Jumat, 09 Maret 2012

DISKRIMINASI RASIAL


            Mungkin jika kita berniat mengulas kembali kisah  etnis tionghoa ketika pra pemerintahan  Presiden Abdul Rahman wahid atau yang kerap di sebut Gusdur, Sikap alergi yang ditunjukan oleh masyarakat diluar etnis tionghoa hingga merambak kepada para pemerintah republik ini mulai dari Aksara, music, praktik Kepercayaan bahkan ciri-ciri fisik etnis ini dijadikan sebuah permasalahan dan sikap antipati yang berdampak terkuncinya ruang gerak dan kekebasan para etnis tionghoa dalam menjalankan aktivitas untuk pemenuhan kebutuhan secara jasmani dan rohani. Etnis tionghoa pada masa itu juga di persempit dalam pemilihan profesi pekerjaan dan bahkan pendidikan di perguruan tinggi, anak-anak yang akan melanjutkan pendidikan di bangku kuliah dengan status univeristas negeri sangat dibatasi dan di larang. Tindakan ketidakadilan yang dirasakan etnis tionghoa juga terjadi ketika mengurus dokumen paspor yang harus melampirkan surat tanda kewarganegaraan
            Tindakan ketidakadilan yang dialami oleh etnis tionghoa pada masa itu dikenal dengan diskiriminasi rasial, dimana dapat diartikan dengan  memperlakukan seseorang secara tidak adil berdasarkan ras mereka. Diskriminasi rasial bisa muncul dari sikap sadar atau tidak sadar, yang menempatkan seseorang lebih rendah berdasarkan ras. Sesuai penuturan Antropolog Groose ras sebagai segolongan manusia yang merupakan kesatuan karena memiliki kesamaan sifat jasmani  dan rohani yang diturunkan,sehingga dapat dibedakan satu sama lainnya.. Perbedaan itu tidak seharunya menjadi pemicu tindakan diskriminatif, tetapi bentuk suatu keberagaman yang memperkaya kehidupan manusia di muka bumi ini.


Pada saat  Gusdur terpilih menjadi presiden Indonesaia sikap alergi terhadap etnis tionghaoa berhasil di hapus oleh gusdur dengan memberikan ijin dan kekebasan kepada etnis ini untuk melakukan aktivitas budayanya dan kebebasan itu di perkuat dengan di keluarkannya UU No. 12/2006 sehingga etnis tionghoa telah resmi menjadi warga Negara Indonesia. Setelah etnis tionghoa resmi menjadi warga Negara Indonesia sudah jarang terjadi diskirimiansi rasial di Indonesia, hal ini juga di perkuat dengan pasca terbitnya UU No. 29/1999 yang meratifikasi Konvensi CERD (Convention on Elemination Racial Discrimination) yaitu hukum internasional yang menangani bentuk-bentuk tindakan diskriminasi rasial.
Ketika diskriminasi rasial sudah jarang terjadi di Indonesia bukan berarti indonesia terbebebas dari sikap diskriminasi dalam bentuk yang lain.Tindakan diskriminatif semakin hari semakin marak terjadi di Indonesia yang semua itu berujung pada bentuk tindak ketidakadilan terhadap HAM pihak-pihak ataupun individu-indivu. Diskirminasi yang terjadi di Indonesia kerap sekali di alami orang-orang yang merupakan bagian dari anggota masyarakat yang memiliki orientasi seksual minoritas (baca : Homoseksual) , diskriminasi berdasarkan identitas gender (baca :Transgender) . Banyak bentuk-bentuk pengintimidasian terhadap orang-orang di atas mulai dari masyrakat, pemuka agama dan bahkan pemerintah.
Diskriminasi terhadap kaum-kaum minoritas ini mempunyai dampak yang begitu terasa bagi setiap diri penyandang orientasi seksual dan identitas gender yang berbeda dari umumnya. Mulai dari kecaman, tidak adanya ruang berekspresi bagi kaum-kaum ini sehingga menyulitkan mereka untuk memberikan sumbangsi yang besar terhadap Negara ini. Banyak dari kaum-kaum minoritas ini yang kompeten untuk membantu Negara untuk maju, tetapi karena sikap diskriminasi yang dilakukan pihak luar yang mengatakan mereka adalah pendosa dan penyimpang menyulutkan niat mereka sehingga mereka tidak percaya diri untuk berkarya.
Berbagai referensi yang membuktikan bahwa kaum-kaum penyandang orientasi seksual di luar heteroseksual ini bukan lah sebuah penyimpangan tetap saja tidak memberikan pemahaman yang benar dan kritis bagi masyarakat dan pemerintah, sehingga bentuk perlakuan ketidakadilan kerap di alami mereka. Bahkan di instansi pemerintah dilakukan pemerikasaan bagi para anggota Pegawai Negeri Sipil yang mempunyai orientasi seksual berbeda hal ini merupakan suatu bentuk sikap anti terhadap kaum minoritas ini, pada hal seandainya ada anggota PNS yang mempunyai orientasi seksual diluar heteroseksual , saya fikir tidak akan mempengaruhi kinerjanya. Karena orientasi seksual adalah hak dasar setiap manusia dan setiap manusia berhak memberikan daya ketertarikanya kepada siapapun baik lawan jenis maupun sesama jenis.
Ketidak adilan serupa yang di alami oleh kaum-kaum minoritas lain yaitu mengenai identitas gender yang berbeda dari umumnya (baca : Transgender), banyak oknum-oknum yang mengatas namakan pemerintah melakukan razia kepada kaum-kaum ini dan mereka di tangkap, memang tidak bisa sepenuhnya disalahkan pihak pemerintah ketika melakukan razia kepada kaum ini., karena mereka terkadang melakukan kegiatan yang tidak sesuai. Tetapi sikap dan perlakuan itu seolah-olah dijadikan oleh beberapa pihak untuk menjustifikasi kaum-kaum trasgender yang lain, yang mempunyai kemampuan intelektual yang baik dan juga yang berkompeten. Mereka tidak mendapat pengakuan dari Negara, bahkan tidak mendapat menikmati HAM yang seharusnya mereka nikmati.
Sikap diskriminasi yang dilakukan masyarakat kepada kaum-kaum minoritas itu adalah berakar dari sebuah kontruksi masyarakat yang sudah melekat dan terdoktrin menjadi sebuah kebenaran mutlak. Masyarakat menganggap hanya heteroseksual saja yang dianggap benar diluar itu adalah menyimpang. Sebuah kontruksi masyarakat tidakklah bisa dijadikan kebenaran mutlak, karena itu hanya sebuah bentuk kesepakatan dan yang menyepakati itu adalah orang-orang yang mempunyai label mayoritas sedangkan bagi mereka yang minoritas tidak berhak memberikan suara . Kontruksi bisa saja di rekontruksi kapan saja, jika itu tidak sesuai dengan fakta dan ketika ada yang merasa di rugikan
Sebuah perspektif ilmu yaitu bidang kajian humaniora yaitu antropologi, terkhusus antropologi social mengembangkan dan menerapakan sebuah perspektif yang berbeda dari kebanyakan bidang ilmu. Persepektif EMIC VIEW yang di gunakan bidang ilmu antropologi sangat tepat digunakan untuk memahami kondisi masyarakat baik dari segi gender, orientasi seksual, etnisitas dll sehingga tidak akan memunculkan sebuah tindakan diskriminatif yang marak terjadi saat ini. Perspektif ini mengharuskan kita memandang masyarakat atau suatu etnis atau bahkan individu dari sudut pandang mereka bukan dari kacamata kita, sehingga nantinya kita kan sampai pada kesimpulan bahwa keberagamanadalah sebuah kekayaan dan keanekaragaman yang mewarnai kehidupanan manusia.
 Kasus etnis tionghoa terselesaiakan dengan dikelurkannya pernyataan sikap anti diskriminatif rasial oleh presiden gusdur dan undang-undang pendukung maka sekarang tindakan diskriminatif rasial sudah sangat jarang. Hal semacam itu bisa di lakukan pemerintah, tetapi kenapa ketika tindakan diskriminatif yang di alami oleh kaum minoritas berdasarkan orientasi seksual dan indentitas gender pemerintah tidak pernah mengambil sikap yang tegas bahkan pemerintah malah ikut menjustifikasi dan mengintimidasi kaum minoritas ini. Dimana peran pemerintah yang seharunya melindungi dan mengayomi masyarakat? kaum minoritas merupakan warga Negara asli Indonesia. Apakah mereka pantas di salahkan ketika mereka sudah terlahir menjadi seperti itu ? apakah mereka pantas di tindas hanya karena punya orientasi seksual dan identitas gender minoritas? Bagaimana jika pemerintah merupakan bagian dan bahkan seperti mereka, apa yang bisa pemerintah rasakan?.
Peringatan Hari Internasional penghapusan diskriminasi rasial yang bertepatan pada 21 Maret nanti, kami segenap rakyat Indonesia berharap kepada pemerintah untuk ikut mengambil sikap tegas dan penghapusan segala bentuk tindakan diskriminasi baik rasial,orientasi sekseual,identitas gender, Kepercayaan dll . Karena kami menginginkan terwujudnya persamaan hak setiap rakyat Indonesia tanpa memandang ras, orientasi seksual dll.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar