleh kaum Muslim apakah kita tidak dapat mengakui Muhammad sebagai nabi. Selalu saja gereja dan teologi menolak akan hal ini. Alasannya selalu sama: Muhammad menolak karya penyelamatan Kristus oleh sebab itu dia tidak dapat diakui sebagai nabi Allah. Sekarang biarlah hal ini tidak berubah: Memang benar Muhammad menolak Yesus Kristus sebagai Juruselamat. Namun kita harus terus bertanya: Apakah dalam prakteknya orang-orang Kristen juga tidak melakukan hal yang sama dan terus menerus yaitu ketika mereka kurang menghargai kemanusiaan Yesus dan lebih melihat sang pembuat mujizat pada dirinya yang pada akhirnya bahkan kematian dikalahkan dan yang masuk ke dalam kerajaan surga kemana ia akan menarik para pengikutnya? Saya hendak katakan: Jika orang Kristen tidak memahami secara serius Yesus sebagai manusia maka mereka juga tidak dapat memahami Yesus sebagai Anak Allah. Mungkin ini berita kenabian yang dinyatakan Muhammad dan agama Islam kepada orang-orang Kristen: Pahami secara serius Yesus manusia.
      Ketika agama Islam menolak Yesus sebagai “Anak Allah” mereka pada prinsipnya memberinya gelar mulia lainnya yakni 'abd yang dalam bahasa Ibraninya 'ebed. Gelar ini, “abdi” atau “hamba” (Allah) adalah gelar yang tertinggi dalam Islam yang dapat dimiliki oleh manusia. Karena dengannya menunjukkan kesetiaan yang total kepada sang Tuan. Kita kenal gelar ini juga dalam kitab Nabi Yesaya dimana 'ebed YHVH bukan saja memikul bebannya melainkan juga beban seluruh bangsa (Yes 53). Ia memikul kerendahan yang paling dalam dan peninggian melalui manusia, kesakitan yang amat sangat pada dirinya sendiri untuk membuat Allah berbelaskasihan kepada bangsanya. Pernyataan-pernyataan ini juga tidak asing dalam Perjanjian Baru. Juga disana Yesus dinyatakan dan diceritakan sebagai “Hamba” Allah. Mulai dari kelahirannya ia hadir diantara masyarakat kelas bawah: Lahir di kandang diantara ternaknya tuan rumah. Dan yang pertama yang mendengar Kabar Baik Injil adalah para gembala yakni mereka yang adalah kelas masyarakat yang paling jarang dihargai. Sepertinya hal ini merupakan sesuatu yang istimewa dari berita Alkitab: Daud juga adalah seorang gembala domba oleh sebab itu pada saat Allah memanggilnya, ia disingkirkan dari masyarakat. Demikian halnya dengan nabi-nabi lainnya. Kehidupan Yesus juga adalah suatu kehidupan pelayanan dan kerendahan dan bukanlah hal yang kebetulan kalau orang-orang dekat Yesus atau mereka yang berjumpa dengannya adalah mereka yang tergolong dalam kategori masyarakat kelas bawah: nelayan, pegawai cukai yang korupsi, perempuan-perempuan nakal: Manusia yang dihina pada masa lalu dan sekarang.
      Orang-orang Kristen selalu merasa sulit untuk menerima secara serius Yesus yang seperti ini. Paling tidak selalu saja diupayakan melalui taktik-taktik secara eksegese dan hermeneutik untuk menginterpretasi elemen-elemen yang tidak sopan seperti ini yang terdapat dalam kehidupan Yesus bahwa elemen-elemen tersebut telah kehilangan ketidakwajarannya. Yesus ingin menyatakan solidaritasNya dengan mereka yang terhina dengan cara hidup ditengah-tengah mereka. Namun dalam ajaran Kristen, Yesus menjadi seorang pengkhotbah moralisme diantara orang yang terjatuh. Ini merupakan sebuah pemutarbalikan yang paling besar terhadap kebenaran biblika namun gereja dan teologi telah berhasil dan dengan demikian maka kehormatan Yesus terpelihara sebagai pahlawan kesalehan dan teladan moral sebagaimana yang berlaku di dalam masyarakat. Karena, menurut mereka, pada akhirnya Anak Allah tidaklah dapat memiliki persekutuan dengan mereka yang bahkan diantara manusia saja tidak layak.
      Namun kesaksian biblika berkata lain dan Islam menunjuk pula kepada hal ini ketika ia menyebut Yesus sebagai 'abd. Yesus adalah manusia seutuhnya dan menjadi bagian dari kemanusiaan, juga termasuk kedalamannya yang paling dalam dan kesusahannya. Salah satu teks kunci tentang kristologi yang terdapat dalam Perjanjian Baru adalah hymne Kristus dalam Filipi 2: 5 – 11. Disini dihindari segala pencobaan-pencobaan yang dilakukan oleh orang-orang Kristen seperti para doketis yang menemukan asal keilahian Yesus juga pada diri Yesus sejarah. Secara jelas berarti: Yesus menanggalkan keilahianNya. Dia telah menjadi manusia seutuhnya dan mengambil rupa seorang hamba. Dia sama seperti manusia lainnya. Ajaran Islam yang mengakui Yesus sebagai manusia dan hamba didukung pula dalam Perjanjian Baru.
      Dari konteks ini jelaslah bahwa Paulus mengemukakan teks ini sebagai paranese, sebagai tantangan bagi umat Kristen untuk menyamakan Kristus dengan hal ini. Mereka seharusnya juga menunjukkan dalam hidup mereka suatu kehidupan sebagai manusia seperti Kristus, sebagai hamba Allah dan pelayan manusia. Inilah apa yang mereka dapat dan harus lakukan. Kalau mereka menghindari diri dari sikap rendah hati sebagaimana yang dilakukan oleh Jesus maka mereka bukanlah murid-murid Yesus. Ini merupakan tantangan yang berat terhadap rasa percaya diri umat Kristen. Sepertinya mereka tidak mampu mengatasinya sendiri sehingga Allah memakai umat Muslim untuk mengingatkan orang-orang Kristen. Hal ini merupakan sesuatu yang istimewa bagiku. Karena di abad-abad yang lalu pada umumnya kaum Muslimlah yang selalu merasakan roh kekuasaan yang tiranis dari penguasa-penguasa Kristen di Eropa secara brutal dan keji. Apakah suatu hal yang aneh kalau umat Islam menolak tanda salib sebagai simbol Kristen? Kita mengatakan bahwa salib adalah simbol dari penyerahan diri Yesus untuk manusia oleh sebab itu salib adalah simbol kerendahan yang paling dalam. Bisa saja benar. Namun dalam kenyataannya umat Islam telah mengenal salib sebagai simbol pada bendera perang salib dan ini berarti penderitaan dan kematian bagi mereka yang tidak dapat dihitung dan bagi mereka yang masih hidup berarti penindasan dan perbudakan. Demikianlah yang ditunjukkan Islam kepada kita, bukanlah simbol-simbol saleh atau dogma-dogma yang bijak melainkan pada pengikut Yesus.
      Nanti jika kita menerima apa yang dikatakan oleh Islam barulah kita berhak untuk membaca hymne dalam Filipi 2 sampai akhir. Namun kita lihat bahwa pada akhirnya bukan Yesus melainkan Allahlah yang menjadi subyek: Allah sendiri yang telah mengembalikan gelar keilahian kepada Yesus setelah Yesus mengakhiri jalanNya sebagai hamba dan manusia yakni dalam bentuk kebangkitan. Bukan kita yang menjadikan Yesus Anak Allah melainkan Allah sendirilah yang memperkenalkan Yesus sebagai AnakNya.
      Kita hanya dapat mengikuti pengakuan ini dan memuja Yesus sebagai Anak Allah jika kita menanggapi secara serius kemanusiaan Yesus Kristus yang seutuhnya dan mengakui pula secara utuh kemanusiaan dan kerendahan kita sendiri dan meyerahkan semua urusan lain kepada Allah. Namun menanggapi secara serius kemanusiaan kita sendiri juga mencakup kemanusiaan sesama manusia dan demikian solidaritas dan perjuangan untuk martabat kemanusiaannya, di mana saja martabat ini dipertanyakan atau diancam. Di mana solidaritas ini tidak hidup, disitu pula
Manusia tersebut, Yang diakui oleh Allah sebagai Bapa di surga, juga tidak hadir.
      Dengan demikian perjumpaan dan dialog dengan Islam mengantar umat Kristen juga untuk menghidupkan kembali ingatan akan keyakinan-keyakinan dan pengetahuan-pengetahuan yang mendasar, yaitu keyakinan-keyakinan yang dalam perjalanan sejarah telah dilupakan. Dengan contoh yang demikian maka dialog dengan umat salah satu agama yang lain merupakan dialog yang menggerakkan dan membangunkan hati nurani keagamaan dan dialog yang dapat menghantar pada penemuan kembali elemen-elemen dasar dari ajaran Kristen yang lama dan tertutupi. Jika elemen-elemen dasar ini membaharui pemahaman diri akan hal-hal keagamaan orang Kristen dan menjadi pusat yang dinamis dari kehidupan mereka, maka orang Kristen kemudian harus memasuki kembali pergumulan yang baru dengan budaya mereka, seandainya dalam pemahaman budaya mereka tujuan manusia yang hanya ditentukan sebagai mesin produksi dan konsumsi atau di mana manusia dihina dengan cara yang lain.
      Dengan penjelasan diatas maka kita dapat memahami sebuah tuntutan yakni tuntutan yang sering dikemukakan oleh para politikus dan ilmuwan yang berasal dari negara-negara non-eropa kepada negara-negara Barat dan para pemimpin mereka: Pada akhirnya mereka harus berhenti untuk mengajar orang-orang yang bukan orang Eropa tentang respek terhadap Hak-hak Azasi Manusia (HAM) yang dideklarasikan sebagai sesuatu yang universal namun yang sebenarnya diformulasi di Barat. Ada dua alasan yang menurut mereka menguatkan tuntutan diatas: Pertama, negara-negara Barat pada saat mereka menguasai hampir seluruh bagian dunia, mereka tidak menghormati hak-hak azasi manusia bangsa-bangsa yang mereka tindas. Dengan demikian mereka telah memperlihatkan diri sebagai contoh yang negativ. Dan mereka terus saja melakukan hal ini dengan cara mereka selalu saja ragu-ragu memutuskan sesuatu demi untuk kepentingan ekonomi sendiri dan tidak pernah demi untuk menghormati manusia, hak-hak dan martabat mereka; Alasan yang kedua adalah didalam kebudayaan non Eropa terdapat kaidah-kaidah etis sosial dan antropologis yang cukup dimana kaidah-kaidah tersebut memungkinkan manusia di dalam kebudayaan itu untuk mengembangkan pemahaman-pemahaman mandiri tentang harkat dan hak-hak azasi manusia.
      Untuk alasan yang pertama akan dikemukakan disini secara singkat dan ringkas: memang benar. Pada umumnya negara-negara barat merasa tidak perlu untuk menerapkan kriteria-kriteria kemanusiaan mereka sendiri terhadap orang-orang asing jika hal tersebut dapat menyentuh kepentingan-kepentingan mereka secara negatif.
      Tentu saja ada peristiwa-peristiwa dimana argumen pro dan kontra harus diperhatikan, namun secara umum negara-negara barat tidak mempunyai alasan untuk menolak argumen ini.
      Yang lebih penting adalah alasan kedua. Di Barat, masa pencerahanlah yang mengangkat kepermukaan pertanyaan tentang hak-hak azasi manusia sebagai agenda penting. Persoalan inti pada waktu itu adalah hubungan individu terhadap masyarakat. Para pemrakarsa pencerahan telah mengukuhkan keseluruhan unsur dari hak-hak azasi manusia dalam hukum alam karena di dalam warisan kebudayaan yang ditemukan, hak-hak azasi manusia – jika itu sama sekali memperoleh perhatian - selalu saja dibatasi dengan rambu-rambu untuk kepentingan umum meskipun kepentingan tersebut sebenarnya identik dengan kepentingan sang penguasa. Dan karena setiap elemen yang dapat mengarah kepada kritik terhadap sang penguasa harus dibasmi. Juga karena agama telah menyesuaikan diri dengan pedoman tersebut yang telah menjadi “kebudayaan” (dimana para pemimpinnya turut pula memperoleh keuntungan) tanpa mempertanyakannya berdasarkan kaidah-kaidah mereka sendiri sendiri. Dengan mengukuhkan hak-hak azasi manusia dalam hukum alam para pemrakarsa pencerahan pada satu sisi telah melindungi hak-hak asasi manusia dari kepentingan-kepentingan yang disebut kultural, pada sisi lain keabsahannya secara universal telah ditetapkan. Hal ini berarti bahwa hak-hak azasi manusia melalui kelahiran setiap individu harus diakui tanpa dibatasi. Tentu saja - dan hal ini sering diabaikan - bahwa pencerahan dengan pembebasan manusia (sebagai individu) bukan berkaitan dengan isolasi manusia melainkan dengan persyaratan untuk mengganti sistim-sistim feodal yang lama melalui sebuah masyarakat dimana didalamnya setiap anggota masyarakat seharusnya berpatisipasi. Hal ini mungkin jika persyaratan-persyaratan terpenuhi yakni kemerdekaan dan pendidikan. Mendapatkannya adalah bagian dari hak-hak azasi.
      Hak-hak azasi manusia secara universal telah diformulasikan di barat namun ia juga menentang nilai-nilai budaya barat yang berlaku – paling tidak secara resmi - pada masa lalu. Dengan demikian menjadi jelas bahwa penekanan pada keuniversalan HAM juga betul-betul melanggar pemahaman yang tradisional di dunia barat; karena pemahaman hukum yang berada dibawah kepentingan-kepentingan kekuasaan, membenarkan pelanggar HAM bangsa-bangsa yang dijajah tepat pada saat tema HAM didiskusikan di Eropa.
      Hal diatas berlaku juga bagi budaya-budaya non-Eropa pada masa kini. Petunjuk bahwa bagi budaya timur hak-hak kolektif berada diatas hak-hak individu, pasti sangat disepakati oleh penguasa feodal Eropa dan kaki tangan kolonial-imperialnya pada waktu itu. Karena sampai saat ini juga dimana manusia perorangan akan dikorbankan demi kepentingan dan tujuan yang lebih besar dan tinggi yakni kepentingan keseluruhan masyarakat maka kepentingan umum akan disamakan dengan kepentingan penguasa-penguasa. Sebuah pertanyaan muncul, kalau begitu siapakah yang telah menetapkan nilai-nilai budaya tradisional. Etika sosial secara konfucu dan antropologinya yang didasari oleh kewajiban hubungan manusia, selalu saja menjadi alat yang cocok bagi sang penguasa untuk mengambil tindakan tegas dan tanpa welas asih bagi perlawan. Hal ini diabsahkan melalui nilai-nilai yang berkembang di dalam budaya tersebut. Seharusnya melalui kritik sosialnya Marx, Mao atau Kim maka keterikatan nilai-nilai budaya tradisional dengan sistim kekuasan feodal telah terbongkar dan terpecahkan. Oleh karena itu lebih mengejutkan kalau penjelasan-penjelasan dari para ideolog Maoisme yang menyatakan dasar mengenai rasa hormat terhadap hak-hak azasi manusia terletak di dalam budaya tradisional China dan mereka justru menunjuk pada etika Konfucu. Bagaimanapun juga, dengan demikian maka yang dibicarakan bukan lagi keuniversalan dari HAM. Dan jika para politisi barat - yang terkesan (dan secara diam-diam senang) dengan serangan terhadap konsep "barat" mengenai HAM - mengakui bahwa HAM seharusnya mempunyai tempat pada masing-masing sistim hukum yang berlaku, maka tidak lama lagi bahwa masing-masing akan mendefinisikan sendiri apa yang mereka ingin mengerti tentang hal tersebut.
      Kecuali kalau agama-agama lain yang terutama berorientasi pada hati nurani, roh-roh setiap pribadi di dalam lingkaran masing-masing lingkungan masyarakat, menentukan sendiri bagaimana mereka bereaksi terhadap manipulasi HAM, maka dengan begitu manipulasi “hak-hak azasi” manusia didahului dengan penghinaan terhadap “martabat” manusia; dan sebagaimana telah dikatakan, ini adalah inti dari setiap agama. Untuk orang Kristen juga tidaklah mudah sampai beberapa dari mereka pada akhirnya menyadari bahwa pemahaman akan keuniversalan HAM sebenarnya juga harus berasal dari antropologi biblika. Dengan demikian sekali lagi terdapat tugas bagi umat Kristen dimana saja dan dalam lingkaran budaya apa saja mereka hidup. Tugas tersebut ialah pertama untuk membuka kedok manipulasi HAM yang berorientasi pada kepentingan-kepentingan budaya tertentu dan upaya-upaya yang memposisikan HAM pada posisi yang rendah sebagai bagian dari tradisi budaya tertentu secara partikuler. Tugas yang kedua adalah menjadikan martabat manusia tanpa kompromi sebagai dasar bagi HAM yakni martabat manusia yang dimiliki setiap pribadi manusia yang diciptakan oleh Allah. Hal tersebut berarti pergumulan dengan nilai-nilai budaya di dalam masyarakat dan konflik dengan mereka yang berkedok sebagai pelindung nilai-nilai tersebut.
      Persoalan yang sama pada akhirnya muncul pula dalam wilayah “Kebangkitan Islam” dimana nilai-nilai hanya sangat terbatas berorientasi pada tradisi Islam dan al-Qur’an, melainkan lebih pada imitasi nilai-nilai masyarakat kelas menengah eropa yang menjadi tren pada permulaan abad ke-19. Di dalam tujuan kultural dan juga di dalam pembahasan tentang persoalan HAM nampak upaya yang baru dari aliansi kelompok kelas menengah dengan ilmuwan-ilmuwan Islam untuk mengambil kekuasaan. Yang dipakai sebagai legitimasi disini juga adalah tradisi-tradisi kultural yang dideklarasi sebagai islamiah namun mempunyai akar yang dapat diragukan, yang membatasi kebebasan individu dan demikian membatasi kesempatan-kesempatan untuk perkembangan individu sebagai anggota yang berpartisipasi dalam masyarakat. Perujukkan pada "tradisi-tradisi budaya masyarakat sendiri" disini juga bertujuan untuk menyamarkan bahwa para penguasa yang melindungi tradisi ini semakin rajin berusaha untuk memuaskan kepentingan-kepentingan mereka sendiri di belakang perisai ini. Dan ini tentu saja terjadi dengan mengorbankan individu-individu yang haknya dicabut untuk membela diri dengan cara yang seolah-olah masuk akal.
      Hal ini menyangkut bukan hanya masalah budaya melainkan juga masalah manipulasi nilai-nilai "budaya", sementara tendensi untuk manipulasi semacam itu dapat membudaya sehingga menjadi sulit untuk melawannya. Yang diharapkan dari orang Kristen adalah memiliki kemampuan untuk membedakan secara kritis. Kerja sama dengan penganut agama lainnya yang juga bergerak dalam upaya-upaya melawan manipulasi semacam itu adalah suatu hal yang berarti karena mereka membuka kemungkinan melalui ujian dan ujian diri sendiri untuk mengembangkan nilai-nilai yang baru yakni nilai-nilai yang didukung oleh suatu persekutuan masyarakat yang lebih besar dari pada kelompok agamanya sendiri saja.
      Agama tidak dapat dan tidak boleh memiliki wilayah yang terisolir, dan hal itu telah menjadi jelas dari dua contoh: 1. kemungkinan-kemungkinan dialog antaragama untuk pendalaman dan koreksi pemahaman iman masing-masing, dan 2. pertarungan antara dogma-dogma agama, tujuan dan nilai-nilai budaya, dimana didalamnya manusia religius hidup. Agama tergantung dari dialog dan perdebatan. Jika agama menarik diri dari hal tersebut dan demi kepuasan diri menyendiri pada sebuah benteng yang aman maka agama akan kehilangan segala dinamikanya dan dengan demikian dia juga kehilangan makna bagi kehidupan manusia. Kondisi beku semacam ini akan nampak pula ketika agama mengidentifikasi dirinya dengan budaya tertentu sedemikian jauh sehingga dia tidak lagi berdaya untuk berjumpa dan berdebat dengan budaya lainnya. Bagi kekristenan hal ini berarti bahwa ia harus terlepas dari kesan bahwa ia hanya dapat hidup dalam bentuk budaya barat. Harus diperjelaskan bahwa dalam budaya lainnya dimana orang-orang Kristen hidup, kekristenan dapat pula mengambil alih fungsi perenungan secara kritis dan perkembangan yang kreatif sebagaimana yang terdapat pada budaya barat. Namun juga orang-orang Kristen non Barat harus pula menguraikan pengalaman bahwa Injil mempertanyakan dan mengubah, mungkin bahkan menolak, tradisi-tradisi antropologis, sosial dan kultural yang telah mendarah daging untuk mereka sendiri. Bukanlah keinginan akan harmoni yang bersedia untuk kompromi menjadi kriteria melainkan bagaimana harmoni tersebut dapat disesuaikan dengan kehendak Allah dalam hal keadilan dan kebenaran. Dimana secara khusus kebenaran yang dipahami bukan secara teoretis melainkan secara relasional membuka lahan yang lapang untuk dialog dengan nilai-nilai dasar dari kebajikan dan budaya yang hidup dari Timur pada satu sisi dan pada sisi yang lain dialog dengan keyakinan-keyakinan Kristen yang ditentukan oleh Injil.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar