Rabu, 12 Oktober 2011

AIR TERJUN BIKAN


Awal kedatangan kami ke desa ini adalah, utnuk menggenapi agenda kegiatan acara Pra-serasehan Jaringan Kekerabatan Antropologi Se-Indonesia yang di adakan pada tanggal 3-6 oktober 2011 lalu, yang bertepatan tahun ini univ.andalas menjadi tuan rumah dan panitia menetapkan lokasi acara di Sanggar Kegiatan belajar sawahlunto, dan kunjungan ini merupakan hari ke 2 dengan judul agenda adalah penelitian lapangan. sebelum nya saya akan jelaskan dulu bahwa Pra-serasehan JKAI tahun ini mengangkat tema "strategi pembangunan parawisata dalam dinamika otonomi daerah", dan hal ini lah yang mendorong kegiatan ini di lakukan di sawahlunto, karena di sumatera barat kota ini merupakan salah satu kota wisata.
tepat selasa 4 oktober 2011, pagi itu panitia sudah lalulalang dari kamar ke kamar untuk membangunkan para peserta praserasehan tahun ini yang terdiri dari 13 universitas di indonesia, dan mereka mengetuk pintu demi pintu tidak terkecuali dengan pintu kamar kami, mereka mengomandokan agar kami bergegas mandi dan masuk ke ruang makan tuk sarapan karena hari ini akan melakukan kegiatan penelitian lapangan.
setelah semua peserta selesai sarapan, kami di ajak berkumpul di aula untuk membagi kelompok menjadi 4 kelompok, yang tiap kelompok terdiri dari 11-12 orang dan pada saat itu, saya mendapat bagian kelompok 2 dengan judul penelitian "tanggapan masyarakat dan harapan masyarakat tentang wisata ALAM" di desa yang akan kami kunjungi, sejenak saya berfikir, ini merupakan judul yang pasti sangat menarik.
rapat pun di akhiri, bus univ.andalas telah standbay menunggu kami didepan Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) tempat kami menginap. seakan bus itu melambai-lambaikan tangan nya tuk memanggil kami mengambil posisi di dalam tubuh sang bus itu, hingga kami pun merespon ajakan itu dengan berlari kecil. perjalanan pun dimulai, sang sopir bus yang bisa saya prediksikan usianya kira-kira 50 tahun itu ternyata sangat berjiwa muda, melihat kami bosan di dalam bus itu dia membuang kebosanan kami dengan memutar lagu-lagu yang lagi nge hitz dikalangan kami, suasana pun menjadi sedikit ricuh, karena penyakit anak muda sekarang pun keluar yaitu mengikuti lirik demi lirik lagu yang terputar dari tape kecil sang sopir.
Tempat yang kami tuju pun akhirnya sampai, sebuah desa kecil yang masih sangat natural jika dipandang sekilas, aliran sungai yang menggoda tuk bermain air, sapaan bambu-bambu yang menghelakan angin sepoi-sepoi membuat saya merasa berada di sebuah lubuk ketenangan.
saat turun dari bus, peserta tidak di perbolehkan langsung melangkahkan kaki ke arah desa yang dibatasi sebuah jembatan itu, kami di perintahkan mnunggu beberapa menit yang saya tidak tahu apa tujuannya. hingga akhirnya kami pun di ajak tuk berjalan beriring-iringan dan diluar dugaan kami telah di sambut di luar sana dengan bunyian alat-alat musik khas desa ini yaitu talempong yang sangat menggugah hati. sempat terbersik di benak saya dan mungkin juga yang lain begitu ramahnya kah masyarakat disini ?, informan-informan yang seharusnya kami hormati malah lebih menghormati kami dengan sambutan yang menurut saya sangat luar biasa, dan di penghujung jalan kami, sebuah tenda yang didirikan di tengah sawah bekas padi yang telah di panen pun menyambut kami dan disana para penetuah kampung, dosen dan kepala parawisata kota sawahlunto juga telah berdiri berjajar dan menjulurkan tangannya ke depan untuk menyambut kami dengan sebuah salaman selamat datang. 
hal yang paling membuat saya kagum ketika di tengah-tengah tenda itu telah tersedia talam-talam besar yang berisi nasi, lauk dan juga buah yang di tenteng para ibu-ibu desa itu dan mereka disebut "bundo kanduang".
dengan antusiasnnya mereka mempersembahkan talam-talam yang berisi santapan lezat itu ketengah-tengah kami, hingga sempat terekam oleh ku, seorang ibu sampai terjatuh ketika mebawa piring-piring kaca itu.
tanpa saya sadari talam-talam tadi telah bertambah banyak, kira-kira ada 10 talam pada hari itu.
Sebelum melahap makanan ini, kepala ada acara yang kami lewati yang pertama penyampaian maksud dan tujuan kami datang kedesa ini oleh sekjen JKAI kaka natan tebai dari univ.cendrawasih papua, selanjutnya kata sambutan dari kepala desa yang menjelaskan sekilas tentang kampung ini dan menjelaskan arti talam-talam ini, menurut kepala desa yang mengawakili warga dan para bundo kanduang di desa ini, talam-talam yang berisi nasi, lauk, sayur dan buah ini merupakan suatu tradisi penyambutan tamu, upacar adata dan juga pesta kota yang mereka sebut dengan nama "DULANG" dan makan bersama itu mereka sebut dengan "MAKAN BEJAMBAH"
makan bejambah pun di mulai, tidak terlepas rasa lapar yang menghantui kami pun langsung melahap makanan dalam talam-talam besar itu, awalnya saya menduga bahwa isinya sama ternyta tidak talam satu dengan yang lain bervariasi yang sama hanya lah nasi putihnya dan beberapa buahnya, ketika saya menayakan arti perbedaan dalam penjamuan itu, salah seorang bundo kanduang pun berkata "itu adalah kesepakatan, disini mereka mengkreasiakan dan memamerkan makanan khas desa ini yang begitu banyak, jadi mereka berembuk terlebih dahulu apa yang akan di persembahakan tiap-tiap orang", masalah kuliner ini menjadi judul penelitian kelompok 1. tanpa di sadari saya telah makan 2 piring dengan lauk rendang, urap, semur jengkol, kerupuk jengkol, emping, ikan sambal dan banyak lagi, hingga rasa kenyang pun menerpa.

Desa Rantih, kecamatan Talawi, kota sawahlunto-sumatera barat, itulah nama desa yang sangat ramah ini, masyarakat yang begitu terbuka dan penuh senyum keramahan, alam yang asri dan alami, infrastuktur yang masih belum tersentuh aspal secara keseluruhan dan dekorasi desa yang sangat sederhana dan minimalis.
acara isi perut pun berakhir, hingga akhirnya kami beranjak dari tempat dan melakukan hal yang seharusnya kami lakukandi desan indah ini, yaitu meneliti.
tiap-tiap kelompok di berikan guide 3-4 orang guide/kelompok, dan kelompok saya mendapatkan 3 guide pemuda desa yang sangat ramah dan terbuka namanya Ilham, Radit dan Ahmad. mereka bertiga pun membawa kami ke arah Timur desa yang mereka katakan ada sebuah air terjun yang sering sekali di kunjungi orang ketika hari libur. nama air terjunnya "AIR TERJUN BIKA", di perjalanan rasa penasaran pun memuncak, hingga saya coba mulai pertanyaan kepada ilham kenapa nama itu yang di ebrikan kepada air terjun yang katanya bertingkat 2 itu, dengan sigap ilham pun menjawab bahwa itu disebabkan kan di daerah air terjun dulu banyak sekali Ikan karena dalam bahasa miangkabau iakn di sebut bikan, pemberian nama yang sangat masuk akal.
Sepanjang jalan yang kami tempuh, medan-medan menuju air terjun sangat lah menantang, jembatan kayu kecil, menyebarang sungai, melompat lubang, melewati pohon-pohon tumbang dan juga semak-semak kecil yang membuat leher gatal, waktu yang kami tempuh kurang lebih 1 1/2 jam dari desa rantih menuju air terjun bikan. sepanjang jalan saya bertanya sedikit demi sedikit kepada ke tiga guide kami secara bergantian, ketika melawati sebuah jalan setapak yang di pinggir sebelah kirinya ada pipa biru dari besi yang memanjang dan di sebelah kanan ada kolam-kolam yang saya menduga itu kolam bekas penangkaran ikan. saya pun bertanya pada adit, apa fungsi pipa-pipa itu, dan ternyata itu adalah aliran air dari pegunungan yang menjadi sumber kehidupan masyarakat rantih yang di gunakan sebagai penyumpalian air minum dan juga kebutuhan lainnya dan kolam itu memang benar kolam-kolam ikan yang tidak berfungsi lagi karena para warga kehabiasan modal tuk penangkaran ikan nila, mas dan lele dan hal ini lah yang merupakan salah satu yang menajdi harapan mereka kepada pemerintah sawahlunto, karena apabila itu di wujudkan maka ketertarikan wisatan datang ke air terjun ini akan semakin meningkat, karena ketika mereka melewati jalan ini maka mereka akan terkesima melihat ulah-ulah para ikan-ikan dikolam.
sebenarnya air terjun di desa ini ada 5 tetapi kali ini kami hanya meneliti air tejun bikan saja, karena di hambat masalah waktu penelitian kami yang hanya di beri 4 jam, dan air terjun ini yang lebih sering di kunjungi para wisatawan karena medan yang lebih menantang dan juga memicu adrenalin.
harapan lain yang sempat saya tangkap dari guide kami adalah pemabungan pondok di daerah air terjun sebagai tempat berisitirahat, sebenarnya sudah ada pondok kecil dan sederhana di daerah air terjun tapi masih satu dan itupun sudah mulai rusak dan harapan yang lain adalah perbaikan sedikit medan menuju air terjun bikan, kata sedikit perlu saya tanyakan lagi, kenapa sedikit ? bukan kah jalan ini begitu parah ?, dan tanya itupun terjawab oleh salah satu guide kami yaitu ilham, karena jika medan ini diperbaiki secara keseluruhan dan yang nantinya sangat gampang dilalui, maka air terjun bikan tidak lagi sebagi objek wisata alam yang menantang, karena para pengunjung dan juga para wisatawan pun lebih menyukai tantangan seperti ini, dan karena areal air terjun juga sering di gunakan sebagai kegiatan arum jeram dan juga perkemahan jadi harus tetap terlihat natural, masuk akal menurut saya. 
tanpa terasa kami pun sampai di air terjun yang sudah kami nanti-nantikan, rasa kagum terhadap sang Pencipta yang pertama kali terbersik di benak, begitu indahnya air terjun tiingkat dua ini dan begitu alaminya hingga lamunan itu pun di bangunkan oleh percikan-percikan air yang mengundangku tuk bermain bersamanya, tapi ketiak aku lihat di sekitar air terjun sangat memprihatikankan, keindahan air terjun tercoreng oleh tumpukan kayu-kayu yang di selimuti lumpur, hingga saya pun bertanya apakah tidak ada yang mengurus ini ? mendengar tanggapan dari ilham bahwa setiap harinya ada jadwal yang di buat kepala desa yaitu setiap ahrinya ada 5 pemuda yang membersihkan ini yang di pekerjakan secara sukarela, tapi saya heran jika setiap hari mereka membersihkan kenapa sekotor ini ? kata sukarela juga menggugah pertanyaan, apakah mereka mau ? ya mereka mau kok bang, saya juga dapat giliran, cetus adit yang sedang duduk di kayu pondok yang hampir ambruk sambil menghisap sebatang rokok sempoerna di mulutnya, hingga tiba-tiba dia melanjutkan celotehnya "tapi kadang-kadang kami gak nyampe bang, karena jauh dan capek", hingga sebuah kesimpulan pun saya tarik, kata sukarela tidak bisa di berlakukan terhadap pekerjaan seprti ini yang memakan tenaga ekxtra ketika perjalanan dan juga butuh tenaga ketika membersihakan.
sejenak saya menutup dan pertanyaan-pertanyaan saya, dengan membasahi seluruh tubuh kecil saya dan baju yang masih melekat dengan rintikan air terjun bikan, lepas, sejuk, airnya seakan membuang seluruh lelah saat perjalan yang panjang tadi, bahkan membuat ku sedikit terlupa dengan masalah-masalah kecil dlam hidup. dan kelegaan pun bukan hanya saya rasakan sendiri, taman-teman yang lain juga tidka mau kalah dengan melemparkan tubuh mereka kedalam genangan air yang menjadi tumpukan rintikan air terjun bikan itu.
waktu akhirnya memaksa kami tuk mengakhiri kelegaan itu, hingga kami harus kembali pulang ke desa, karena yang lain juga telah menunguh kami disana, sesampai didesa tidak lupa kami mengganti pakaian yang telah kami persiapkan di tas kami. makan malam juga telah menyambut kami dengan lauk rendang khas desa rantih, sembari makan kami di suguhkan dentingan-dentingan alat musik yang sangat merdu oleh masyarakat desa rantih dan juga di akhir acara kami di berikan sedikit wawasan dengan pemutaran film dokumenter tentang desa rantih dan sebuah film memilukan tentang kisah seorang laki-laki pemburu babi hutan yang di kemas dalam bahasa minangkabau.
hingga kami pun harus meninggalkan desa mungil yang raamh ini dengan acara poto bersama dan juga salam-salaman, tidka lupa kami meninggalkankan kenang-kenangan berupa TUGU atas nama JKAI dan seluruh delegasi universitas yang menghadiri acara pra-serahsehan tahun ini.
desa rantih yang indah, ramah , bersahabat dan terbuka .. masyarakat yang beradat, bersantun dan berbudaya sangat terbuka membuat rasa berat hati utnuk meninggalkan desa ini.. hingga waktu pun mengakhiri dengan kami memasuki bus yang menghantar kami kembali ke SKB...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar